Rabu, 16 Mei 2007 14:28
Jakarta, NU Online
Rabithah Ma’ahid Islamiyah Nahdlatul Ulama (RMI NU) akan mengumpulkan para pimpinan pondok pesantren (ponpes) se-Indonesia di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta, pada 18-21 Mei mendatang. Salah satu agenda pertemuan asosiasi ponpes NU se-Indonesia itu adalah membahas munculnya ideologi transnasional (antar-negara) yang dinilai juga ‘mengancam’ keberadaan ponpes.
Wakil Ketua Pimpinan Pusat RMI NU Abdul Adhim kepada wartawan mengatakan, ideologi transnasional atau ideologi ‘impor’ dari luar negeri itu dinilai telah mengancam keutuhan bangsa dan pesantren. Karena, ideologi tersebut kebanyakan tidak sesuai dengan kondisi sosial dan budaya setempat.
“Islam Indonesia yang didakwahkan Walisongo itu ‘kan penuh semangat toleransi dan santun. Nah, ideologi Islam transnasional itu datang dengan tidak santun, dengan teriak Allahu Akbar sambil pecahkan kaca,” terang Adhim yang juga Ketua Panitia Pelaksana acara tersebut di Kantor PBNU, Jalan Kramat Raya, Jakarta, Rabu (16/5)
Karena itu, menurut Adhim, organisasi yang menghimpun 14 ribu ponpes NU se-Indonesia itu merasa turut bertanggung jawab atas masuknya ideologi impor yang akan mengganggu keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) itu.
Adhim menambahkan, selain soal ancaman ideologi transnasional, pertemuan yang bakal dibuka Wakil Presiden Jusuf Kalla itu juga akan membahas nasib ponpes yang dinilai masih kurang mendapat perhatian dari pemerintah. Pertemuan yang akan diikuti 300 pimpinan ponpes dan 32 pengurus wilayah RMI NU se-Indonesia itu akan menuntut kepada pemerintah agar lebih memerhatikan ponpes.
Selama ini, ujarnya, ponpes diperlakukan diskriminatif oleh pemerintah. Padahal, ponpes yang juga menjadi bagian dari sistem pendidikan di Indonesia memiliki hak yang sama seperti layaknya lembaga pendidikan yang lainnya. Lulusan pondok pesantren, selama ini, belum diakui keberadaannya oleh pemerintah.
“Pondok pesantren yang berada di bawah naungan RMI NU, hanya Sidogiri (Pasuruan) dan Lirboyo (Kediri) yang lulusannya atau ijazahnya diakui oleh pemerintah. Sementara, pondok pesantren lain, tidak. Padahal, kalau bicara kualitas, lulusan pesantren juga tidak kalah dengan lulusan lembaga pendidikan lainnya,” terang Adhim.
Tidak hanya itu. Menurut Adhim, ponpes yang umumnya berada di pinggiran kota, kurang mendapat perhatian dari pemerintah, terutama dari segi fisik. “Bantuan materi dari pemerintah untuk pesantren selama ini masih sedikit, seperti bantuan pengadaan laboratorium, dan sebagainya. Kalau pun ada, hal itu setelah era reformasi, sebelumnya tidak pernah ada,” paparnya.
Untuk itu, dalam pertemuan yang dirangkai dengan Rapat Kerja RMI NU tersebut, telah diagendakan beberapa penandatanganan Naskah Kesepahaman Kerja Sama (Memorandum of Understanding/MoU) antara PP RMI NU dengan Pemerintah yang akan diwakili menteri-menteri terkait. (rif)
http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=9224
Tidak ada komentar:
Posting Komentar