oleh: KH. Abdurrahman Wahid
Buku yang sedang Anda baca ini merupakan hasil penelitian yang
berlangsung lebih dari dua tahun dan dilakukan oleh Lib-ForAll
Foundation, sebuah institusi non-pemerintah yang memperjuangkan
terwujudnya kedamaian, kebebasan, dan toleransi di seluruh dunia yang
diilhami oleh warisan tradisi dan budaya bangsa Indonesia. Secara
formal, kami bersama C. Holland Taylor adalah pendiri bersama LibForAll
Foundation, dan bersama-sama dengan KH. A. Mustofa Bisri, Prof. Dr.
Ahmad Syafii Maarif, Prof. Dr. M. Amin Abdullah, Prof. Dr. Azyumardi
Azra, Prof. Dr. Nasr Hamid Abu-Zayd, Syeikh Musa Admani, Prof. Dr.
Abdul Munir Mulkhan, Dr. Sukardi Rinakit, dan Romo Franz Magnis-Suseno
menjadi Penasehat LibForAll Foundation. Dalam kunjungan CEO LibForAll
Foundation ke Mesir pada akhir Mei 2008,
Syeikh al-Akbar al-Azhar, Muhammad Sayyid Tantawi juga menyatakan
kesediaannya untuk menasehati LibForAll Foundation dalam usaha
menghadirkan Islam sebagai rahmatan lil-‘âlamîn. Dan sebenarnya, siapa
pun di seluruh dunia yang berhati baik, berkemauan baik, dan punya
perhatian kuat pada usaha-usaha mewujudkan kedamaian, kebebasan, dan
toleransi, secara kultural adalah keluarga LibForAll Foundation.
Dalam usaha dimaksud, LibForAll Foundation selalu mengutamakan
pendekatan spiritual untuk menumbuhkan kesadaran yang mampu mendorong
transformasi individual maupun sosial. Hal ini didasari kenyataan bahwa
ketegangan batiniah antara roh dan hawa nafsu berdampak pada aktivitas
lahiriah. Bahkan, ketegangan batiniah ini kerap memicu konflik-konflik
lahiriah, baik antarindividu maupun sosial. Dalam konteks inilah, sabda
Kanjeng Nabi Muhammad saw. kepada para sahabat,
“Raja‘nâ min jihâd al-ashghar ilâ jihâd al-akbar”
(Kita pulang dari jihad kecil menuju jihad besar),
sepulang dari perang Badr menjadi sangat penting untuk kita renungkan.
Mendengar pernyataan tersebut, para sahabat sangat terkejut. Mereka
bertanya-tanya, perang (qitâl) apa lagi yang lebih dahsyat. Rasulullah
saw. menjelaskan, “Perang melawan hawa nafsu.” Para sahabat terdiam,
sadar betapa berat dan sulit melawan musuh di dalam diri.
Selain sulit diidentifikasi, melawan musuh dalam selimut juga menuntut
ketegasan dan ketegaran emosional karena ia merupakan bagian tak
terpisahkan dari diri setiap orang.
Hawa nafsu adalah suatu kekuatan yang selalu menyimpan potensi
destruktif dan membuat jiwa selalu resah, gelisah, dan tidak pernah
tenang. Para ulama kerap membandingkan hawa nafsu dengan binatang liar.
Siapa pun yang telah
menjinakkan hawa nafsunya, dia akan tenang dan mampu menggunakan
nafsunya untuk melakukan aktivitas dan/atau mencapai tujuan-tujuan
luhur. Sebaliknya, siapa pun yang masih dikuasai hawa nafsunya, dia
akan selalu gelisah dan ditunggangi oleh hawa nafsunya, dia
membahayakan dirinya dan orang lain.
Dari perspektif ini ada dua kategori manusia: Pertama, orang orang yang
sudah mampu menjinakkan hawa nafsunya sehingga bisa memberi manfaat
kepada siapa pun. Mereka adalah pribadi pribadi yang tenang dan damai
(al-nafs al-muthmainnah) dan menjadi representasi kehadiran
spiritualitas, khalîfat Allah yang sebenarnya (dalam konteks
Mahabharata, para Pandawa). Kedua, mereka yang masih dikuasai hawa
nafsu sehingga selalu menjadi biang keresahan dan masalah bagi siapa
pun. Mereka adalah pribadi-pribadi gelisah dan menjadi biang
kegelisahan sosial dan pembuat masalah (al-nafs al-lawwâmah) dan
menjadi representasi kehadiran hawa nafsu, orang-orang musyrik yang
sebenarnya (dalam konteks Mahabharata, para Kurawa). Kedua kelompok ini
hadir dalam berbagai tingkat realitas dan interaksi sosial dengan
intensitas yang beragam. Dari tingkat lokal, nasional, hingga
internasional; dalam bidang pendidikan dan agama hingga bisnis dan
politik; dalam urusan pribadi hingga kelompok, dan sebagainya.
Pada kenyataannya, pertentangan antara jiwa-jiwa yang tenang dengan
jiwa-jiwa yang resah ini mewarnai sejarah semua penjuru dunia, antara
lain seperti pertentangan Nabi Muhammad saw. dengan kafir-musyrik di
Hijaz. Namun satu hal yang unik di Nusantara adalah, sekalipun
pertentangan semacam ini terjadi berulang-ulang sejak masa nenek moyang
bangsa Indonesia, ajaran spiritual dan nilai-nilai luhur jiwa-jiwa yang
tenang tetap dominan di tanah air kita.
Prinsip “Bhinneka Tunggal Ika” Mpu Tantular misalnya, telah mengilhami
para penguasa Nusantara dari jaman Hindu-Budha hingga dewasa ini; dan
Sunan Kalijogo —yang terkenal akomodatif terhadap tradisi lokal—
mendidik para
penguasa pribumi tentang Islam yang damai, toleran, dan spiritual.
Melalui para muridnya, antara lain Sultan Adiwijoyo, Juru Martani, dan
Senopati ing Alogo, Sunan Kalijogo berhasil menyelamatkan dan
melestarikan nilai-nilai luhur tersebut yang manfaatnya tetap bisa kita
nikmati hingga dewasa ini.
Di Indonesia modern pun kita menyaksikan kehadiran jiwa jiwa yang
tenang (al-nafs al-muthmainnah) ini —antara lain dalam proses kelahiran
dan tumbuhnya kesadaran kebangsaan kita, khususnya dalam dialog antara
Islam dan nasionalisme
Indonesia. Memang tidak banyak yang tahu salah satu penggalan sejarah
konseptual kebangsaan kita. Sejak tahun 1919, tiga sepupu secara
intensif mulai membicarakan hubungan antara Islam sebagai seperangkat
ajaran agama dengan nasionalisme. Mereka adalah H. O. S. Tjokroaminoto,
KH. Hasjim Asy‘ari, dan KH. Wahab Chasbullah. Belakangan, menantu
Tjokroaminoto, Soekarno yang ketika itu baru berusia 18 tahun, terlibat
aktif dalam pertemuan mingguan yang berlangsung bertahun-tahun
tersebut. Kesadaran kebangsaan inilah yang diwarisi oleh generasi
berikutnya, seperti Abdul Wahid Hasjim (putra KH. Hasjim Asy‘ari), KH.
A. Kahar Muzakkir dari
Yogyakarta (tokoh Muhammadiyah), dan H. Ahmad Djoyo Sugito (tokoh Ahmadiyah).
Dalam muktamar di Banjarmasin pada tahun 1935, Nahdlatul Ulama
memutuskan untuk tidak mendukung terbentuknya Negara Islam melainkan
mendorong umat Islam untuk mengamalkan ajaran agamanya demi
terbentuknya masyarakat yang Islami dan sekaligus membolehkan pendirian
negara bangsa. Sepuluh tahun kemudian, tokoh-tokoh Muslim Nusantara
yang terlibat dalam proses kemerdekaan menerima konsep Negara Pancasila
yang disampaikan Soekarno, dan kebanyakan pemimpin
organisasi-organisasi Islam ketika itu menerima gagasan Soekarno
tersebut. Berdasarkan konsep kebangsaan yang kental dengan nilai-nilai
keagamaan dan budaya bangsa inilah, pada tanggal 17 Agustus 1945 atas
nama bangsa Indonesia— Soekarno dan Muhammad Hatta memproklamasikan
kemerdekaan Indonesia, sebuah negara bangsa yang mengakui dan
melindungi keragaman budaya, tradisi, dan keagamaan yang sudah menjadi
bagian integral kehidupan bangsa Indonesia.
