Jumat, 28 Januari 2011

Nasionalisme di Tengah Pandemik Ideologi Impor


Indonesia setelah memasuki tahun ke 10 periode reformasi, semakin banyak perubahan-perubahan dalam memandang pluralisme beragama, berbangsa dan bernegara. Kesekian kali terjadi amendemen UUD 45, sehingga kita sebagai warga Negara sendiri kadang takut terjadi pergeseran-pergeseran mendasar pada UUD 45 yang bersinergis dengan dasar Negara kita Pancasila.
Apa parameter perlunya amandemen itu? Yang terjadi kemarin adalah interpretasi rezim Orba terhadap pelaksanaan UUD 45 yang cenderung sempit dan diktaktor. Sehingga para reformis menambahkan beberapa sub pasal-pasal yang saat itu menjadi dasar rezim orba untuk mengekang kebebasan berfikir dan bertindak dalam berorganisasi.
Bergulirnya reformasi juga ditandai dengan tumbuhnya beberapa lembaga independen non govermen yang mencermati jalannya kebijakan pemerintah dalam mengamalkan Pancasila dan UUD 45. Disamping itu juga muncul lembaga Negara seperti KPU, Komnasham, KPK dan Mahkamah Konstitusi. Masing-masing lembaga itu mempunyai tugas untuk mengontrol elemen-elemen bangsa dalam menjalankan tugas sebagai warga Negara Indonesia yang tunduk pada hukum di Indonesia.
Berjalannya reformasi juga tidak hanya menjadi regulasi munculnya reformasi hukum dan ekonomi saja, melainkan juga diikuti oleh reformasi politik yang dahsyat. Disamping itu juga terjadi beberapa  ekspansi-ekspansi gelombang politik internasional, baik itu dari barat dan dari timur tengah. Tak pelak faham liberalisme dan fundamentalisme bergulir bersama dalam pertumbuhan reformasi di Indonesia. Keduanya bertarung untuk merebut simpatisan masyarakat kita yang benar-benar haus akan perubahan dari kondisi stagnan  yang pernah disajikan oleh rezim orde baru.
Ekspansi gelombang aliran liberalis dan fundamentalis berkembang luas dalam pemikiran  masyarakat khususnya dalam dunia pendidikan. Banyak dari perguruan tinggi di Indonesia yang mengadopsi beberapa kurikulum barat lewat studi-studi Islam yang telah dipelajari oleh sarjana barat. Disisi lain dunia pergerakan mahasiswa juga terjadi penetrasi ideologi trans nasional yang ujung-ujung adalah kelompok fundamental. Dampaknya kita melihat adanya pemunculan kembali wacana piagam Jakarta sebagai sebuah lintasan sejarah dibentuknya pancasila yang pernah menggunakan redaksi "wajib menjalankan syariat bagi pemeluk agama Islam". Keduanya mendapat sambutan baik oleh masyarakat kita sebagai wacana khas reformasi, meninggalkan nuansa stagnan dan diktaktor yang pernah disajikan rezim orde baru.
Ketika liberalisme merebak ke daerah jantung pemahaman agama, terlihat sudah beberapa pemahaman teks-teks al-Quran dan hadits yang disajikan kaum liberalis, dimampatkan dalam sebuah kerangka pikiran rasio manusia.  Akhirnya terjadilah pergulatan pikiran (gazwah al-fikr) dalam tubuh sunni (Nahdlatul Ulama), menendang kemapanan-kemapanan fikih yang dinilai terlalu ortodoks dan tidak peka zaman. Banyak wacana-wacana fikih yang diekstrak lagi dengan kerangka liberal, sehingga menghasilkan gagasan baru dalam fikih islam itu sendiri. Kemudian munculah wacana fiqh tranformatif, fikih emansipatoris, yang tidak pernah tersentuh oleh kalangan kyai-kyai desa. Mereka menganggap pikiran kyai itu kuno dan tidak sejalan dengan unversalisme yang terkandung dalam semangat Islam (rahmatal lil alamin).
Sedangkan dalam penetrasi kaum fundamental yang kebetulan berasal dari timur tengah tidak hanya dalam satu serangan, mereka membagi tugas dalam beberapa organisasi yang lebih detail arah sasarannya. Di bidang pergerakan mahasiswa, ada hizbut tahrir mereka bergerak dengan menggunakan fashion sebagai "brand product" golongan mereka. Dengan model busana muslim yang khas, beberapa dari mereka juga menggunakan hijap (cadar) yang khas. Melalui rekrutmen anggota lewat seminar-seminar kebangsaan  dan tema-tema up to date, mereka menawarkan konsep-konsep khilafah (kepemimpinan Islam) lewat penegakan syariah (sebagai lips servicenya). Penetrasi ideologi ini berjalan mulus untuk menstimulus pikiran anggotanya, guna menjegal ideologi Pancasila dengan konsep Khilafah yang diusungnya.
Di bidang politik, mereka menggunakan  mekanisme partai yang dikenal paling santun, paling bersih dari KKN. Tak pelak pemilu kemarin "PKS" mampu mendongkrak suara nasionalnya menjadi 9 %. Sebuah prestasi yang luar biasa dalam 2 kali pemilu di Indonesia. Partai Keadilan Sejahtera dalam tingkat grass root memberikan tawaran-tawaran pada "muslim yang berpandangan luas" untuk bergabung dengan mereka guna menggolkan wacana syariah Islamiyah yang berujung pada Daulah Islamiyah.
Hal ini identik dengan Jemaah Islamiyah, sebagai satu organisasi yang bergerak dibidang ketentaraan, mereka dengan "langkah nyata" mengirim beberapa anggotanya untuk berjihad di beberapa Negara konflik di timur tengah.  Sepulangnya di tanah air, mereka mengkader anggotanya untuk menerapkan metode jihad dengan membombardir  beberapa tempat yang sering dikunjungi warga asing. Bom Bali I & II, JW Marriot I & II, dan lain-lain, adalah serangkaian tindakan jihad yang real bagi Jemaah Islamiyah. Ujung-ujungnya mereka juga sedang mengujicobakan konsep ketentaraan yang disiapkan untuk tujuan Daulah Islamiyah di Indonesia.
Secara tidak sadar, kedua arus ini telah melakukan infiltrasi ideologi baru dan menjegal kemapanan ideologi Pancasila yang sudah berakar kuat di sanubari masyarakat Indonesia. Sebagai warga Negara Indonesia, kita harus sadar dan waspada terhadap  pemaksaan ideologi liberalis yang menghancurkan sendi-sendi agama dan penikaman terhadap Pancasila sebagai satu-satunya dasar Negara yang sah secara de jure dan de facto.
Kalau kita sadar, kekayaan Indonesia adalah bertumpunya keanekaragaman agama, budaya dan suku pada Pancasila sebagai dasar Negara. Pancasila mampu mengayomi perbedaan yang terjadi di nusantara tercinta ini. Kalau ada ideologi yang lebih bagus dari Pancasila, maka para pendiri bangsa dahulu tidak akan memilih Pancasila sebagai sebuah ideologi final di saat itu, saat ini dan saat yang akan datang.
Beberapa ideologi impor ini pada saatnya akan meledakkan nasionalisme yang selama ini kita bangun  dengan susah payah. Apakah tidak sebaiknya kita mendesain ulang kerangka pemikiran kita untuk mengatakan Pancasila sebagai ideologi yang final? Sesudah kita merasakan pahit getirnya "empedu ideologi impor" yang telah meledak di era kemerdekaan dulu. Namun sadarkan kawan-kawan kita yang telah menelan mentah-mentah empedu ideologi impor itu?
Jika saja wacana-wacana seperti ini jarang dipublikasikan, maka yang terjadi kemudian adalah ancaman disintegrasi bangsa. Dimana masyarakat kita akan saling mengklaim kebenaran atas egoisme mereka sendiri bukan berpijak pada ideologi Pancasila. Atau paling tidak ada upaya pengayaan kembali terhadap wacana-wacana mainstream ideologi yang sedikit banyak menggeser kita akan semangat Nasionalisme dan pemahaman akal sehat kita yang mendalam terhadap ideologi Pancasila, serta kerangka NKRI yang sudah sekian tahun terbukti diterima masyarakat kita yang majemuk dan plural.
Sebagai warga Negara kita seharusnya ada sebuah upaya untuk bangkit dari keterpurukan kita terhadap pemahaman ideologi Pancasila itu. Lewat langkah ini kita bisa mengkaji ulang kekayaan nilai-nilai Pancasila dengan tidak menoleh lagi terhadap tawaran-tawaran asing yang selama ini menjajakan idiologi-ideologi murahan mereka. Atau ada upaya yang lebih ekstrim, perlu dibentuk UU anti subversif lagi untuk meminimalisir upaya-upaya gerilya asing dalam usaha mengganti ideologi Pancasila dengan ideologi murahan. Memang dalam rangka mendesain kembali UU tersebut harus tidak boleh mengkebiri kreatifitas, ide, kebebasan berekspresi yang membangun, senyampang itu bermanfaat untuk memperkaya pemahaman kita kepada ideologi Pancasila yang luhur dan sakti ini.
Sebenarnya kita sendiri, mulai sekarang harus sering menggunakan anugerah "sense of intelegence" kita yang telah diberikan Allah pada kita.  Artinya menelaah kembali mana yang bisa diterima oleh ideologi Pancasila dan NKRI, dan membuang jauh-jauh wacana ideologi yang sesat dan meracuni ideologi Pancasila itu sendiri. Atau kalau tidak, ada gelombang chaos yang kemudian menyebabkan disintegrasi bangsa.
Sebagai penutup tulisan ini, alkisah suatu saat Presiden Sukarno di tengah krisis ekonomi saat itu, dan ancanan disintegrasi dengan bergejolaknya papua barat yang menginginkan kemerdekaan, mencoba berdiskusi dengan salah seorang Kyai yaitu KH. Wahab Hasbullah (Jombang). Beliau menanyakan status hukumnya kependudukan Belanda di Papua.
Kemudian K.H. Wahab Hasbullah menjawab, "Kependudukan Belanda menurut kacamata fiqh yang saya baca (kitab Fathul Qorib) adalah ghasab (istilah untuk memakai tanpa izin pemilik) dan itu adalah haram."
Presiden Sukarno menanyakan lagi, "Berarti wajib diperangi Kyai?"
K.H. Wahab Hasbullah menjawab, "Wajib."