Gagasan negara bangsa ini adalah buah dari pahit getir pengalaman
sejarah Nusantara sendiri. Pada satu sisi, sejarah panjang Nusantara
yang pernah melahirkan dan mengalami peradabanperadaban besar Hindu,
Budha, dan Islam selama masa kerajaan Sriwijaya, Sailendra, Mataram I,
Kediri, Singosari, Majapahit, Demak, Aceh, Makasar, Goa, Mataram II,
dan lain-lain telah memperkuat kesadaran tentang siginifikansi
melestarikan kekayaan dan keragaman budaya dan tradisi bangsa.
Sementara pada sisi yang lain, dialog terus-menerus antara Islam
sebagai seperangkat ajaran agama dengan nasionalisme yang berakar kuat
dalam pengalaman bangsa Indonesia, telah menegaskan kesadaran bahwa
negara bangsa yang mengakui dan melindungi beragam keyakinan, budaya,
dan tradisi bangsa Indonesia merupakan pilihan tepat bagi bangunan
kehidupan berbangsa dan bernegara. Pepatah Mpu Tantular, ajaran dan
gerakan Sunan Kalijogo, serta keteladanan lain semacamnya, dengan tepat
mengungkapkan kesadaran spiritual yang menjadi landasan kokoh Indonesia
modern dan melindunginya dari perpecahan sejak proklamasi kemerdekaan
pada tahun 1945.
Dengan segenap hubungan fluktuatif yang terjadi, semua ini bukanlah
sebuah proses yang mudah, ini merupakan fakta historis yang harus kita
sadari dan pahami. Beberapa periode sejarah Nusantara berlumur darah
akibat konflik yang terjadi —antara lain— atas nama agama. Para ulama
seperti Abikusno Tjokrosujoso, KH. A. Kahar Muzakkir, H. Agus Salim,
KH. A. Wahid Hasjim, Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimejo, Teuku
Mohammad Hassan, dan tokoh-tokoh penting Pendiri Bangsa lainnya, sadar
bahwa negara yang akan mereka perjuangkan dan pertahankan bukanlah
negara yang didasarkan pada dan untuk agama tertentu, melainkan negara
bangsa yang mengakui dan melindungi segenap agama, beragam budaya dan
tradisi yang telah menjadi bagian integral kehidupan bangsa Indonesia.
Para Pendiri Bangsa sadar bahwa di dalam Pancasila tidak ada prinsip
yang bertentangan dengan ajaran agama. Sebaliknya, prinsip-prinsip
dalam Pancasila justru merefleksikan pesan-pesan utama semua agama,
yang dalam ajaran Islam dikenal sebagai maqâshid al-syarî‘ah, yaitu
kemaslahatan umum (al-mashlahat al-‘âmmah, the common good).
Dengan kesadaran demikian mereka menolak pendirian atau formalisasi
agama dan menekankan substansinya. Mereka memposisikan negara sebagai
institusi yang mengakui keragaman, mengayomi semua kepentingan, dan
melindungi segenap keyakinan, budaya, dan tradisi bangsa Indonesia.
Dengan cara demikian, melalui Pancasila mereka menghadirkan agama
sebagai wujud kasih sayang Tuhan bagi seluruh makhluk-Nya (rahmatan
lil- ‘âlamîn) dalam arti sebenarnya. Dalam konteks ideal Pancasila ini,
setiap orang bisa saling membantu untuk mewujudkan dan meningkatkan
kesejahteraan duniawi, dan setiap orang bebas beribadah untuk meraih
kesejahteraan ukhrawi tanpa mengabaikan yang pertama.
Memang ada relasi fluktuatif antara agama (c.q. Islam) dengan
nasionalisme (c.q. Pancasila). Ada kelompok yang ingin mendirikan
negara Islam melalui konstitusi (misalnya dalam Majlis Konstituante)
dan lainnya melalui kekuatan senjata (seperti dalam kasus DI/TII).
Namun selalu ada mayoritas bangsa Indonesia (Muslim dan non-Muslim)
yang setuju dengan Pancasila dan memperjuangkan gagasan para Pendiri
Bangsa. Semua ini menjadi pelajaran sangat berharga bagi kesadaran
tentang pentingnya bangunan negara bangsa. Sikap ormas-ormas keagamaan,
seperti NU dan Muhammadiyah misalnya, maupun parpol-parpol berhaluan
kebangsaan yang menyatakan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 merupakan bentuk final dan
konsensus nasional bangunan kebangsaan kita, bukanlah sikap oportunisme
politik melainkan kesadaran sejati yang didasarkan pada realitas
historis, budaya, dan tradisi bangsa kita sendiri serta substansi
ajaran agama yang kita yakini kebenarannya.
Sikap nasionalis ini juga merupakan suatu bentuk tanggung jawab untuk
menjamin masa depan bangsa agar tetap berjalan sesuai dengan budaya dan
tradisi Nusantara, dan sesuai pula dengan nilai-nilai substantif ajaran
agama yang sudah menjadi bagian integral kehidupan bangsa Indonesia.
Sikap para tokoh nasionalisreligius yang berjuang mempertahankan
bangunan kebangsaan NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 ini bisa
disebut sebagai kehadiran jiwa-jiwa yang tenang (al-nafs
al-muthmainnah), pribadi- pribadi yang terus berusaha untuk memberi
manfaat sebanyak mungkin kepada siapa pun tanpa mempermasalahkan
perbedaanperbedaan yang ada. Dan dengan cara demikian mereka berjuang
keras mewujudkan kasih-sayang (rahmat) bagi semua makhluk.
Sikap serupa tidak tampak pada beberapa ormas maupun parpol yang
bermunculan menjelang dan setelah berakhirnya kekuasaan Orde Baru.
Mereka mengingatkan kita pada gerakan Darul Islam (DI), karena seperti
DI, mereka juga berusaha mengubah negara bangsa menjadi negara agama,
mengganti ideologi negara Pancasila dengan Islam versi mereka, atau
bahkan menghilangkan NKRI dan menggantinya dengan Khilafah Islamiyah.
Tentang klaim-klaim implisit para aktivis garis keras bahwa mereka
sepenuhnya memahami maksud kitab suci, dan karena itu mereka berhak
menjadi wakil Allah (khalîfat Allâh) dan menguasai dunia ini untuk
memaksa siapa pun mengikuti pemahaman ‘sempurna’ mereka, sama sekali
tidak bisa diterima baik secara teologis maupun politis. Mereka benar
bahwa kekuasan hanya milik Allah swt. (lâ hukm illâ li Allâh), tetapi
tak seorang pun yang sepenuhnya memahami kekuasaan Allah swt. Karena
itu Nabi bersabda, “Kalian tidak tahu apa sebenarnya hukum Allah.”
Ringkasnya, sekalipun didasarkan pada al-Qur’an dan sunnah, fiqh —yang
lazim digunakan sebagai justifikasi teologis kekuasaan oleh mereka—
sebenarnya adalah hasil usaha manusia yang terikat dengan tempat,
waktu, dan kemampuan penulis fiqh yang bersangkutan.
Tidak sadar atau mengabaikan prinsip-prinsip ini, para aktivis garis
keras berjuang mengubah Islam dari agama menjadi ideologi. Pada
gilirannya, Islam menjadi dalih dan senjata politik untuk
mendiskreditkan dan menyerang siapa pun yang pandangan politik dan
pemahaman keagamaannya berbeda dari mereka. Jargon memperjuangkan Islam
sebenarnya adalah memperjuangkan suatu agenda politik tertentu dengan
menjadikan Islam sebagai kemasan dan senjata. Langkah ini sangat ampuh,
karena siapa pun yang melawan mereka akan dituduh melawan Islam.
Padahal jelas tidak demikian.
Pada saat yang sama, dengan dalih memperjuangkan dan membela Islam,
mereka berusaha keras menolak budaya dan tradisi yang selama ini telah
menjadi bagian integral kehidupan bangsa Indonesia, mereka ingin
menggantinya dengan budaya dan tradisi asing dari Timur Tengah,
terutama kebiasaan Wahabi-Ikhwanul Muslimin, semata karena mereka tidak
mampu membedakan agama dari kultur tempat Islam diwahyukan. Mereka
selalu bersikap keras dan tak kenal kompromi seolah-olah dalam Islam
tidak ada perintah ishlah, yang ada hanya paksaan dan kekerasan. Karena
sikap seperti itu maka mereka populer disebut sebagai kelompok garis
keras. Kita harus sadar bahwa jika Islam diubah menjadi ideologi
politik, ia akan menjadi sempit karena dibingkai dengan batasanbatasan
ideologis dan platform politik. Pemahaman apa pun yang berbeda, apalagi bertentangan dengan pemahaman mereka, dengan mudah akan dituduh bertentangan dengan Islam itu sendiri,
karena watak dasar tafsir ideologi memang bersifat menguasai dan
menyeragamkan. Dalam bingkai inilah aksi-aksi pangkafiran maupun
pemurtadan sering dan mudah dituduhkan terhadap orang atau pihak lain.
Perubahan ini dengan jelas mereduksi, mengamputasi, dan mengebiri
pesan-pesan luhur Islam dari agama yang penuh dengan kasih sayang dan
toleran menjadi seperangkat batasan ideologis yang sempit dan kaku.
Pada umumnya aspirasi kelompok-kelompok garis keras di Indonesia
dipengaruhi oleh gerakan Islam transnasional dari Timur-Tengah,
terutama yang berpaham Wahabi atau Ikhwanul Muslimin, atau gabungan
keduanya.
Kelompok-kelompok garis keras di Indonesia, termasuk partai politiknya,
menyimpan agenda yang berbeda dari ormas-ormas Islam moderat seperti
Muhammadiyah, NU, dan partai-partai berhaluan kebangsaan. Dalam
beberapa tahun terakhir sejak kemunculannya, kelompok- kelompok garis
keras telah “berhasil” mengubah wajah Islam Indonesia mulai menjadi
agresif, beringas, intoleran, dan penuh kebencian. Padahal, selama ini
Islam Indonesia dikenal lembut, toleran dan penuh kedamaian (majalah
internasional Newsweek pernah menyebut Islam Indonesia sebagai “Islam
with a smiling face”). Kelompok-kelompok garis keras berusaha merebut
simpati umat Islam dengan jargon memperjuangkan dan membela Islam,
dengan dalih tarbiyah dan dakwah amar ma’rûf nahy munkar. Jargon ini
sering memperdaya banyak orang, bahkan mereka yang berpendidikan tinggi
sekalipun, semata karena tidak terbiasa berpikir tentang spiritualitas
dan esensi ajaran Islam. Mereka mudah terpancing, terpesona dan
tertarik dengan simbol-simbol keagamaan. Sementara kelompok- kelompok
garis keras sendiri memahami Islam tanpa mengerti substansi ajaran
Islam sebagaimana dipahami oleh para wali, ulama, dan Pendiri Bangsa.
Pemahaman mereka tentang Islam yang telah dibingkai oleh
batasan-batasan ideologis dan platform politiknya tidak mampu melihat,
apalagi memahami, kebenaran yang tidak sesuai dengan batasan-batasan
ideologis, tafsir harfiah, atau platform politik mereka. Karena
terbatasnya kemampuan memahami inilah maka mereka mudah menuduh
kelompok lain yang berbeda dari mereka atau tidak mendukung agenda
mereka sebagai kafir atau murtad.
Terkait dengan pengikutnya, ada orang-orang yang bergabung dan
mendukung garis keras karena mereka terpesona dan tertarik dengan
simbol-simbol kegamaan yang dikampanyekan tokoh-tokoh garis keras. Pada
sisi yang lain, ada orang-orang yang memang secara sengaja memperdaya
masyarakat dengan meneriakkan simbol-simbol keagamaan demi memuaskan
agenda hawa nafsu mereka. Kita harus berusaha mengajak dan mengilhami
masyarakat untuk rendah hati, terus belajar dan bersikap terbuka agar
bisa memahami spiritualitas dan esensi ajaran Islam, dan menjadi
jiwajiwa yang tenang.
Lebih dari itu, sebagai bangsa kita harus sadar bahwa apa yang para
aktivis garis keras lakukan dan perjuangkan sebenarnya bertentangan
dengan dan mengancam Pancasila dan UUD 1945, dan bisa menghancurkan
NKRI. Aksi-aksi anarkis, pengkafiran, pemurtadan, dan berbagai
pembunuhan karakter lainnya yang sering mereka lakukan adalah usaha
untuk memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa.
Kami sudah sering dituduh kafir dan murtad, tetapi kami tetap
tenang-tenang saja. Kelompok-kelompok garis keras mengukur kebenaran
pemahaman agama secara ideologis dan politis, sementara kami
mendasarkan pemahaman dan praktik keagamaan kami pada semangat rahmat
dan spiritual yang terbuka. Kami berpedoman pada paham Ahlussunnah wal
Jamâ‘ah, sementara mereka mewarisi kebiasaan ekstrem Khawârij yang gemar mengkafirkan dan memurtadkan siapa pun yang berbeda dari mereka, kebiasaan buruk yang dipelihara oleh Wahabi dan kaki tangannya.
Karena kelompok- kelompok garis keras menganggap setiap Muslim lain
yang berbeda dari mereka sebagai kurang Islami, atau bahkan kafir dan
murtad, maka mereka melakukan infiltrasi ke masjid-masjid,
lembaga-lembaga pendidikan, instansi-instansi pemerintah maupun swasta,
dan ormas-ormas Islam moderat, terutama Muhammadiyah dan NU, untuk
mengubahnya menjadi keras dan kaku juga. Mereka mengklaim
memperjuangkan dan membela Islam, padahal yang dibela dan diperjuangkan
adalah pemahaman yang sempit dalam bingkai ideologis dan platform
politik mereka, bukan Islam itu sendiri. Mereka berusaha keras
menguasai Muhammadiyah dan NU karena keduanya merupakan ormas Islam
yang kuat dan terbanyak pengikutnya. Selain itu, kelompok- kelompok ini
menganggap Muhammadiyah dan NU sebagai penghalang utama pencapaian
agenda politik mereka, karena keduanya sudah lama memperjuangkan
substansi nilai-nilai Islam, bukan formalisasi Islam dalam bentuk
negara maupun penerapan syariat sebagai hukum positif.
Infiltrasi kelompok garis keras ini telah menyebabkan kegaduhan dalam
tubuh ormas-ormas Islam besar tersebut. Dalam konteks inilah kami ingat
pada pertarungan tanpa henti dalam diri manusia (insân shaghîr), yakni
pertarungan antara jiwa-jiwa yang tenang (al-nafs al-muthmainnah)
melawan hawa nafsu (al-nafs al-lawwâmah), atau pertarungan antara
Pandawa melawan Kurawa. Sementara yang pertama berusaha mewujudkan
kedamaian dan ketenangan, maka yang kedua selalu membuat kegaduhan,
keributan, dan kekacauan.
Gerakan garis keras transnasional dan kaki tangannya di Indonesia
sebenarnya telah lama melakukan infiltrasi ke Muhammadiyah. Dalam
Muktamar Muhammadiyah pada bulan Juli 2005 di Malang, para agen
kelompok- kelompok garis keras, termasuk kader- kader PKS dan Hizbut
Tahrir Indonesia (HTI), mendominasi banyak forum dan berhasil memilih
beberapa simpatisan gerakan garis keras menjadi ketua PP. Muhammadiyah.
Namun demikian, baru setelah Prof. Dr. Abdul Munir Mulkhan mudik ke
desa Sendang Ayu, Lampung, masalah infiltrasi ini menjadi kontroversi
besar dan terbuka sampai tingkat internasional.
Masjid Muhammadiyah di desa kecil Sendang Ayu —yang dulunya damai dan
tenang— menjadi ribut karena dimasuki PKS yang membawa isu-isu politik
ke dalam masjid, gemar mengkafirkan orang lain, dan menghujat kelompok
lain, termasuk Muhammadiyah sendiri. Prof. Munir kemudian memberi
penjelasan kepada masyarakat tentang cara Muhammadiyah mengatasi
perbedaan pendapat, dan karena itu masyarakat tidak lagi membiarkan
orang PKS memberi khotbah di masjid mereka. Dia lalu menuliskan
keprihatinannya dalam Suara Muhammadiyah. Artikel ini menyulut diskusi
serius tentang infiltrasi garis keras di lingkungan Muhammadiyah yang
sudah terjadi di banyak tempat, dengan cara-cara yang halus maupun
kasar hingga pemaksaan.