Dari kisah ini sang Kyai dan sang Presiden adalah dua komponen bangsa yang sama-sama menggali keanekaragaman ide, pendapat untuk keselamatan NKRI. Wacana fiqh tetap up to date untuk wacana bangsa sekalipun, tanpa harus mengganti ideologi Pancasila menjadi Daulah Islamiyah. Implementasi ranah fiqh bisa dibawa ke dalam wacana kebangsaan, dan itu adalah sebagian kecil pengayaan terhadap nilai-nilai nasionalisme yang bersumber pada koridor ideologi bangsa kita yaitu Pancasila. Dunia pesantren sendiri telah menjadikan bahtsu masail sebagai motor penggerak pemahaman kebangsaan dalam ranah fiqh, dan itu bisa digali terus menerus tanpa harus mengimpor idiologi di luar kekayaan bangsa dan Negara kita sendiri.

Tema: Nasionalisme di Mata Saya
Judul: Nasionalisme di Tengah Pandemik Idiologi Impor
Penulis: Ahmad Sirojuddin, mahasiswa semester 5 jurusan Ahwal Syakhsiyah, STAI Darullughah Wadda'wah.

http://pesantren.or.id.42303.masterweb.net/dalwa.bangil/cgi-bin/dalwa.cgi/al_bashiroh/artikel/43-aug09-nasionalisme_ditengah_pandemik_ideologi_impor.single

Nasionalisme Indonesia Dalam "Ancaman"?


MOMENTUM Kebangkitan Nasional yang dikonstruksi pada tahun 1908 merupakan titik yang sangat signifikan bagi
kemunculan bangunan nasionalisme, kesadaran untuk bersatu, serta menyatukan keinginan bersama untuk merekatkan
elemen-elemen yang berbeda dalam satu naungan negara-bangsa yang bernama Indonesia.
Dari momentum Kebangkitan Nasional 1908 tersebut, paling tidak terdapat dua faktor yang sangat signifikan bagi
investasi Indonesia. Pertama, pemuda yang menunjukkan peran dan eksistensinya secara jelas untuk menjadi lokomotif
perubahan yang heroik bagi tercapainya kemerdekaan dan perjalanan kenegaraan serta kebangsaan Indonesia
pascakemerdekaan.

Pada konteks tersebut, semakin menegaskan bahwa pemuda memiliki posisi strategis dalam menggerakkan perubahan
dan menciptakan sejarah baru bangsa ini atau paling tidak menjadi trend setter sejarah Indonesia. Hampir seluruh
sejarah yang tercipta di negeri ini dilakukan atas peran serta pemuda, seperti gerakan 1908, 1928, 1945, 1966, hingga
1998. Fenomena tersebut sekaligus menunjukkan betapa signifikannya keberadaan pemuda dalam konteks
keindonesiaan.

Dari gugusan sejarah Indonesia yang jangan pernah dilupakan adalah bahwa kontribusi terbesar terbentuknya sejarah
Indonesia karena adanya komitmen dan kesadaran yang tulus melalui peran pemuda di masa lalu. Namun, kita tentu
tidak berharap bahwa roda sejarah harus terhenti karena pemuda Indonesia hari ini kehilangan vitalitas ekspresi
perannya dalam perubahan keindonesiaan, menghadapi tantangan kesejarahan yang semakin berat, dengan
kecenderungan sosial yang semakin masif dan dinamis.

Kedua, dari lembaran sejarah Indonesia berikutnya, secara faktual tertoreh kontribusi daerah-daerah dalam proses
terbentuknya dan terpeliharanya konstruksi nasionalisme Indonesia. Melalui peran, komitmen, dan kesadaran yang tulus
dari daerah, bingkai persatuan dan kesatuan nasional, dalam kerangka mewujudkan kemerdekaan dan memaknai arti
kemerdekaan, sebagai pijakan bagi pembangunan bangsa yang menghimpun secara harmonis elemen-elemen daerah,
dalam tujuan dan cita-cita bersama: memajukan Indonesia, dapat disepakati, dan diimplementasikan secara bersama.
Komitmen dan ketulusan daerah dalam proses terbangunnya bangsa ini sangat tidak pantas untuk dipertanyakan
kembali. Goresan tinta sejarah bangsa ini teramat berarti bagi komponen bangsa ini, terutama daerah. Eksistensi daerah
saat ini tengah menampakkan keceriaannya, setelah sebelumnya tampak kusam akibat paradigma kekuasaan masa lalu,
yang memersepsi lahan sosial Indonesia dalam bingkai homogenisasi.

Pola tersebut selanjutnya menempatkan entitas daerah dengan segala bentuk, simbol, dan aktivitasnya sebagai sebuah
ancaman bagi ikatan nasionalisme atau integrasi nasional. Mungkin penerapan kebijakan homogenisasi tersebut
dianggap tepat, lantaran paham kedaerahan yang sempit terbukti di banyak negara menimbulkan persoalan yang
berimplikasi bukan saja pada ancaman persatuan dan kesatuan nasional, namun juga terjebak dalam konflik sosial
antaretnis berkepanjangan, yang pada akhirnya memorak-porandakan bangunan sejarah suatu bangsa.

Namun, fenomena daerah setelah beberapa waktu berjalan dapat menikmati "kebebasannya" dari kooptasi sentralisasi
yang berlangsung dalam rentang waktu yang cukup panjang, nyatanya belum berada dalam posisi yang kondusif. Kerap
dalam beberapa peristiwa, masih didapatkan kecenderungan yang mempertentangkan pusat dan daerah. Sehingga
muncul kecenderungan dekonstruksi nasionalisme bukan reformulasi nasionalisme yang menawarkan wajah
nasionalisme yang lebih baik.

Mungkin juga fenomena tersebut sebagai akibat apresiasi dan kepentingan daerah yang belum terakomodasi dalam
ruang yang semestinya. Sehingga kecenderungan-kecenderungan mengurangi dominasi kekuasaan pusat atas daerah
tak bisa dihindari. Hanya, memang dalam beberapa hal, kerap dipandang melebihi takaran yang seharusnya.
Peringatan Kebangkitan Nasional tahun ini (2006), idealnya mampu mengantarkan komponen bangsa ini pada
kontemplasi terhadap eksistensi nasionalisme yang tengah berada dalam ancaman. Nasionalisme kita yang tengah
berada dalam ancaman, paling tidak diindikasikan semakin panjangnya deretan persoalan kebangsaan, seperti besarnya
utang luar negeri, fenomena memudarnya rasionalitas dan praktik kriminalitas sosial yang terus diperagakan dalam lahan
sosial Indonesia sehingga muncul sebutan Republic of Horor atau Republic of Fear, menuntut Indonesia untuk memiliki
apa yang disebut nasionalisme baru atau paling tidak merevitalisasi nasionalisme kita yang sesungguhnya dibutuhkan
bangsa ini agar menjadi sebuah keniscayaan.

Langkah ini barangkali bisa menjadi salah satu alternatif, yang mampu memberikan sumbangan penting untuk turut
meminimalisasi pesimistis yang melanda sebagian besar warga negara, agar menempatkan kembali nasionalisme
sebagai sesuatu yang dipahami bersama dalam berbangsa dan bernegara serta mempertahankan nasionalisme dari
implikasi negatif globalisasi politik dan ekonomi.

Nasionalisme baru yang hendak ditumbuhkan, selain didorong kecenderungan adanya dekonstruksi berbagai hal, pada
sisi lain dalam konteks keidealan, Indonesia memang belum menemukan bentuk nasionalisme yang "konkret", selalu
berada dalam tahapan "pencarian bentuk" (metamorfosis).

Dalam pergumulan wacana seputar nasionalisme sejumlah ahli, semisal Cornelis Lay, mengungkapkan posisi
nasionalisme yang terimpit oleh dua kekuatan mahabesar: globalisasi dengan logika dan asumsi-asumsi universalitas,
uniformitas, dan sentralisasinya dengan etno-nasionalisme yang berjalan ke arah sebaliknya.

Di tengah impitan arus besar tersebut, nasionalisme baru Indonesia mestinya memiliki cita-cita bersama yang
dirumuskan dalam good society, dengan memaknai masa lalu dan merumuskan masa depan dalam kesatuan gerak
masa kini. Alangkah baiknya, untuk menopang proyeksi tersebut, mempertajam apa yang disebut prinsip
kewarganegaraan (citizenship), yang memiliki daya seduksi yang sangat besar dalam memenuhi hasrat setiap komunitas
dan umat manusia atas persamaan.