Artikel Prof. Munir mengilhami Farid Setiawan, Ketua Umum Dewan
Pimpinan Daerah Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (DPD IMM) Daerah Istimewa
Yogyakarta (DIY), membicarakan infiltrasi garis keras ke dalam
Muhammadiyah secara lebih luas dalam dua artikel di Suara Muhammadiyah.
Dalam yang pertama, “Ahmad Dahlan Menangis (Tanggapan terhadap Tulisan
Abdul Munir Mulkhan),” Farid mendesak agar Muhammadiyah segera
mengamputasi virus kanker yang, menurut dia, sudah masuk kategori
stadium empat. Karena jika diam saja, “tidak tertutup kemungkinan ke
depan Muhammadiyah hanya memiliki usia sesuai dengan umur para
pimpinannya sekarang. Dan juga tidak tertutup kemungkinan jika Alm. KH.
Ahmad Dahlan dapat bangkit dari liang kuburnya akan terseok dan
menangis meratapi kondisi yang telah menimpa kader dan anggota
Muhammadiyah” yang sedang direbut oleh kelompok- kelompok garis keras.
Dalam artikelnya yang kedua, “Tiga Upaya Mu‘allimin dan Mu‘allimat,”
Farid mengungkapkan bahwa “produk pola kaderisasi yang dilakukan ‘virus
tarbiyah’11 membentuk diri serta jiwa para kadernya menjadi seorang
yang berpemahaman Islam yang ekstrem dan radikal. Dan pola kaderisasi
tersebut sudah menyebar ke berbagai penjuru Muhammadiyah. Hal ini
menyebabkan kekecewaan yang cukup tinggi di kalangan warga dan Pimpinan
Muhammadiyah. Putra-putri mereka yang diharapkan menjadi kader
penggerak Muhammadiyah malah bisa berbalik memusuhi Muhammadiyah.”
Menyadari betapa jauh dan dalam infiltrasi virus tarbiyah ini, Farid
mengusulkan tiga langkah untuk menyelamatkan Muhammadiyah. Pertama
adalah membubarkan sekolah-sekolah kader Muhammadiyah, karena virus
tarbiyah merusaknya sedemikian rupa; kedua, merombak sistem, kurikulum
dan juga seluruh pengurus, guru, sampai dengan musyrif dan musyrifah
yang terlibat dalam gerakan ideologi non-Muhammadiyah dan kepentingan
politik lain; ketiga, memberdayakan seluruh organisasi otonom (ortom)
di lingkungan Muhammadiyah.
Artikel Munir dan Farid menimbulkan kontroversi dan polemik keras
antara pimpinan Muhammadiyah yang setuju dan tidak. Salah satu
keprihatinan utama mereka yang setuju adalah bahwa institusi,
fasilitas, anggota dan sumber-sumber daya Muhammadiyah telah digunakan
kelompok- kelompok garis keras untuk selain kepentingan dan tujuan
Muhammadiyah.
Di tengah panasnya polemik mengenai gerakan virus tarbiyah, salah
seorang Ketua PP. Muhammadiyah, Dr. Haedar Nashir, mengklarifikasi
isu-isu dimaksud dalam sebuah buku tipis yang berjudul Manifestasi
Gerakan Tarbiyah: Bagaimana Sikap Muhammadiyah?
Kurang dari tiga bulan setelah buku tersebut terbit, Pengurus Pusat
(PP) Muhammadiyah mengeluarkan Surat Keputusan Pimpinan Pusat (SKPP)
Muhammadiyah Nomor 149/Kep/I.0/B/2006 untuk “menyelamatkan Muhammadiyah
dari berbagai tindakan yang merugikan Persyarikatan” dan membebaskannya
“dari pengaruh, misi, infiltrasi, dan kepentingan partai
politik yang selama ini mengusung misi dakwah atau partai politik
bersayap dakwah” karena telah memperalat ormas itu untuk tujuan politik
mereka yang bertentangan dengan visi-misi luhur Muhammadiyah sebagai
organisasi Islam moderat:
“...Muhammadiyah pun berhak untuk dihormati oleh siapa pun
serta memiliki hak serta keabsahan untuk bebas dari segala campur
tangan, pengaruh, dan kepentingan pihak manapun yang dapat mengganggu
keutuhan serta kelangsungan gerakannya” (Konsideran poin 4). “Segenap
anggota Muhammadiyah perlu menyadari, memahami, dan bersikap kritis
bahwa seluruh partai politik di negeri ini, termasuk partai politik
yang mengklaim diri atau mengembangkan sayap/kegiatan dakwah seperti
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) adalah benar-benar partai politik.
Setiap partai politik berorientasi meraih kekuasaan politik. Karena
itu, dalam menghadapi partai politik manapun kita harus tetap berpijak
pada Khittah Muhammadiyah dan harus membebaskan diri dari, serta tidak
menghimpitkan diri dengan misi, kepentingan, kegiatan, dan tujuan
partai politik tersebut” (Keputusan poin 3).
Keputusan ini dapat dipahami, karena pada kenyataannya PKS tidak hanya
“menimbulkan masalah dan konflik dengan sesama dan dalam tubuh umat
Islam yang lain, termasuk dalam Muhammadiyah,” tapi menurut para ahli
politik juga merupakan ancaman yang lebih besar dibandingkan Jemaah
Islamiyah (JI) terhadap Pancasila, UUD 1945, dan NKRI.
Menurut seorang ahli politik dan garis keras Indonesia, Sadanand Dhume, “Hanya ada pemikiran kecil yang membedakan PKS dari JI.
Seperti JI, manifesto pendirian PKS adalah untuk memperjuangkan
Khilafah Islamiyah. Seperti JI, PKS menyimpan rahasia sebagai prinsip
pengorganisasiannya, yang dilaksanakan dengan sistem sel yang keduanya
pinjam dari Ikhwanul Muslimin.... Bedanya, JI bersifat revolusioner
sementara PKS bersifat evolusioner. Dengan bom-bom bunuh dirinya, JI
menempatkan diri melawan pemerintah, tapi JI tidak mungkin menang.
Sebaliknya, PKS menggunakan posisinya di parlemen dan jaringan kadernya
yang terus menjalar untuk memperjuangkan tujuan yang sama selangkah
demi selangkah dan suara demi suara.... Akhirnya, bangsa Indonesia
sendiri yang akan memutuskan apakah masa depannya akan sama dengan
negara- negara Asia Tenggara yang lain, atau ikut gerakan yang
berorientasi ke masa lalu dengan busana jubah fundamentalisme
keagamaan. PKS terus berjalan. Seberapa jauh ia berhasil akan
menentukan masa depan Indonesia.”
Namun, sebagaimana ditunjukkan oleh studi yang dipaparkan dalam buku
ini, sekalipun SKPP tersebut telah diterbitkan pada bulan Desember
2006, hingga kini belum bisa diimplementasikan secara efektif. Gerakan-
gerakan Islam transnasional (Wahabi, Ikhwanul Muslimin, dan Hizbut
Tahrir) dan kaki tangannya di Indonsia sudah melakukan infiltrasi jauh
ke dalam Muhammadiyah dan mematrikan hubungan dengan para ekstremis
yang sudah lama ada di dalamnya.
Keduanya terus aktif merekrut para anggota dan pemimpin Muhammadiyah
lain untuk ikut aliran ekstrem, seperti yang terjadi saat Cabang
Nasyiatul Aisyiyah (NA) di Bantul masuk PKS secara serentak (en masse).
Sementara Farid Setiawan prihatin bahwa mungkin Muhammadiyah hanya akan
mempunyai usia sesuai dengan umur para pengurusnya, gerakan garis keras
justru terus berusaha merebut Muhammadiyah untuk menggunakannya sebagai
kaki tangan mereka berikutnya dengan umur yang panjang. Banyak tokoh
moderat Muhammadiyah prihatin bahwa garis keras bisa mendominasi
Muktamar Muhammadiyah 2010, karena aktivis garis keras semakin kuat dan
banyak.
Persis karena infiltrasi yang semakin kuat inilah, tokoh-tokoh moderat
Muhammadiyah menganggap situasi semakin berbahaya, baik bagi
Muhammadiyah sendiri maupun bangsa Indonesia. Kita harus bersikap jujur
dan terbuka serta berterus terang dalam menghadapi semua masalah yang
ada, agar apa pun yang kita lakukan bisa menjadi pelajaran bagi semua
umat Islam dan mampu mendewasakan mereka dalam beragama dan berbangsa.