Mengapa citizenship layak mendapat perhatian dalam kerangka memperkuat nasionalisme kita? Paling tidak, citizenship
merepresentasikan kehendak untuk mengusung partisipasi kualitatif masyarakat, untuk mencapai civil society. Barangkali
kita akan sepakat bahwa tidak ada satu pun negara maju yang tidak berlandaskan masyarakat yang kualitatif dalam
segala hal. Pun lantaran kewarganegaraan layak dimengerti sebagai jantung dari konsep nasionalisme.

Dengan demikian, semestinya mulai hari ini dan ke depan, kita harus kembali membenahi anyaman sejarah bangsa yang
terkoyak di beberapa bagian. Membangun kembali keindahan sejarah melalui jalinan harmonis seluruh kekuatan bangsa,
termasuk elemen-elemen daerah. Upaya mengonstruksi keindonesiaan kita yang lebih baik merupakan sesuatu yang
sangat mungkin, seperti yang pernah dibuat pada tahun 1908, yang mampu mengumandangkan ikrar kebangsaan yang
menjadi embrio kebangkitan nasional, dengan kekuatan nasionalisme kita.***

Oleh: Oleh Ir. H. M.Q. ISWARA
Penulis, Ketua Forum Musyawarah Masyarakat Jawa Barat (Format Jabar) dan Ketua DPP KNPI.
sumber: http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2006/052006/22/selisik/utama02.htm

http://www.duniaesai.com/index.php/direktori/esai/48-sejarah/344-nasionalisme-indonesia-dalam-qancamanq.html

Nasionalisme Tak Bertentangan


Jakarta, Kompas - Nasionalisme Indonesia sesuai dan tidak bertentangan dengan agama. Bahkan, Islam dan agama lain di Indonesia telah berperan penting dan menjadi tulang punggung pergerakan serta pembangunan keindonesiaan sejak tahun 1910.
”Nasionalisme Indonesia memberi tempat yang terhormat kepada agama, Pancasila, dan UUD 1945,” tegas Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Azyumardi Azra. Pernyataan itu disampaikan Azyumardi saat berbicara dalam diskusi ”Menyegarkan Kembali Paham Kebangsaan” yang digelar Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar, Senin (20/12) di Jakarta.
Namun, lanjut Azyumardi, keharmonisan antara nasionalisme dan agama tetap perlu dijaga dan terus dikembangkan. Hal itu karena ada sejumlah hal yang dapat menurunkan semangat nasionalisme, seperti meningkatnya globalisme politik, budaya, sosial, dan informasi. Penyebaran gerakan dan gagasan transnasionalisme, yang menganjurkan universalisme politik agama, juga dapat menyebabkan turunnya nasionalisme.
Yudi Latif, Direktur Eksekutif Reform Institute, menambahkan, sejarah menunjukkan bahwa Indonesia sudah lama menjadi titik temu dari berbagai budaya. Namun, setiap budaya luar yang masuk ke Indonesia selalu mengalami nasionalisasi atau proses penerimaan dengan budaya setempat.
Untuk itu, lanjut Yudi, jika ada yang mengatakan bahwa seseorang memeluk agama tertentu, maka juga dapat disebut bahwa orang itu atau Indonesia telah menerima agama tersebut.
Sekretaris Jenderal Partai Golkar Idrus Marham menuturkan, mereka yang menyimpang dari paham kebangsaan sebenarnya bukan orang bodoh. ”Sikap dan perilaku kita saat ini juga diwarnai dengan berbagai intrik dan fitnah,” ujar Idrus.
Pada saat yang sama, karya dan prestasi juga belum menjadi ukuran hak seseorang dalam memimpin. Akibatnya, ada pemimpin seperti bupati dan gubernur yang kinerjanya belum memuaskan karena sebelumnya mereka tidak memiliki prestasi dan karya.
”Seharusnya, yang berhak memimpin adalah yang memiliki karya dan prestasi. Karena patokannya karya dan prestasi, maka tawarannya harus berupa ide dan gagasan,” ujar Idrus. (NWO)

http://nasional.kompas.com/read/2010/12/21/03155954/Nasionalisme.Tak.Bertentangan

LSI : Nasionalisme Indonesia Mencapai Puncak!

 
JAKARTA, KOMPAS.com — Rasa nasionalisme bangsa Indonesia tengah mencapai puncaknya. Sebanyak 92,1 persen publik Indonesia merasa bangga sebagai orang Indonesia. Nasionalisme ini pun diikutsertakan dengan kesediaan untuk turun berperang membela negara yang mencapai 63,1 persen. Begitulah hasil survei yang dilakukan oleh Lingkar Survei Indonesia (LSI).
"Ketika kami tanyakan seberapa banggakah ibu atau bapak menjadi orang Indonesia, ternyata 92,1 persen menjawab sangat atau cukup bangga, sementara yang kurang atau tidak bangga sama sekali sebanyak 4,2 persen. 3,7 persen tidak tahu," ungkap Peneliti LSI, Ardian Sopa, Kamis (23/12/2010), dalam jumpa pers di Pisa Kafe, Jakarta.
Jika dibandingkan dengan survei sebelumnya, lanjut Sopa, tingkat kebanggaan orang Indonesia relatif konstan, yakni di atas angka 90 persen dari bulan Maret 2005-Oktober 2010.
Dengan rasa nasionalisme tersebut bahkan masyarakat Indonesia mengaku sangat bersedia berperang untuk negaranya, yakni sebanyak 63,1 persen. Rasa nasionalisme Indonesia ini bahkan mengalahkan negara-negara lain di Asia Tenggara dalam keinginan untuk membela negara masing-masing, seperti Malaysia (79,3 persen), Filipina (87,4 persen), Singapura (86,6 persen), Vietnam (96,4 persen), dan Thailand (89,9 persen).
"Rasa nasionalisme ini pun yang akan semakin meningkat pada final Piala AFF nanti melawan Malaysia," ucapnya.
Namun, sayangnya, LSI tidak memiliki data mengenai hal-hal yang memengaruhi besarnya rasa nasionalisme Indonesia ini. Adapun penelitian dilakukan pada bulan Oktober 2010, dengan metode pengambilan sampel multistage random sampling pada 100 desa/kelurahan dengan total 1.000 responden.
Wawancara dilakukan dengan tatap muka dengan responden dan menggunakan kuesioner. Margin of error dalam penelitian ini sebesar 4 persen. Respons yang diambil pun tersebar dari berbagai kategori jenis kelamin, agama, dan suku bangsa. Dilihat dari jenis kelamin, sebanyak 50 persen responden adalah laki-laki dan 50 persen adalah perempuan.

http://nasional.kompas.com/read/2010/12/23/1551111/Nasionalisme.Indonesia.Mencapai.Puncak-4

Rabu, 05 Januari 2011

Bung Hatta: Pancasila Harus Dipegang Teguh


Perlulah saya uraikan sepintas tentang isi dan inti dari Pancasila itu.*)
Pancasila artinya 5 dasar untuk pedoman menyusun negara, yaitu
1. Ketuhanan Yang Maha Esa;
2. Perikemanusiaan ;
3. Kebangsaan;
4. Kedaulatan Rakyat;
5. Keadilan Sosial.

Isi dari dasar Ketuhanan Yang Maha Esa ialah mengakui suatu kekuasaan di atas manusia. Dasar ini oleh semua golongan bisa dipakai menurut agamanya masing-masing. Masing-masing golongan bisa memahami arti Ketuhanan Yang Maha Esa itu menurut paham agamanya. Tetapi, nyatalah bahwa inti dari Ketuhanan Yang Maha Esa itu ialah penghargaan manusia sebagai makhluk Tuhan. Jikalau di antara manusia dengan manusia tidak ada harga menghargai, maka tidak bisa dicapai suatu susunan dunia. Di antara manusia ada yang kaya ada yang iniskin, ada yang berbeda kecakapannya, ada yang bodoh ada yang pintar, tetapi sebagai manusia makhluk Tuhan ia dipandang sama.

Selain dari persaudaraan antara manusia dengan manusia, juga supaya dunia yang terganggu dengan perang bisa terhindar dari bencana. Itulah tujuan dari segala agama. Dan juga menjadi tujuan dari semua ideologi yang berdasar sosialisme.

Selain dari itu pada bagian ketiga kita harus menyelenggarakan persahabatan antara bangsa dengan bangsa. lni penting sekali untuk masa yang akan datang, untuk mencapai dunia yang berdasarkan perdamaian yang kekal. Perang pada waktu ini semakin hari semakin hebat. Dulu yang mati di dalam peperangan hanyalah prajurit; yang berada di kota-kota selamat, malahan dalam hukum internasional pada abad yang lalu diadakan peraturan untuk melindungi penduduk sipil dengan mengadakan peraturan kota terbuka, yang tidak boleh ditembaki. Tetapi dalam Perang Dunia I tahun 1914 dasar ini sudah dilanggar dan malahan pada Perang Dunia II orang tidak merasa aman lagi. Orang menggali lubang dan hidup di dalam lubang, takut tertimpa hujan bom. Dengan timbulnya kapal udara, bahaya perang semakin hebat, seolah-olah manusia kembali ke abad belakang, mencari lubang untuk perlindungan diri. Sekarang dengan adanya atom orang merasa lebih lebih tidak aman lagi. Atom bisa menjalar sampai ke lubang-lubang dan ini berarti di dalam kota pun orang akan tidak merasa aman lagi. Inilah akibat dari peperangan sekarang. Jikalau kita lihat perang Korea sekarang akan tampak berapa banyak kota yang binasa, berpuluh juta yang tewas, sedang di antara yang tewas banyak pula rakyat biasa daripada mereka yang tewas di medan perang.