Salah satu temuan yang sangat mengejutkan para peneliti lapangan adalah
fenomena rangkap anggota atau dual membership, terutama antara
Muhammadiyah dan garis keras, bahkan tim peneliti lapangan
memperkirakan bahwa sampai 75% pemimpin garis keras yang diwawancarai
punya ikatan dengan Muhammadiyah.
Selain terhadap Muhammadiyah, penyusupan juga terjadi secara sistematis
terhadap NU. Realitas fungsi strategis masjid mendorong kelompok-
kelompok garis keras terus berusaha merebut dan menguasai masjid dengan
segala cara yang mungkin, termasuk yang tak pernah terpikirkan kecuali
oleh penyusup itu sendiri. KH. Mu‘adz Thahir, Ketua PCNU Pati, Jawa
Tengah, menceritakan tentang kelompok garis keras berhasil masuk ke
masjid-masjid NU dengan memberikan cleaning service gratis.
Awalnya, sekelompok anak muda datang membersihkan masjid secara suka
rela, demikian berulang-ulang. Tertarik dengan kesungguhan mereka,
takmir memberinya kesempatan beradzan, lalu melibatkannya sebagai
anggota takmir masjid. Dengan pandai dan cekatan mereka melakukan
tugas-tugas itu. Tentu saja karena mereka memang agen yang khusus
menyusup untuk mengambil alih masjid. Setelah posisinya semakin kuat,
mereka mulai mengundang teman-temannya bergabung dalam struktur takmir,
dan akhirnya menentukan siapa yang menjadi imam, khatib, dan mengisi
pengajian dan yang tidak boleh. Bahkan, menentukan apa yang boleh dan
harus disampaikan, dan apa yang tidak boleh. Secara perlahan tapi
pasti, masjid jatuh ke tangan kelompok garis keras sehingga tokoh
setempat yang biasa memberi pengajian dan khotbah di masjid tersebut
kehilangan kesempatan mengajarkan Islam kepada jamaahnya, bahkan
kehilangan masjid dan jamaahnya, kecuali jika bersedia menerima dan
mengikuti ideologi keras mereka.
Kasus di Pati ini hanya salah satu dari sejumlah kasus penyerobotan
masjid yang sering dilakukan di lingkungan Nahdliyin. Jika kasus ini
digambarkan dalam sebuah film, penonton akan berpikir bahwa ini hasil
imaginasi sutradara.
Tapi sebenarnya ini adalah manifestasi ideologi, dana, dan sistem
gerakan Islam transnasional dan kaki tangannya di Indonesia yang terus
bergerak untuk menguasai negeri kita. Penelitian ini menunjukkan bahwa
sebagian besar penyerobot masjid NU adalah kelompok PKS dan HTI.
Setelah menyadari banyak masjid dan jamaahnya diserobot oleh kelompok- kelompok
garis keras, NU mulai melakukan konsolidasi dengan menata kembali
organisasinya, antara lain, di masjid-masjid. PBNU menyatakan dengan
tegas bahwa gerakan Islam transnasional seperti al-Qaidah, Ikhwanul
Muslimin (yang di sini direpresentasikan oleh PKS—red.), dan Hizbut
Tahrir adalah gerakan politik yang berbahaya karena mengancam paham
Ahlussunnah wal Jamâ‘ah, dan berpotensi memecah-belah bangsa.(18)
Kemampuan mereka berpura-pura bisa menerima paham dan tradisi NU juga
membuat mereka sangat berbahaya karena bisa menyusup kapan saja dan ke
mana saja.
Sementara terkait dengan isu khilafah yang diperjuangkan HTI, Majlis
Bahtsul Masa’il memutuskan bahwa Khilafah Islamiyah tidak memiliki
rujukan teologis, baik di dalam al-Qur’an maupun hadits.(19)
Walaupun di beberapa tempat NU telah berhasil mengusir kelompok garis
keras, namun di banyak tempat upaya penyusupan dan penyerobotan masjid
dan jamaah NU terus dilakukan. Secara umum, sebagaimana ditunjukkan
penelitian ini, penyusupan garis keras jauh lebih gencar daripada upaya
NU untuk mengusirnya. Jika ini terus dibiarkan maka bukan tidak mungkin
bahwa NU akan kehilangan presentase signifikan jumlah jamaah dan
masjidmasjidnya, dan berubah menjadi kurang spiritul dan lebih keras.
Penyusupan garis keras di lingkungan NU, dan kegagalan ormas terbesar
dunia ini menghentikan infiltrasinya ke pemerintahan, MUI dan
bidang-bidang strategis lain secara umum di negara ini, salah satu
sebabnya terjadi karena fenomena “kyai materi” yang tersebar luas.
“Kyai-kyai materi” lebih mengutamakan kepentingan pribadinya daripada
kepentingan jamaah dan jam‘iyah NU serta negara. Puluhan juta jamaah NU
yang terkonsentrasi di desa-desa dan daerah-daerah tertentu, adalah
kelompok pemilih terbesar (the largest single group of voters) di
Indonesia. Suara mereka bisa menentukan siapa yang akan terpilih untuk
naik ke kursi DPRD, DPR, Bupati, Gubernur dan Presiden. Realitas ini
mendorong banyak parpol tergoda untuk memanipulasi NU dan memanfaatkan
hubungan dengan kyai-kyai materi demi ke pentingan politik mereka.
Karena sifat dasar manusia, ada kyai-kyai yang merindukan amplop atau
kedudukan politik kemudian maju untuk menjadi pengurus
NU di tingkat cabang, wilayah, atau pusat, sebagai jembatan untuk
memanfaatkan dan dimanfaatkan oleh parpol-parpol dan politisi tertentu.
-------------footnote----------------------------
18. PBNU mendesak pemerintah mencegah masuknya ideologi transnasional
ke Indonesia. Jauh sebelumnya, almarhum KH. Yusuf Hasjim meminta PBNU
memotong masuknya ideologi transnasional karena berbahaya bagi NU dan
Indonesia. (Pidato disampaikan dalam peringatan 100 hari wafatnya KH.
Yusuf Hasjim, di Jombang, Jawa Timur; baca NU Online, “PBNU Desak
Pemerintah Cegah Ideologi Transnasional,” Ahad, 29 April 2007).
19. Lihat Lampiran 2 buku ini.
-------------footnote----------------------------
Pada saat yang sama, banyak kyai-kyai spiritual yang mundur dari arena
penuh pamrih dan kepentingan pribadi tersebut dan hanya berbagi ilmu
dengan orang-orang yang datang tanpa pamrih untuk mendekati Tuhan,
bukan kedudukan. Dengan jumlah anggota sekitar empat puluh juta, NU
—bersama Muhammadiyah— betul-betul bisa menjadi soko guru yang mampu
untuk tetap menyangga bangunan negara dan bangsa Indonesia. Tetapi,
untuk bisa memenuhi amanah tersebut, NU harus melakukan revitalisasi
spiritual dan kembali ke nilai-nilai utamanya. Dengan cara demikian,
para ulama bisa membimbing yang berkuasa dan tidak membiarkan dirinya
diperalat oleh mereka.
Nenek moyang kita meyakini hal ini sebagai dharma manusia, dan karena
alasan itulah wayang kulit selalu menggambarkan raja-raja bersikap
hormat dan tunduk kepada para resi, dan bukan sebaliknya.
Dewasa ini, kultur wayang yang khas Indonesia dan penuh nilai- nilai
luhur sudah mulai tersisih oleh kultur asing. Adopsi kultur asing
secara tidak cerdas akan membuat bangsa Indonesia kehilangan
jatidirinya sebagai bangsa. Hal ini bisa dilihat —antara lain— dalam
kasus yang terjadi di Cairo pada awal tahun 2004. Saat itu salah
seorang Ketua PBNU diundang menyampaikan paper dalam forum Pendidikan
dan Bahtsul Masa’il Islam Emansipatoris bersama Prof. Dr. Hassan Hanafi
dan Dr. Youhanna Qaltah. Sehari sebelum paper disampaikan, Presiden
Perhimpunan Pelajar dan Mahasiswa Indonesia (PPMI) Mesir dan
teman-temannya masuk ke hotel Sonesta tempat acara akan dilaksanakan
dan mengancam Ketua PBNU dimaksud menyajikan papernya. Mereka
mengancam, jika larangannya tidak diindahkan, apa pun akan dilakukan
untuk menghentikan, termasuk pembunuhan. “Kalau Bapak masih bersikeras, saya sendiri yang akan membunuh Bapak,” ancam Limra Zainuddin, Presiden PPMI.(20)
Setelah diselidiki, konon para mahasiswa tadi adalah para aktivis PK (PKS) di Cairo.(21)Sebagai
Muslim, mahasiswa itu seharusnya bersikap tawâdlu‘ (rendah hati),
menghormati yang lebih tua dan menyayangi yang lebih muda (laisa minnâ
man lam yukrim kibâranâ wa lam yarham shighâranâ). Namun semua ini
tidak terjadi karena tidak adanya pemahaman dan internalisasi ajaran
Islam yang penuh spiritualitas, dan mereka telah mengadopsi kultur
asing secara tidak cerdas. Dua hal ini bisa membuat siapa pun mudah
terjebak ke dalam pemahaman- pemahaman yang sempit dan kaku. Siapa pun
yang tidak mempunyai pemahaman yang mendalam tentang Islam, khususnya
tentang hakikat dan ma‘rifat, akan melihat bahwa apa yang disampaikan
kelompok- kelompok garis keras sama belaka seperti yang dipahami oleh
kebanyakan umat Islam. Mereka menggunakan bahasa yang sama dengan umat
Islam pada umumnya, seperti dakwah, amar ma’rûf nahy munkar atau Islam
rahmatan lil-‘âlamîn, tapi sebenarnya mereka memahaminya secara berbeda.(22)
-------------footnote----------------------------
20. Baca “Gertak Mati Pengawal Akidah,” dalam Gatra edisi 14, beredar Jum’at 13 Pebruari 2004.
21. Interview dengan salah seorang alumni Universitas al-Azhar Cairo asal Indonesia angkatan 2000.
22. “Karena gerakan ideologis sering tidak terasa dan disadari oleh
mereka yang dimasukinya, maka secara sistematis berkembang menjadi
besar dan merasuk. Lebih-lebih jika gerakan ideologi tersebut membawa
ideologi Islam yang puritan dan militan, sehingga bagi yang
menganggapnya sebagai masalah justeru yang akan disalahkan adalah
mereka yang mempermasalahkannya. Menentang mereka
berarti alergi Islam atau anti ukhuwah. Dengan demikian gerakan
ideologis seperti itu akan semakin mekar dan berekspansi secara
sistematik, yang di kemudian hari baru dirasakan sebagai masalah serius
tetapi keadaan sudah tidak dapat dicegah dan dikendalikan karena telah
meluas sebagai gerakan yang dianut oleh banyak orang. Daya infiltrasi
gerakan ideologis memang berlangsung tersistem dan meluas, yang sering
tidak disadari oleh banyak pihak,” (Haedar Nashir, Manifestasi Gerakan
Tarbiyah: Bagaimana Sikap Muhammadiyah? Cet. Ke-5 [Yogyakarta: Suara
Muhammadiyah, 2007], h. 59).
-------------footnote----------------------------
Di tangan mereka, amar ma‘rûf nahy munkar telah dijadikan legitimasi
untuk melakukan pemaksaan, kekerasan, dan penyerangan terhadap siapa
pun yang berbeda. Mereka berdalih memperjuangkan al-ma‘rûf dan menolak
al-munkar setiap kali melakukan aksi-aksi kekerasan atau pun
mendiskreditkan orang atau pihak lain.
Sementara konsep rahmatan lil-‘âlamîn digunakan sebagai dalih
formalisasi Islam, memaksa pihak lain menyetujui tafsir mereka, dan
menuduh siapa pun yang berbeda atau bahkan menolak tafsir mereka
sebagai menolak konsep rahmatan lil-‘âlamîn, sebelum akhirnya dicap
murtad dan kafir. Padahal, sebenarnya semangat dasar dakwah adalah
memberi informasi dan mengajak, dan Islam menjamin kebebasan dalam
beragama (lâ ikrâh fi al-dîn [QS. al-Baqarah, 2: 256]).(23)
Di sini kita melihat kontradiksi mendasar antara aktivitas kelompok-
kelompok garis keras dengan ajaran Islam yang penuh kasih sayang,
toleran, dan terbuka.
Penggunaan bahasa yang sama ini membuat mereka menjadi sangat
berbahaya, karena dengan bahasa yang sama mereka mudah mengecoh banyak
umat Islam dan mudah pula menyusup ke mana-mana dan kapan saja. Dengan
strategi demikian, ditambah militansi yang tinggi dan dukungan dana
yang kuat dari luar dan dalam negeri, kelompok-kelompok garis keras ini
telah menyusup dan berusaha mempengaruhi mayoritas umat Islam untuk
mengikuti paham mereka. Umat Islam dan pemerintah selama ini telah
terkecoh dan/atau membiarkan aktivitas kelompok- kelompok garis keras
sehingga mereka semakin besar dan kuat dan semakin mudah memaksakan agenda-agendanya,
bukan saja kepada ormasormas Islam besar tetapi juga kepada pemerintah,
partai politik, media massa, dunia bisnis, dan lembaga-lembaga
pendidikan.
-------------footnote----------------------------
23. “Peran pemerintah, praktisi dakwah, ulama, dan intelektual harus
memberi nasehat kepada yang [berdakwah secara] salah. Jika mereka tidak
menerima nasehat ini, pemerintah harus menerapkan hukum dengan
menangkap mereka dan menghukumnya sesuai dengan kesalahannya,”
(Penjelasan Syeikh al-Akbar al-Azhar, Muhammad Sayyid Tantawi, dalam:
Lautan Wahyu: Islam sebagai Rahmatan lil-‘Âlamîn, episode 5: “Dakwah,”
Supervisor Program: KH. A. Mustofa Bisri, ©LibForAll oundation 2009).
-------------footnote----------------------------
Sikap militan dan klaim-klaim kebenaran yang dilakukan kelompok-
kelompok garis keras memang tak jarang membuat mayoritas umat Islam,
termasuk politisi oportunis, bingung berhadapan dengan mereka, karena
penolakan kemudian akan dicap sebagai penentangan terhadap syariat
Islam, padahal tidak demikian yang sebenarnya. Maka tidak heran jika
banyak otoritas pemerintah dan partai- partai politik oportunis mau
saja mengikuti dikte kelompok garis keras, misalnya dengan membuat
Peraturan Daerah (Perda) Syariat yang inkonstitusional. Padahal, itu
adalah “Perda fiqh” yang tidak lagi sepenuhnya membawa pesan dan ajaran
syari‘ah, dan muatannya bersifat intoleran dan melanggar hak-hak sipil
serta hak-hak minoritas karena diturunkan dari pemahaman fiqh yang
sempit dan terikat, di samping juga tidak merefleksikan esensi ajaran
agama yang penuh spiritualitas, toleransi, dan kasih sayang kepada
sesama manusia.
Ringkasnya, para politisi oportunis yang bekerjasama dengan partai atau
kelompok-klompok garis keras sangat berbahaya juga. Mereka ikut
menjerumuskan negara kita ke arah jurang perpecahan dan kehancuran.
Mereka tidak memperhatikan, dan bahkan mengorbankan, masa depan bangsa
yang multi-agama dan multi-etnik. Sepertinya mereka hanya mementingkan
ambisi pribadi demi melanggengkan kekuasaan dan meraih kekayaan.
Gerakan garis keras terdiri dari kelompok-kelompok yang saling
mendukung dalam mencapai agenda bersama mereka, baik di luar maupun di
dalam institusi pemerintahan negara kita. Ancaman yang sangat jelas
adalah usaha mengidentifikasi Islam dengan ideologi Wahabi/Ikhwanul
Muslimin serta usaha untuk melenyapkan budaya dan tradisi bangsa kita
dan menggantinya dengan budaya dan tradisi asing yang bernuansa Wahabi
tapi diklaim sebagai budaya dan tradisi Islam. Bagian manapun dari
kedua bahaya tersebut, atau keduanya, hanya akan menempatkan bangsa
Indonesia di bawah ketiak jaringan ideologi global Wahabi/Ikhwanul
Muslimin. Dan yang paling memprihatinkan, sudah ada infiltrasi ke dalam
institusi pemerintah yang sedang digunakan untuk mencapai tujuan ini.