Keganasan peperangan sekarang ini menuntut kita menyelenggarakan dasar Ketuhanan Yang Maha Esa. Inilah pedoman kita untuk menjalankan politik luar negeri di atas dasar, harga-menghargai. Jikalau hanya kita yang berjuang ke jurusan ini, sedangkan bangsa-bangsa lain tidak turut serta, maka cita-cita ini tidak akan tercapai.

Tapi bagaimanapun itulah cita-cita kita, itulah dasar hidup kita, harga menghargai.

Jikalau ada suatu bangsa yang mau menghina kita, kita tidak ingin bersahabat dengan dia. Kita hanya bersahabat jikalau ada saling harga menghargai.

Kedua, selain dari Ketuhanan Yang Maha Esa, kita menuntut pula penghargaan manusia sebagai makhluk. Kita harus pula menjalankan segala usaha dengan kesucian hati dan perbuatan. Kalau tidak maka kita tidak sanggup memimpin negara kita ke jalan kemajuan. Ini juga adalah kelanjutan dari dasar Ketuhanan Yang Maha Esa.

Dasar yang kedua ialah dasar Perikemanusiaan. Dasar Perikemanusiaan ini tidak lain dari penyelenggaraan dan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Di dalam prakteknya selain dari itu kita juga mencapai perhubungan antara manusia dengan manusia, umpamanya perhubungan antara majikan dengan buruh. Kita tidak bisa mengizinkan suatu hubungan yang berdasarkan perbudakan. Ini tidak saja mengenai majikan asing, tetapi juga antara kita sama kita. Kita mengingini penghargaan terhadap buruh sebagai seorang manusia.

Selain dari itu hubungan antara kapital dengan buruh yang nanti akan saya bentangkan lebih jauh. Pokoknya di dalam hubungan antara kapital dengan buruh kita harus menyelenggarakan dan mencapai perikemanusiaan, supaya penghidupan buruh semakin hari semakin baik.

Dasar yang ketiga ialah Kebangsaan. Yang pertama kali ialah pengakuan bahwa kita adalah bangsa yang satu. Saudara-saudara barangkali masih ingat dengan janji dan sumpah pemuda pada tahun 1928 yang mengakui bahwa kita hanya berbangsa satu yaitu bangsa Indonesia, bertanah air satu tanah air Indonesia, berbahasa satu yaitu bahasa persatuan Indonesia Inilah yang kita selenggarakan di dalam proklamasi. Negara kita bukanlah negara yang berpecah-pecah. Tentang susunan ke dalam kita bisa bertukar pendapat, ada yang menganggap susunan federasilah yang baik dan ada yang menganggap negara kesatuanlah yang terbaik. Tetapi bagaimanapun, dalam menghadap ke luar kita tetap satu. Dasar persatuan kebangsaan harus diselenggarakan, karena kita tidak mau diadu-domba.

Kita hanya satu bangsa, satu tanah air. Inilah kelanjutan dari dasar kebangsaan.

Selanjutnya negara kita adalah negara nasional, bukan negara internasional. Dan kita harus mempertahankan dasar ini, yang akan memberikan kedaulatan di tangan rakyat kita sendiri. Kalau kita mengakui negara kita ini negara internasional, maka kedaulatan tidak berada di tangan rakyat, tetapi berada di tangan orang, organisasi atau negara di luar kita. Dasar dari kebangsaan ini ialah satu pengakuan bahwa negara kita ini adalah negara nasional, yang menentang semua ideologi yang akan membawa penjajahan asing, penjajahan yang datangnya dari ideologi penjajahan dari satu negara atau penjajahan dari satu bangsa. Kita harus mengakui adanya kedaulatan di tangan negara kita. Hal ini saya tegaskan supaya kita dapat memelihara tanah pusaka, supaya kemerdekaan kita kekal.

Memang ada aliran, yang mau menaklukkan kita ke dalam kekuasaan asing. lni mesti kita tentang. Kita sudah berjuang mati-matian untuk melepaskan diri dari penjajahan Belanda, dan kita tidak ingin dijajah kembali, walau di mana pun juga pusatnya penjajahan itu.

Dasar yang keempat ialah Kerakyatan atau kedaulatan rakyat yang sering dikatakan demokrasi. Demokrasi adalah dasar dari cita- cita rakyat. Untuk menyelenggarakan cita-cita itu kita mengadakan pemerintahan negara yang berdasarkan parlemen yang dipilih dari waktu ke waktu, supaya rakyat bisa mengkontrolnya. Jikalau anggota parlemen diangkat seumur hidup, terhadap dia tidak ada kontrol. Waktu dilakukan pemilihan ia mau memberikan janji-janji yang muluk. Untuk mengoreksi pekerjaan anggota parlemen, maka diadakan sistem pemilihan sewaktu-waktu. Pada tiap negara demokrasi dapat dilihat adanya sistem pemilihan sewaktu-waktu supaya rakyat bisa memutuskan tentang siapa yang akan diutus duduk di dalam parlemen.


Pemerintah juga terdiri dari golongan yang terbanyak dalam parlemen. Memang da- sar ini belum sempurna kita selenggarakan. Demokrasi kita baru tumbuh. Dalam penja- jahan asing kita belum mempunyai demokrasi, dan kita baru mencoba menum- buhkan demokrasi. Untuk mencapai jalan yang sebaik-baiknya dapat diselenggarakan, jikalau kita mempunyai rasa tanggungjawab atas diri sendiri, karena kelanjutan atau syarat, dari demokrasi pada rakyat harus diletakkan rasa tanggung jawab untuk tidak mengutus siapa-siapa saja yang dapat memberikan janji-janji yang baik. Pemerintah demokrasi ialah pemerintah yang bertanggung jawab terhadap DPR dan DPR bertang- gung jawab pula kepada rakyat. Adalah kewajiban bagi kita untuk mempertebal rasa tanggung jawab ini antara satu sama lainnya, untuk menyelenggarakan demokrasi yang sebaik-baiknya.

Sistem otonomi adalah penyelenggaraan sistem pemerintahan rakyat dengan mendekatkan pertanggungan jawab kepada rakyat. Jikalau di pusat saja diadakan demokrasi, maka kontrol dari rakyat jauh sekali dan tidak langsung.

Juga di dalam menyelenggarakan ini terdapat kesulitan dan entah berapa lama lagi kita harus menyusun negara kita supaya demokrasi berjalan baik. Jikalau terlalu banyak tingkatan demokrasi akan timbul kekacauan. Untuk sementara kita mengambil 4 tingkat, yaitu pusat, pemerintahan provinsi, pemerintahan kabupaten dan pemerintahan desa. Demokrasi yang lebih dekat kepada rakyat ialah dalam pemerintahan desa. Di dalam pemerintahan desa, hampir seluruh orang desa dapat memutuskan apa yang baik bagi mereka. Di dalam mengadakan 4 tingkat demokrasi ini usaha kita berlain-lainan. Umpamanya perundingan di desa mengenai semata-mata kepentingan desa membicarakan pembikinan tempat mandi, membersihkan saluransaluran air dan memberikan hak-hak otonomi bagi yang bisa diurus dalam lingkungan yang lebih kecil.

Pemerintahan desa bukanlah tempatnya mempersoalkan apakah Indonesia masuk ke dalam UNO atau tidak. Ini perlu sekali diperhatikan, karena pernah pada tahun 1947 ketika saya mengelilingi Sumatra Timur desa desa ikut memperbincangkan soal Linggarjati. Politik luar negeri tempatnya adalah di parlemen.

Pada waktu ini kita belum mempunyai undang-undang dan peraturan yang membagi kekuasaan masing-masing. Sedikit hari lagi tentu ada peraturan pembagian kekuasaan, supaya betul-betul rakyat melakukan pemerintahan sendiri untuk mengatur kepentingan sendiri.

Pusat otonomi kita nanti terletak di kabupaten. Sedangkan provinsi adalah badan yang mengkoordinasikan otonomi yang berada dalam lingkungannya. Besar pengharapan saya, supaya Saudara-saudara yang terpandang sebagai pemimpin rakyat maupun di dalam jabatan atau organisasi, supaya mematangkan rakyat dan merasakan tanggung jawab yang besar ini. Jikalau tidak dirasakan tanggung jawab ini, maka segala badan yang didirikan tidak akan berhasil. Inilah tujuan kerakyatan kita.

Demokrasi kita baru tumbuh, karena kita masih belum bisa meletakkan dasar kepartaian semata-mata. Misalnya tentang kabinet Natsir, yang tidak dapat kita namakan apakah kabinet parlementer, karena tidak semua aliran dari golongan-golongan yang ada di dalam parlemen duduk di dalamnya. Juga apakah ia dapat dinamakan zaken kabinet, karena di dalam zaken kabinet, kepartaian tidak perlu diperhatikan.