Agen-agen garis keras juga melakukan infiltrasi ke Majelis Ulama
Indonesia (MUI). Bahkan sudah dibilang, MUI kini telah menjadi bungker
dari organisasi dan gerakan fundamentalis dan subversif di Indonesia. (24)
Lembaga semi pemerintah yang didirikan oleh rezim Orde Baru untuk
mengontrol umat Islam itu, kini telah berada dalam genggaman garis
keras dan berbalik mendikte/mengontrol pemerintah.
Maka tidak heran jika fatwa-fatwa yang lahir dari MUI bersifat kontra
produktif dan memicu kontroversi, semisal fatwa pengharaman
sekularisme, pluralisme, liberalisme dan vonis sesat terhadap kelompok-
kelompok tertentu di masyarakat yang telah menyebabkan aksi-aksi
kekerasan atas nama Islam.
Berbagai tindakan kekerasan yang dilakukan oleh kelompok- kelompok
garis keras seperti Front Pembela Islam (FPI) dan lain-lain yang
menghancurkan dan memberangus orang lain yang dinyatakan sesat oleh
MUI, dan dukungan pengurus MUI kepada mereka yang melakukan aksi-aksi
kekerasan terkait, mengkonfirmasi pernyataan bahwa MUI telah memainkan
peran kunci dalam gerakan-gerakan garis keras di Indonesia. Saat ini
ada anggota MUI dari Hizbut Tahrir Indonesia, padahal HTI jelas-jelas mencita-citakan khilafah Islamiyah yang secara ideologis bertentangan dengan Pancasila dan NKRI.
Rendahnya perhatian dan keprihatinan terhadap fenomena garis keras
tidak hanya mengenai ideologi, gerakan, dan infiltrasi mereka. Arus
dana Wahabi yang tidak hanya membiayai terorisme tetapi juga penyebaran
ideologi dalam usaha wahabisasi global juga nyaris luput dari perhatian
publik.(25)
Selama ini, arus dana Wahabi ke Indonesia tidak mendapat perhatian
publik secara serius, padahal dari sinilah fenomena infiltrasi paham
garis keras memperoleh dukungan dan dorongan yang luar biasa kuat
sehingga menjadi bisnis yang menguntungkan banyak agennya.
Ada orang-orang yang sadar bahwa petrodollar Wahabi yang sangat besar
jumlahnya masuk ke Indonesia, namun cukup sulit untuk membuktikannya di
lapangan karena pihak yang menerima sangat sensitif atas isu ini dan
menolak membicarakannya. Sepertinya, penolakan ini dilakukan karena
agen garis keras malu jika diketahui bahwa mereka telah menjual agama,
malu jika diketahui mengabdi pada tujuan Wahabi, dan memang untuk
menyembunyikan infiltrasi Wahabi/Ikhwanul Muslimin terhadap Islam
Indonesia. Pada sisi yang lain, badan negara yang bertanggung jawab
mengawasi aliran keluar-masuk dana di Indonesia juga tidak mengumumkan
hal tersebut meskipun
sebenarnya ada para pejabat dan pihak yang bertanggung jawab atas keamanan negara mengaku sangat prihatin dengan fenomena ini.
-------------footnote----------------------------
24. Baca: “MUI Bungker Islam Radikal,” di http://www.wahidinstitute.org/indonesia/
content/view/718/52/
25. Dalam buku Dua Wajah Islam, Stephen Sulaiman Schwartz dengan jelas dan
meyakinkan memaparkan aliran dana Wahabi dalam usaha-usaha wahabisasi
global dan aksi-aksi terorisme internasional yang dilakukan atas nama
agama. Dalam konflik Bosnia misalnya, dengan dalih membela Muslim
Bosnia dari ethnic cleansing, Wahabi mengambil kesempatan untuk
menyebarkan ideologinya dengan membangun infrastruktur pendidikan dan
peribadatan. Wahabi menggunakan pendidikan (tarbiyah) dan peribadatan
(ubûdiyah) sebagai camouflage ideologis untuk menyebarkan paham
keagamaan mereka yang kaku dan sempit. Sedangkan kasus WTC sudah jelas
siapa dalang di balik tragedi tersebut. (Stephen Sulaiman Schwartz
(2002). The Two Faces of Islam: Sa’ud Fundamentalism and Its Role in
Terrorism. New York: Doubleday (diterbitkan dalam bahasa Indonesia: Dua
Wajah Islam: Moderatisme vs Fundamentalisme dalam Wacana Global,
Jakarta: LibForAll Foundation, the Wahid Institute, Center for Islamic
Pluralism, dan Blantika).
-------------footnote----------------------------
Sebagai misal, sudah merupakan rahasia umum di kalangan para ahli bahwa
melalui Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) yang bertindak sebagai
wakilnya di Indonesia, Rabithath al-‘Alam al-Islami menyediakan dana
yang luar biasa besar untuk gerakan- gerakan radikal di Indonesia. (26)
Berbagai aktivitas dakwah kampus atau lazim disebut Lembaga Dakwah
Kampus (LDK), yang menggagas gerakan tarbiyah, yang kemudian melahirkan
Partai Keadilan Sejahtera (PKS), menikmati dana Arab Saudi tersebut dan
sekaligus menyebarkan virus tarbiyah di Indonesia.
Di Kabupaten Magelang, peneliti kami mendapat informasi dari mantan
pengurus Muhammadiyah salah satu kecamatan di Magelang bahwa PKS sedang
mencari masjid-masjid yang hendak direnovasi, atau daerah-daerah yang
membutuhkan masjid baru. Secara terbuka, aktivis PKS yang bertanggung
jawab atas proyek ini mengutarakan kepada mantan pengurus Muhammadiyah
dimaksud bahwa dana untuk semua itu diperoleh dari Arab Saudi.
Jika masjid hendak direnovasi atau dibangun, penduduk setempat hanya
diminta untuk mendukung PKS dalam setiap pemilihan. Kata dia, “Tahun
2008 ini sudah ada 11 yang akan dibangun atau direnovasi dengan dana
Saudi.” Hampir semua jama‘ah masjid di Magelang yang diserobot oleh PKS
melalui strategi ini adalah warga Nahdliyin.(27) Jika di satu
kabupaten saja ada 11 masjid yang dikerjakan, bayangkan berapa jumlah
uang Wahabi yang digunakan untuk membangun masjid-masjid di seluruh
Indonesa dengan motif politik seperti ini? Setelah calon PKS menang
dalam Pilgub Jawa Barat pada bulan Juli 2008, salah seorang Ketua NU
memberitahu peneliti kami bahwa hal tersebut ditandai oleh keberhasilan
PKS merebut banyak masjid NU dan para jama‘ahnya. Walaupun Ketua NU
dimaksud terkejut dengan kejadian tersebut, sebenarnya keberhasilan PKS
merebut masjid dan jamaah NU tidak mengherankan. Tentu saja ideologi
yang didukung dana asing dengan jumlah yang luar biasa besar dan
dipakai secara sistematis bisa menyusup ke mana-mana dan mengalahkan
oposisi yang tidak terorganisasi. Atau dengan kata lain yang sering
dipakai oleh para ulama, al-haqq bi lâ nizhâmin qad yaghlib al-bâthil
bi nizhâmin (kebenaran yang tidak terorganisasi bisa dikalahkan
kebatilan yang terorganisasi).
-------------footnote----------------------------
26. Noorhaidi Hasan, “Islamic Militancy, Sharia, and Democratic
Consolidation in Post-Soeharto Indonesia,” Working Paper No. 143, S.
Rajaratnam School of International Studies (Singapore, 23 October 2007).
27. Wawancara peneliti konsultasi di Kabupaten Magelang pada bulan Agustus 2008.
-------------footnote----------------------------
Para agen garis keras sering berteriak bahwa orang asing,
yayasan-yayasan, dan pemerintah dari Barat menggunakan uang mereka
untuk menghancurkan Islam di Indonesia, dan menuding ada konspirasi
Zionis/Nasrani di belakangnya. Pada kenyataannya, pemerintah dan
yayasan-yayasan Barat seperti Ford Foundation dan the Asia Foundation
mempublikasikan program-program yang dilakukannya secara terbuka,
sehingga publik bisa mengetahui apa yang sebenarnya mereka lakukan dan
berapa biaya yang dikeluarkan untuknya.(28)
Walaupun dana LibForAll Foundation sangat sedikit dan kebanyakan
pembina, penasehat, dan pengurusnya orang Indonesia asli, ia juga
melaporkan program-program yang dilakukannya secara terbuka dan
transparan.