Ada yang mengatakan ekstra parlementer kabinet, dan bagi saya inilah yang lebih dekat. Kabinet yang disebut ekstra parlementer kabinet adalah bertanggung jawab kepada parlemen, tetapi susunan orangnya tidak langsung dari anggota-anggota yang terkemuka dari partai-partai. Mungkin susunan pemerintahan sekarang ini dapat dikatakan ekstra parlementer kabinet, karena kabinet dibentuk di atas perembukan partai-partai yang menyusunnya. Sudah nyata bahwa masih tidak sesuai 100 persen dengan kabinet parlementer, karena pada umumnya kepartaian belum lagi mendalam di kalangan rakyat dan belum mempunyai ahli-ahli yang cakap yang terkenal politisi. Di Inggris semua yang duduk di dalam parlemen adalah orang-orang ahIi. Tetapi intelektual kita belum begitu maju, sehingga partai-partai belum ada yang mempunyai ahli di dalam lapangan sosial, di lapangan keuangan, pengajaran dan lain-lain. SebaIiknya yang mempunyai keahlian tidak mempunyai partai, demikian menurut kebanyakannya, sehingga sukar bagi seorang perdana menteri memilih susunan kabinet dari semua partai.

Di Inggris, Ernest Bevin, bukanlah seorang ahli, tetapi ia seorang yang kuat di dalam partai. Tidak begitu sulitnya karena departemen-departemen di Inggris telah lengkap dan dapat berjalan. Di Prancis kontak antara menteri dengan parlemen sangat sedikit, karena kabinetnya sering sekali berubah-ubah. Ada umur kementerian yang hanya 3 hari, ada yang sampai 1 bulan dan malahan sebelum Perang Dunia II ada dewan kementerian yang berumur 1 hari. Sudah teranglah dengan berubah-ubahnya susunan kabinet itu, jikalau semua kementerian bergantung pada menteri, pekerjaan kementerian tidak akan berjalan. Dalam keadaan yang seperti itu kekuasaan pegawai sangat besar. Menteri hanyalah memberikan beleid umum yang menjadi dasarnya kementerian-kementerian. Dalam pimpinan harian, kabinet tidak banyak turut mencampuri.

Dalam kehidupan sekarang ini tuntutan terhadap menteri sangat sulit, karena kita baru bekerja dengan pegawai-pegawai yang tidak cukup. Tidak heran jikalau pegawai tinggi dalam kementerian terpaksa mengalami overwerk (artinya kerja lembur), terpaksa pulang membawa map untuk mengerjakan yang tidak bisa dikerjakan di kantor, sehingga menteri-menteri pada umumnya kekurangan waktu. Jadi jikalau ada menteri yang overwerk atau beristirahat, itu bukanlah ganjil. Sebagai akibat kekurangan tenaga maka banyak soal yang harus diurus sendiri oleh menteri, sehingga menteri-menteri kita dituntut pula harus mempunyai keahlian. Kita terpaksa pula mempergunakan tenaga asing yang tentunya memakan biaya yang besar, karena mereka tidak mau dibayar menurut schaal kita.

Sekarang nyatalah bagi Saudara-saudara bahwa untuk menjalankan demokrasi haruslah dengan mempertebal tanggung jawab di dalam diri sendiri. Dan yang paling penting ialah di dalam segala usaha haruslah ada kejujuran. Jangan hanya mencari kemenangan dengan menegakkan benang basah, jangan melakukan oposisi saja, tetapi maunya secara gentleman. lnilah yang mesti kita selenggarakan, yaitu politik yang berdasar kejujuran dan kesucian. Kalau tidak pemerintahan demokrasi kita akan menjadi anarki.

Tidak sembarang orang yang bisa menjadi seorang politikus. Seorang profesor yang pintar umpamanya, masih belum tentu dapat menjadi seorang politikus. Politikus menuntut adanya kecakapan yang tersendiri. Dan sebaliknya ada orang dapat menjadi seorang staatsman, karena staatsman menghendaki tuntutan yang lain pula. Seorang politikus bisa memperjuangkan cita-cita yang menjadi prinsipnya di dalam parlemen
secara setajam-tajamnya. Tetapi sebaliknya seorang staatsman tidak boleh berbuat seperti itu. Kita umpamakan jikalau satu partai yang menjalankan pemerintahan, ia tidak boleh menjalankan pemerintahan itu menurut prinsipnya sendiri. Contoh seperti ini dapat dilihat dengan Labour Party di Inggris.

Jikalau sebagai pemerintah sekarang dipakai main prinsip-prinsipan maka pada pemerintahan yang akan datang dasar yang dipakai sekarang ini terpaksa diubah. Pemerintah di dalam dasarnya sering mengambil jalan tengah.

Selain dari itu tuntutan terhadap pegawai berlainan pula, karena tuntutan yang terpenting bagi seorang pegawai ialah keahlian. Pegawai harus mendapat kesempatan mengerjakan keputusan-keputusan yang telah diambil oleh pemerintah. Untuk dijadikan seorang pegawai ada tuntutan yang istimewa, yaitu mempunyai kecakapan di dalam pekerjaannya sendiri. Tidak sembarang orang yang bisa mengepalai rumah sakit, atau mendatangkan kemakmuran umpamanya, karena ia menghendaki pengetahuan di dalam bagiannya masing-masing. Dan pula sebaliknya tidak semua pegawai yang cakap bisa menjadi seorang staatsman atau politikus.

Sebab itulah salah sekali jikalau seorang pegawai yang cakap di dalam jabatannya lalu diambil menjadi menteri, sedangkan kehidupan seorang menteri adalah tidak kekal. Sesudah habis ia menjadi menteri maka pekerjaannya akan terlantar. Dalam menuruti tiga kategori ini, kita harus memilih yang sebaik-baiknya dan mengambil perbedaan yang jelas dari padanya. Kita di dalam hal ini banyak sekali telah berbuat kesalahan, sehingga ada terjadi seorang pegawai yang ahli dijadikan menteri. Kejadian ini adalah juga sebagai lanjutan dari tuntutan demokrasi kita.

Dasar yang kelima ialah Keadilan Sosial. Supaya di dalam masyarakat kita ini kita mencapai suatu masyarakat yang mempunyai keadilan sosial, terutama haruslah kita mencapai demokrasi di dalam ekonomi. Kita harus menyelenggarakan supaya di dalam perusahaan-perusahaan buruh mendapat kedudukan yang pantas sesuai dengan pekerjaannya. Selain dari itu kita harus pula menyebarkan pengetahuan kebudayaan yang seluas-luasnya di kalangan rakyat, sehingga rakyat mempunyai kultur, supaya kultur itu tidak terbatas pada kaum intelektual dan supaya rakyat yang berada di gunung dan pelosok desa pada satu kali dapat mengecap listrik dan radio. Ke puncak gunung yang paling tinggi di mana ada hidup rakyat kita, hendaknya dapat dialirkan kecerdasan manusia. Cita-cita ini pada satu kali mesti tercapai.

Selain dari itu suatu jaminan sosial terhadap buruh, penghidupan buruh, harus terpelihara pada masa sekarang dan masa yang akan datang. Jaminan sosial ini sudah menjadi dasar internasional dan sudah disempurnakan di negara-negara yang modern, yaitu buruh bergantung dengan upahnya, menyimpan satu atau setengah persen dari pendapatannya pada tiap bulan, dan majikan memikul sebagiannya yang akan menghasilkan fonds pensiun bagi buruh tadi. Jaminan sosial terhadap anak dan istri buruh harus menjadi tuntutannya dari dasar negara kita. Inilah yang menjadi dasar dari negara kita.

Inilah dasar-dasar yang menjadi tujuan negara kita. Jikalau kita dapat berpegang kuat kepada dasar ini, maka kita akan dapat mencapai tujuan yang menjadi cita-cita kita; yaitu suatu Indonesia yang adil dan makmur, supaya rakyat dapat mengecap keadilan masyarakat dan kemakmuran di rohani dan jasmani.

*) Dikutip dari "Pancasila Harus Dipegang Teguh," pidato wakil presiden Dr. Mohammad Hatta pada rapat terbatas di Pematang Siantar, 22 November 1950.

http://www.pdiperjuangan-jatim.org/v03/index.php?mod=pustaka&id=12

Petuah Bung Karno Tentang Nasionalisme Indonesia


Saudara-saudara yang bernama kaum kebangsaan yang di sini, maupun Saudara-saudara yang dinamakan kaum Islam, semuanya telah mufakat, bahwa bukan negara yang demikian itulah kita punya tujuan. kita hendak mendirikan suatu Negara 'semua buat semua'. Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan, maupun golongan yang kaya, tetapi 'semua buat semua'.
(Soekarno, Pidato di BPUPKI, 1 Juni 1945 )

Kita mendirikan negara Indonesia, yang kita semua harus mendukungnya. Semua buat semua! Bukan Kristen buat Indonesia, bukan golongan Islam buat Indonesia, bukan Hadikoesoemo buat Indonesia, bukan Van Eck buat Indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buat Indonesia, tetapi Indonesia buat Indonesia, semua buat semua!
( Soekarno, Pidato di BPUPKI, 1 Juni 1945 )

Negara Republik Indonesia ini bukan milik sesuatu golongan, bukan milik sesuatu agama, bukan milik sesuatu suku, bukan milik sesuatu golongan adat-istiadat, tetapi milik kita semua dari Sabang sampai Merauke!
( Soekarno, Pidato di Surabaya, 24 September 1955 )

Ya, demokrasi politik itupun hanya bau baunya saja, kaum borjuis dengan harta kekayaannya, dengan surat kabarnya, dengan buku bukunya, dengan midrasah midrasahnya, dengan bioskop bioskopnya, dengan segla alat kekuasaannya bisa mempengaruhi pemilih, mempengaruhi jalannya politik. Benar sekali perkataannya Cailaux, bahwa kini Eropa dan Amerika ada di bawah kekuasaannya feodalisme baru.
(Soekarno, Mencapai Indonesia merdeka, 1933)

 

Hizbut Tahrir adalah Organisasi Terlarang (OT) di Negara Asal Berdirinya

Beberapa kiai NU belakangan ini mengaku didatangi aktivis Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Para aktivis HTI itu selain membagikan brosur juga mengajak kiai masuk kelompok mereka. Diantara kiai tu adalah KH Ahmad Muhammad Alhammad, pengasuh pesantren Qomaruddin Bungah Gresik. “Saya katakan kepada mereka, saya ini NU, tak mungkin ikut paham sampean,” kata Yai Mad – panggilan kiai berparas teduh itukepada sejumlah tamunya suatu ketika. “Brosur-brosurnya ada tapi tidak saya baca,” tuturnya lagi.

Pengurus NU di berbagai daerah, termasuk PWNU Jawa Timur, juga mengaku sering mendapat pengaduan dari warga NU soal aktivis HTI yang berusaha mempengaruhi warga nahdliyin. Bahkan dalam Munas dan Mubes NU di Asrama Haji Sukolilo Surabaya tempo hari para aktvis HTI masuk ke kamar-kamar peserta membagikan selebaran. Jargon mereka – seperti biasa -khalifah sebagai solusi. Belum lagi beberapa masjid NU yang jadi sasaran mereka.

Karuan saja banyak kiai penasaran. Gerakan apa sebenarnya HTI? Bagaimana asal-usulnya? Berikut wawancara HARIAN BANGSA dengan KH Imam Ghazai Said, MA, cendekiawan muslim yang banyak mengamati gerakan Islam radikal. Pengasuh pesantren mahasiswa An-Nur Wonocolo ini memang sangat paham soal berbagai gerakan Islam, terutama yang berasal dari Timur Tengah. Ia selain banyak menulis dan mengoleksi leteratur Islam aliran keras juga bertahun-tahun studi di Timur Tengah. Ia mendapat gelar S-1- di Universitas Al-Azhar Mesir, sedang S-2 di Hartoum International Institute Sudan. Kemudian ia melanjutkan ke S-3 di Kairo University Mesir. Kini intelektual muslim ini aktif sebagai Rois Syuriah PCNU Surabaya dan dosen IAIN Sunan Ampel Surabaya.


Bisa Anda jelaskan bagaimana sejarah gerakan Islam aliran keras yang belakangan menjadi perhatian para kiai NU?

Sebenarnya kelompok besarnya itu Ikhwanul Muslimin yang pusatnya di Ismailiah, Mesir. Organisasi ini berdiri pada 1928, dua tahun setelah NU berdiri, NU kan berdiri 1926. Pendiri Ikhwanul Muslimin Syaikh Hasan Al-Banna. Menurut saya, pemikiran Syaikh Hasan Al-Banna ini moderat. Dia berusaha mengakomodasi kelompok salafy yang wahabi, merangkul kelompok tradisional yang mungkin perilaku keagamaannya sama dengan NU dan juga merangkul kelompok pembaharu yang dipengaruhi oleh Muhammad Abduh. Syaikh Al-Banna menyatakan bahwa Ikhwanul Muslimin itu harkah islamiyah, sunniyah, salafiyah, jadi diakomodasi semua, sehingga ikhwanul muslimin menjadi besar. Dalam Ikhwanul Muslimin ada lembaga bernama Tandhimul Jihad. Yaitu institusi jihad dalam struktur Ikhwanul Muslimin yang sangat rahasia. Kader yang berada dalam Tandhimul Jihad ini dilatih militer betul, doktrinnya pakai kesetiaan seperti tarikat kepada mursyid. Ini dibawah komando langsung Ikhwanul Muslimin. Para militer atau milisi ini menarik kelompok-kelompok sekuler yang ingin belajar tentang disiplin militer. Nasser (Gammal Nasser, red) dan Sadat (Anwar Sadat, red) juga belajar pada Tandhimul Jihad ini.


Apa Nasser dan Sadat yang kemudian jadi presiden Mesir itu bagian dari Ikhwanul Muslimin?

Mereka bagian dari militernya, bukan dari ideologi Ikhwanul Muslimin. Jadi mereka belajar aspek militernya. Ketika pada 1948 Israel mempermaklumkan sebagai negara maka terjadi perang. Nah, Tandhimul Jihad ini ikut perang, dan kelompok ini yang punya prakarsa-prakarsa. Waktu itu Mesir kan masih dibawah kerajaan Raja Faruk dan sistemnya masih perdana menteri, Nugrasi. Tapi akhirnya Arab kalah dan Israel berdiri. Kemudian Tandhimul Jihad balik lagi ke Mesir. Nah, dalam kelompok ini ada Taqiuddin Nabhani yang kemudian mendirikan Hizbut Tahrir. Jadi Taqiuddin itu awalnya bagian dari Ikhwanul Muslimin. Namun antara Hasan Al-Banna dan Taqiuddin ini kemudian terjadi perbedaan. Hasan Al-Banna berprinsip kita terus melakukan perjuangan dan memperbaiki sumber daya manusia. Sedang Taqiuddin bersikukuh agar terus melakukan perjuangan bersenjata, militer. Taqiuddin berpendapat kekalahan Arab atau Islam karena dijajah oleh sistem politik demokrasi dan nasionalisme. Sedang Hasan Al-Banna berpendapat sebaliknya. Menurut dia, tidak masalah umat Islam menerima sistem demokrasi dan nasionalisme, yang penting kehidupan syariat Islam berjalan dalam suatu negara. Pada 1949 Hasan Al-Banna meninggal karena ditembak agen pemerintah dan dianggap syahid. Sedang Taqiuddin terus berkampanye di kelompoknya di Syria, Libanon dan Yordania. Kemudian Tandhimul Jihad diambil alih Sayid Qutub, ideolognya Ikhwanul Muslimin. Ia dikenal sebagai sastrawan dan penulis produktif, termasuk tafsir yang banyak dibaca oleh kita di Indonesia. Nah, Sayid Qutub ini mendatangi Taqiuddin agar secara ideologi tetap di Ikhwanul Muslimin. Tapi Taqiuddin tidak mau karena ia beranggapan bahwa Ikhwanul Muslimin sudah masuk lingkaran jahiliyah. Ya, itu menurut Taqiuddin hanya gara-gara Ikhwanul Muslimin menerima nasionalisme.

Akhirnya Taqiuddin mendirikan Hizbut Tahrir. Artinya, partai pembebasan. Maksudnya, pembebasan kaum muslimin dari cengkraman Barat dan dalam jangka dekat membebaskan Palestina dari Israel. Itu pada mulanya. Ia mengonsep ideologi khilafah Islamiyah.


Lantas?

Nah, karena ia berideologi khilafah Islamiyah, sementara di negaranya sendiri telah berdiri negara nasional, maka akhirnya berbeda dengan masyarakatnya. Di Lebanon, sudah berdiri negara nasionalis yang multi karena rakyatnya terdiri dari banyak agama, undang-undangnya sesuai jumlah penduduknya, misalnya, presidennya, harus orang Kristen Maronit, Perdana Menterinya harus orang Islam Sunni, ketua parlemennya harus orang Islam Syiah. Di Syiria juga telah menjadi negara sosialis, begitu juga Yordania telah berdiri sebagai negara sesuai kondisi masyarakatnya. Akhirnya Hizbut Tahrir itu menjadi organisasi terlarang (OT) di negara asal berdirinya. Karena ia menganggap nasionalisme itu sebagai jahiliah modern. Namun meski menjadi organisasi terlarang Hizbut Tahrir tetap bekerja dan menyusup ke tentara, ke berbagai organisasi profesi dan masuk juga ke parlemen. Hizbut Tahrir masuk ke partai politik dengan menyembunyikan identitasnya. Dari situlah kemudian terjadi upaya-upaya untuk melakukan kudeta terhadap pemerintah yang sah pada jaman Raja Husen. Sehingga sebagian anggota Hizbut Tahrir diajukan ke pengadilan dan dihukum mati. Sampai sekarang Hizbut Tahrir masih jadi organisasi terlarang di Yordania.


Bagaimana sejarahnya sampai ke Indonesia ?

Mereka mengembangkan ke sini melalui mahasiswa yang belajar di Mesir. Pola ikhwan dikembangkan, pola Salafy dan pola Hizbut Tahrir dikembangkan. Tapi antara Ikhwan, Salafy dan Hizbut Tahrir secara ideologi bertemu, ada kesamaan. Mereka sama-sama ingin menerapkan formalisasi syariat Islam. Hanya bedanya, kalau Salafy cenderung ke peribadatan, atau dalam bahasa lain mengislamkan orang Islam, karena dianggap belum Islam. Dan target utamanya NU karena dianggap sarangnya bid’ ah.ha.ha.ha. . Bisa saja kelompok Salafy, Hizbut Tahrir dan Ikwanul Muslimin membantah, tapi saya tahu karena saya telah berkumpul dengan mereka.


Kalau Ikhwanul Muslimin?