Hal ini sangat berbeda dari gerakan asing Wahabi/Ikhwanul Muslimin dan
kaki tangannya di Indonesia. Penelitian ini menunjukkan dengan jelas
bahwa, sementara para agen garis keras berteriak bahwa orang asing
datang ke Indonesia membawa uang yang banyak untuk menghancurkan
Islam... tentu itu benar, karena orang asing itu adalah aktivis gerakan
transnasional dari Timur Tengah yang menggunakan petrodollar dalam
jumlah yang fantastis untuk melakukan Wahabisasi, merusak Islam
Indonesia yang spiritual, toleran, dan santun, dan mengubah Indonesia
sesuai dengan ilusi mereka tentang negara Islam yang di Timur Tengah
pun tidak ada.(29)
Dengan balutan jubah dan jenggot Arab yang ditampilkan, yang oleh
beberapa pihak telah dipandang lebih tampak seperti preman berjubah,
mereka ingin menunjukkan seolah-olah pandangan ekstrem yang mereka
teriakkan dan paksakan memang benar-benar merupakan pesan Islam yang
harus diperjuangkan. Padahal, mereka merusak agama Islam dan
bertanggung jawab atas banyak kekerasan yang mereka lakukan atas nama
Islam di Indonesia dan seluruh dunia. Dan kita sebagai umat Islam harus
menanggung malu atas perbuatan mereka.
-------------footnote----------------------------
28. Pemerintah Amerika Serikat banyak membiayai pelatihan untuk
meningkatkan sumberdaya manusia terkait demokratisasi di seluruh dunia.
The National Democratic Institute (NDI), lembaga semi-pemerintah AS
yang berusaha mendorong usaha-usaha demokratisasi di Indonesia, “secara
tipikal lebih memilih mitranya berdasarkan komitmen mereka pada
prinsip-prinsip demokratis dan anti-kekerasan daripada
keyakinan-keyakinan politiknya. Faktor lain yang juga dipertimbangkan
adalah:
kemampuan dan dukungan politik rakyat seperti bisa dibuktikan dari
hasil pemilu; organisasi-organisasi tingkat akar rumput; dan kemampuan
menerima bantuan. Selama ini NDI menyelenggarakan training aktivis dan
anggota, kampanye pemilihan langsung, kebijakan pembangunan, pemilihan
pimpinan, analisis sikap pemilih, serta pembangunan dan reformasi
partai politik. NDI juga terus menyediakan saran-saran para ahli dan
informasi global, training para pemimpin partai dan instruktur pada
tingkat nasional, wilayah, dan kabupaten.” (Baca dalam: http://www.ndi.org/indonesia).
Berdasarkan wawancara peneliti konsultasi pada bulan Maret 2008, partai
yang paling banyak menerima manfaat dalam program Political Party
Development NDI ini adalah PKS.
29. Aktivitas Saudi di Indonesia hanya merupakan bagian kecil dari kampanye senilai US $70.000.000.000,- selama kurun waktu antara 1979-2003
untuk menyebarkan sekte fundamentalis Wahabi di seluruh dunia.
Usaha-usaha dakwah Wahabi yang terus meningkat ini merupakan “kampanye
propaganda terbesar di seluruh dunia yang pernah dilakukan—anggaran
propaganda Soviet pada puncak Perang Dingin menjadi sangat kecil
dibandingkan belanja propaganda Wahabi ini” (Baca dalam: “How Billions
in Oil Money Spawned a Global Terror Network,” dalam US News &
World Report, 7 Desember 2003).
-------------footnote----------------------------
Karena itu, alasan utama melawan gerakan garis keras adalah untuk
mengembalikan kemuliaan dan kehormatan Islam yang telah mereka nodai
dan sekaligus —pada saat yang sama— untuk menyelamatkan Pancasila dan
NKRI. Jika mayoritas moderat melawan kelompok garis keras dengan tegas,
kita akan mengembalikan suasana beragama di Indonesia menjadi moderat,
dan kelompok garis keras dewasa ini akan gagal lagi seperti semua nenek
moyang ideologis mereka di tanah air kita, yang mewakili kehadiran
al-nafs al-lawwâmah. Kemenangan melawan mereka akan mengembalikan
keluhuran ajaran Islam sebagai rahmatan lil-‘âlamîn, dan ini merupakan
salah satu kunci untuk membangun perdamaian dunia. Studi ini kami
lakukan dan publikasikan untuk membangkitkan kesadaran seluruh komponen
bangsa, khususnya para elit dan media massa, tentang bahaya ideologi
dan paham garis keras yang dibawa ke tanah air oleh gerakan
transnasional Timur Tengah dan tumbuh seperti jamur di musim hujan
dalam era reformasi kita. Juga, sebagai seruan untuk
melestarikan Pancasila yang merefleksikan esensi syari‘ah dan menjadikan Islam sebagai rahmatan lil-‘âlamîn yang sejati.
Dalam Bab V, studi ini merekomendasikan langkah-langkah strategis untuk
melestarikan Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan menegakkan warisan luhur
tradisi, budaya dan spiritualitas bangsa Indonesia, antara lain dengan:
mengajak dan mengilhami masyarakat dan para elit untuk bersikap
terbuka, rendah hati, dan terus belajar agar bisa memahami
spiritualitas dan esensi ajaran agama, dan menjadi jiwa-jiwa yang
tenang;
menghentikan dan memutus —dengan cara-cara damai dan bertanggung
jawab— mata rantai penyebaran paham dan ideologi garis keras melalui
pendidikan (dalam arti kata yang seluas-luasnya) yang mencerahkan,
serta mengajarkan dan mengamalkan pesan-pesan luhur agama Islam yang
mampu menumbuhkan kesadaran sebagai hamba Tuhan yang rendah hati,
toleran dan damai.
Bekerjasama, saling mengingatkan tentang kebenaran (wa tawâshau
bil-haqq) dan untuk selalu bersabar (wa tawâshau bil-shabr), menjadi
kunci penting dalam hal ini. Kita harus tetap santun, sabar, toleran,
dan terbuka dalam usaha-usaha melestarikan visi luhur nenek moyang dan
Pendiri Bangsa. Tujuan mulia hendaknya tidak dinodai dengan usaha-usaha
kotor, kebencian, maupun aksiaksi kekerasan. Tujuan luhur harus dicapai
dengan cara-cara yang benar, tegas, bijaksana dan bertanggung jawab,
yang jauh dari arogansi, pemaksaan dan semacamnya.
Kita pantas mengingat nasehat Syeikh Ibn ‘Athaillah al-Sakandari dalam
Hikam karyanya: “Janganlah bersahabat dengan siapa pun yang perilakunya
tidak membangkitkan gairahmu mendekati Allah dan kata-katanya tidak
menunjukkanmu kepada -Nya” (lâ tash-hab man lâ yunhidluka ilâ Allah
hâluhu, wa la yahdîka ilâ Allâh maqâluhu). Orang yang merasa paling
mengerti Islam, penuh kebencian kepada makhluk Allah yang tidak sejalan
dengan mereka, serta merasa sebagai yang paling benar dan karena itu
mengklaim berhak menjadi khalifah-Nya untuk mengatur semua orang—pasti
perbuatan dan kata-katanya tidak akan membawa kita kepada Tuhan. Cita-cita mereka tentang negara Islam hanya ilusi.
Negara Islam yang sebenarnya tidak terdapat dalam konstruksi
pemerintahan, tetapi dalam kalbu yang terbuka kepada Allah swt. dan
kepada sesama makhluk-Nya.
Kebenaran dan kepalsuan sudah jelas. Garis keras ingin memaksa semua
rakyat Indonesia tunduk kepada paham mareka yang ekstrem dan kaku.
Catatan sejarah bangsa kita —Babad Tanah Jawi, Perang Padri,
Pemberontakan DI, dan lain-lain— menunjukkan bahwa jiwa-jiwa yang resah
akan terus mendorong bangsa kita ke jurang kehancuran sampai mereka
betul-betul berkuasa, atau kita menghentikannya seperti berkali-kali
telah dilakukan oleh jiwa-jiwa yang tenang, nenek moyang kita. Saat ini
kitalah yang memilih masa depan bangsa.
memperjuangkan aspirasi muttaquun, menegakkan hukum islaam, tentu tak dilarang oleh konstitusi.
BalasHapuspostingan yang bagus. terimakasih atas postingannya kunjungi juga halaman fb ini http://www.facebook.com/pages/NKRI-Harga-mati/215972781765189
BalasHapus