Sama. Kelompok Ikhwanul Muslimin, menjadikan NU sebagai target. Mereka bergerak lewat mahasiswanya yang dinamakan usrah (keluarga). Usrah ini minimal 7 orang, dan maksimal 10 orang. Ini ada amirnya dan amir inilah yang bertanggungjawab terhadap kelompok. Bagaimana mengatasi kebutuhan kehidupan sehari-hari terpenuhi, misalnya kalau ada anggota yang kesulitan bayar SPP. Jadi mereka tak hanya bergerak di bidang politik, tapi juga bidang-bidang lain. Nah, kelompok inilah yang kemudian menamakan diri sebagai Tarbiyah yang bermarkas di kampus-kampus seperti Unesa dan sebagainya. Kelompok Tarbiyah inilah yang menjadi cikal bakal PKS (Partai Keadilan Sejahtera). Mereka umumnya alumni Mesir, Syiria atau Saudi. Kelompok ini masih agak moderat karena masih mau menerima negara nasional. Tapi substansi perjuangan formalisasi syariat sama dengan Hizbut Tahrir atau Salafy.


Kalau dalam ideologi khilafah Islamiyah?

Hizbut Tahrir katemu dengan Salafy dan Ikhwanul Muslimin dalam soal formalisasi syariat. Tapi dari segi sistem khilafahnya tidak ketemu. Sebab khilafah Islamiyah itu dianggap utopia. Misalnya bagaimana denganya sistem Syuronya, apakah meniru sistem Turki Utsmani yang diktator atau Umayah, itu masih problem. Tapi bagi Hizbut Tahrir yang penting khilafah Islamiyah.


Apa saja program Hizbut Tahrir?

Mereka sampai kini punya konstitusi yang terdiri dari 187 pasal. Dalam konstitusi ini ada program-program jangka pendek. Yaitu dalam jangka 13 tahun, menurut Taqiuddin, sejak berdiri 1953, Negara Arab itu sudah harus jadi sistem Islam dan sudah ada khalifah. Taqiuddin juga menarget, setelah 30 tahun dunia Islam sudah harus punya khalifah. Tapi kalau kita hitung sejak tahun 1953 sampai sekarang kan tidak teralisir.he. .he..he.. Jadi utopia, tapi mereka masih semangat.


Bagaimana sejarah Hizbut Tahrir ke Indonesia?

Itu melalui orang Libanon. Namanya Abdurrahman Al-Baghdadi. Ia bermukim di Jakarta pada tahun 80-an. Kemudian juga dibawa Mustofa bin Abdullah bin Nuh. Inilah yang mendidik tokoh-tokoh HTI di Indonesia seperti Ismail Yusanto, tokoh-tokoh Hizbut Tahrir sekarang. Tapi sebenarnya diantara mereka ada friksi. Karena tokoh-tokoh HTI yang sekarang merasa dilangkahi oleh Ismail Yusanto ini.


Bagaimana gerakan mereka di Indonesia?

Ini anehnya. Di Indonesia mereka terus terang menganggap Pancasila jahiliah. Nasionalisme bagi mereka jahiliah. Tapi reformasi kan memberi angin kepada kelompok-kelompok ini sehingga dibiarkan saja. Dan tidak ada dialog. Akhirnya mereka memanfaatkan institusi (seolah-olah) “mendukung” pemerintah untuk mempengaruhi MUI (Majelis Ulama Indonesia). Tapi
mereka taqiah (menyembunyikan agenda perjuangan aslinya), sebab mereka menganggap Indonesia itu sebenarnya jahiliah. Taqiah itu ideologi Syiah tapi dipakai oleh mereka.


Lalu bagaimana cara Hizbut Tahrir merealisasikan kepentingan politiknya?

Meski bernama partai, Hibut Tahrir, tak bisa ikut pemilu. Hizbut Tahrir membentuk beberapa tahapan dalam menuju pembentukan khilafah Islamiah. Pertama, taqwin asyakhsyiah islamiah, membentuk kepribadian Islam. Mereka pakai sistem wilayah, karena gerakan mereka internasional. Jadi untuk Indonesia wilayah Indonesia. Tapi sekarang pusatnya tak jelas, karena di negaranya sendiri sangat rahasia. Mereka dikejar-kejar karena Hizbut Tahrir ini organisasi terlarang. Tapi mereka sudah ada di London, Austria, di Jerman dan sebagainya.


Siapa tokoh internasionalnya itu?

Nah itu rahasia. Tapi di sini mereka terbuka karena Indonesia memberi peluang. Ada Ismail Yusanto dan sebagainya, jadi bisa muncul di media massa. Nah, dari taqwin syahsyiah islamiah ini bagaimana bisa mengubah ideology nasionalis menjadi internasionalis Islam. Mereka agresif, jadi terus menyerang. Karena itu orang-orang NU didatangi, termasuk kiai-kiainya didatangi oleh mereka. Kedua, attau’iyah, penyadaran. Ketiga, at-ta’amul ma’al ummah, interaksi dengan masyarakat secara keseluruhan. Mereka membantu kepentingan- kepentingan. Saya dengar di Surabaya, di Unair dan ITS saja, dalam urunan mereka bisa menghasilkan uang Rp 30 juta tiap bulan. Keempat, harkatut tatsqif, gerakan intelektualisasi. Ini diajari bagaimana menganalisa hubungan internasional, mempelajari kejelekan-kejelekan ideologi kapitalisme. Pokoknya yang ideologi modern itu mereka serang semua. Mereka melontarkan Islam sebagai solusi atau alternatif. Ini beda dengan Ikhwanul Muslimin dan Tarbiah Islamiah yang kemudian menjelma sebagai PKS. Sebab Ikhwanul Muslimin agak fleksibel. Kasus di Syria, di bawah Mustofa as-Syiba’i, ketika ideologi pemerintahannya sosialisme, mereka ikut sosialis. Ia mencari landasan hukum bahwa sosialisme itu benar menurut Islam. Maka Mustofa as-Syiba’i menulis buku Istiroqiyah Islamiah, jadi sosialisme Islam.


Tapi Hizbut Tahrir di Indonesia kan pendukung PKS?

Kalau dukungan iya, tapi secara formal mereka tidak. Ya, mungkin ada kesamaan dalam perjuangan yang terbatas.


Lalu tahapan apalagi?

Yang terakhir, at-taqwin daulah islamiah, membentuk Negara Islam. Sarananya apa? Biwasailil jihad, dengan sarana jihad. Jadi bagi negara nasional, gerakan mereka, menurut saya, bahaya. Karena gerakan selanjutnya adalah istilamul hukmi, merebut kekuasaan. Meskipun utopia tapi kalau mereka pakai cara-cara kekerasan, kan berat. Karena mereka didoktrin dan pengikutnya muda-muda semua. Misalnya, mahasiswa semester 2 atau 3. Bahkan santri saya datang ke saya, ia bilang diajak Hizbut Tahrir. Saya persilakan. Tapi saya sendiri pernah diprotes oleh Hizbut Tahrir.


Kenapa?

Saya kan pernah bilang, bahwa pendapat ijtihadi Hizbut Tahrir ada yang kontroversial. Misalnya pendapat fiqhnya menyatakan bahwa anggota Hizbut Tahrir itu sebenarnya boleh non-muslim. Ini kan kontroversi. Kemudian, menurut Hizbut Tahrir, perempuan boleh jadi anggota parlemen. Kalau di Arab ini kontroversi. Lalu juga – menurut Hizbut Tahrir – boleh melihat film porno. Kemudian, ini yang menarik, menurut Hizbut Tahrir, boleh mencium perempuan bukan muhrim, baik syahwat maupun tidak syahwat. Begitu juga salaman dengan perempuan, boleh. Tapi mereka (aktivis Hizbut Tahrir) membantah. Waktu di NU Centre, mereka membantah karena saya menyatakan menurut paham Hizbut Tahrir boleh salaman dengan perempuan bukan muhrim. Mereka tanya, masak Hizbut Tahrir membolehkan ciuman dengan cewek bukan muhrim. Padahal setelah saya lihat dalam buku mereka ini (Imam Ghazali Said menunjukkan buku) memang boleh. Berikutnya, perempuan boleh berpakaian celana yang untuk kawasan Timur Tengah dianggap kontroversi. Juga boleh orang kafir menjadi panglima di Negara Islam, bahkan jadi khalifah sekalipun, asal dia taat pada undang-undang Islam. Kemudian juga boleh umat Islam membayar jizyah (pajak) kepada Negara kafir dalam kondisi umat Islam belum kuat.


Respon mereka?

Lha, ini nggak benar, kata mereka. Kata mereka, yang bicara begini ini harus Hizbut Ttahrir. Lalu saya bilang, saya kan punya data autentik. Ini tulisan syaikh Anda sendiri, Taqiuddin Nabhani (pendiri Hizbut Tahrir). Daulah Islamiyah. Saya sebagai guru kan tak boleh bohong. Sekarang mahasiswa tak bisa dibohongi. Mereka bisa akses informasi kemana-mana sehingga kita tak bisa nutup-nutupi. Katanya mereka (aktivis Hizbut Tahrir) mau kesini, mau lihat buku ini. Saya bilang boleh, tapi cukup difoto kopi. Kalau buku ini dibawa jangan, nanti hilang.


Apa kira-kira dasar Hizbut Tahrir membolehkan cium cewek segala itu?

Di sini tak dijelaskan alasannya. Tapi perkiraan saya agar orang Islam dapat dukungan dalam mendirikan khilafah, maka tak boleh terlalu ketat. Tapi menurut saya sampai sekarang belum ada tanda-tanda mereka akan bisa mendirikan khilafah. Karena kalau terlalu ketat mereka tak bisa mendapat dukungan internasional. Padahal mereka orientasinya internasional. Karena itu kampanye mereka sekarang tidak boleh mengkafirkan sesama muslim. Padahal ideologinya mereka kafirkan. Nasionalisme mereka kafirkan.


Pengurus DPD I Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Jawa Timur dan DPD II Surabaya kemarin silaturahim ke redaksi HARIAN BANGSA. Mereka mengklarifikasi beberapa pernyataan KH Imam Ghozali Said. Mereka yang kemarin ditemui jajaran redaksi terlibat dialog secara intensif dan gayeng. Beberapa kali terdengar ger-geran. Bagaimana tanggapan mereka? Tunggu saja. Redaksi akan menurunkan tanggapan mereka setelah wawancara dengan Imam Ghazali Said usai.

……..Berikut ini lanjutan wawancara dengan Imam Ghazali Said.


Bagaimana pandangan mereka soal fiqh?

Ada pemikiran begini. Apakah negara yang pakai sistem jahiliah itu perlu fiqh. Padahal fiqh itu adalah hukum Islam yang harus dilaksanakan dalam pemerintahan yang Islam. Ini terjadi perdebatan antara Sayid Qutub dan Wahbah Zuhaili. Dr Wahba ini orang Syria yang kitabnya jadi kutub muktabarah di NU. Dalam ICIS tempo hari Wahba ini datang. Sayid Qutub ini asalnya kan seorang hakim. Tapi, ketika dia masih jadi hakim ia masih menganggap penting system khlafah. Menurut Sayid Qutub dan Taqiuddin Nabhani, fiqh tidak perlu dipelajari atau dipraktikkan sepanjang suatu negara belum melaksanakan sistem Islam. Sedang Wahba Zuhaili menganggap bahwa fiqh adalah suatu keniscayaan. Ini jadi polemik. Menurut Wahba, orang Islam harus belajar fiqh, baik negaranya Islam maupun tidak Islam. Jadi menurut Wahba tidak hanya sistem pemerintahan saja, tapi bagaimana orang nikah, orang salat, muamalah, semua itu kan fiqh yang ngatur. Tapi menurut Sayid Qutub dan Taqiuddin Nabhani tidak perlu itu. Yang penting bagaimana memperjuangkan menegakkan pemerintahan Islam, baru setelah itu fiqh. Karena itu meski buku-buku atau tulisan Sayid Qutub banyak tapi tak ada fiqhnya. Semua buku-buku dia bernuansa politik. Misalnya pertarungan Islam dan kapitalisme dan sebagainya.


Dari penjelasan Anda ini tampak bahwa aktivis HTI sendiri kemungkinan banyak yang belum paham tentang pemikiran Taqiuddin Nabhani sebagai pendirinya?

Begini. Mereka itu ada jubirnya, jadi informasi dan pemikiran yang keluar diatur. Jadi referensi mereka tidak terbuka.


Berarti ada beberapa pemikiran yang disembunyikan bagi pengikutnya?

Ya, padahal kondisi sekarang kan sudah tidak bisa model begitu. Seperti saya kan tidak bisa mengelabuhi mahasiswa saya. Karena mahasiswa saya bisa mengakses literatur primer. Kecuali anggotanya bodoh-bodoh. Kan kasihan kalau anggotanya bodoh-bodoh. Karena itu ketika saya menyampaikan informasi yang benar dari sumber primer lalu dikira keliru oleh mereka. Ya, ndak bisa, wong saya punya sumber primer. Mereka katanya mau melihat sumber primer ini.


Maksudnya sengaja disembunyikan?

Bisa saja dianggap aib dan kalau itu dimunculkan pasarnya bisa tidak laku. Karena itu disembunyikan. Tapi pada era sekarang mana bisa disembunyikan. Lha,wong, di tiga negara, di Libanon, Syria dan Yordan, Hizbut Tahrir itu jadi organisasi terlarang. Di Mesir juga jadi organisasi terlarang karena mau menggulingkan pemerintahan yang sah. Jadi mereka gampang terseret pada aksi kekerasan. Karana itu anak-anak muda NU jangan mudah terprovokasi ikut mereka.


Tapi dalam hal-hal tertentu kan ada juga beberapa kesamaan dengan NU?

Ya, mungkin ada kesamaan. Qur’annya satu, Nabinya satu (Muhammad), karena itu kita tak bisa saling menyesatkan sebab masing-masing punya pandangan keagamaan yagn berbeda. Jadi ada hal yang sama dan ada hal yang beda. Artinya, bidang-bidang yang dikerjakan NU ya serahkan kepada NU, sedang bidang-bidang bagian mereka ya serahkan mereka. Ini tidak akan berbenturan. Jadi jangan mencaplok. Sudahlah yang bagian khilafah sampean (Hizbut Tahrir), carilah pengikut tapi jangan di NU. Mestinya orang-orang kafir diupayakan jadi basis pendukung, misalnya.


Kalau kelompok Salafy?

Mereka bergerak dalam bidang pendidikan. Misalnya LPBA (Lembaga Pendidikan Bahasa Arab) yang sekarang menjadi Lembaga Ilmu Keislaman cabang dari Jamiatul Imam Riyadh. Ini dibiayai dari sana sangat besar. Sebenarnya orang-orang seperti Ulil (Ulil Abshar Abdalla, red), Imdad dan sebagainya alumni LPBA ini. Lah, mereka ketemu dengan Rofik Munawar yang dulu ketua PKS Jawa Timur. Anis Matta (sekjen PKS) itu juga teman Ulil di LPBA. Mereka dulu alumni situ. Hanya saja ada yang kemudian terbawa dan larut dalam salafy seperti Anis Mattta, tapi ada yang nggak, ya kayak Ulil itu. Kalau Anis Matta terbawa Salafy tapi pola politiknya ikut Ikhwanul Muslimin. Kelompok Salafy ini sangat puritan. Jadi tahlilan, dibaan, ziarah kubur, mereka sangat tidak mau. Mereka menganggap itu syirik. Nah, disinilah, dalam bidang peribadatan itu, kelompok PKS ketemu dengan Salafy. Sedang orang-orang seperti Ulil, Imdad dan anak-anak pesantren yang sekolah di LPBA melakukan pemberotakan. Mereka menganggap (paham Salafy) itu tak cocok dengan budaya saya (Ulil cs) yang NU. Akhirnya mereka melanjutkan ke ilmu-ilmu filsafat, sosial dan sebagainya, termasuk belajar ke Magnez Suseno di Driyarkara. Kemudian berkomunikasi dengan Nurcholis Madjid, ketika Nurcholis masih ada (hidup). Nah, dalam diri Ulil cs ini kemudian terbentuklah suatu sosok yang berasal dari pola radikal (Salafy), ketemu dengan ilmu-ilmu sosial, ketemu dengan Nurcholis Madjid, ketemu dengan Gus Dur dan sebagainya. Jadi mereka ini meramu dari berbagai unsur itu sehingga jadilah orang seperti Ulil, Hamid Basyaib, Luthfi Syaukani, Muqsith (Abd Moqsith Ghazali, Red.), dan sebagainya.


Apa ada kesamaan dalam soal simbol-simbol pakaian di antara mereka?

Ya, memang ada kesamaan, baik kelompok Hizbut Tahrir, Tarbiah (PKS) maupun Salafy. Misalnya pakai celana cingkrang, berjenggot dan sebagainya. Tapi semua kelompok ini sama menyerang NU.


O, ya bagaimana sebenarnya sebenarnya soal pakaian itu menurut Islam?

Menurut mereka, Nabi itu jenggotan. Abdul Aziz, tokoh Salafy, itu menulis tentang membiarkan jenggot. Menurut dia, kalau orang mencukur jenggot dianggap tabi’ul hawa, mengikuti hawa nafsu. Jadi menurut mereka memahami sunnah Rasul itu apa saja diikuti, termasuk cara berpakaian. Tapi kalau NU kan tidak begitu cara memahami sunnah Rasul. Paling tidak, NU terdidik memahami sunnah Rasul itu dalam arti substantif, misalnya soal peribadatan. Tapi kalau soal pakaian kalangan NU yang terdidik menganggap itu sebagai budaya. Misalnya soal sorban. Nabi memang bersorban tapi harus diingat Abu Jahal dulu juga sorbanan. Begitu juga soal jenggot. Kalangan NU terdidik menganggap itu sebagai budaya. Karena Abu Jahal pun juga jenggotan. Masak orang nggak punya jenggot disuruh memelihara jenggot. Ada orang yang jenggotnya hanya tiga helai atau tiga lembar itu disuruh pelihara..kan lucu.ha.ha.ha.


Kalau soal celana mereka yang cingkrang?

Kan ada dalam hadits Nabi bahwa kalau pakaian orang itu nglembreh ke kakinya dianggap huyala, sombong. Padahal dulu pakaian Abu Bakar juga ngelembreh, panjang ke bawah tapi tidak dianggap sombong. Waktu itu Abu Bakar tanya, apakah saya ini juga dianggap sombong karena pakaian saya ngelembreh. Lalu dijawab, o, tidak, karena Abu Bakar memang tidak sombong, meski pakaiannya nglembreh. Karena tubuh Abu Bakar kurus, jadi sudah wajar kalau pakaiannya dipanjangkan sampai nglembreh. Karena itu menurut kalangan NU, pakaian itu dianggap sebagai budaya. Masak orang pakai kopyah hitam dianggap bid’ah hanya karena Nabi tak pernah pakai kopyah hitam. Kan waktu itu belum ada perusahaan kopyah Gresik ha.ha.. Nah, disini lalu semua menyerang NU. Jadi mereka semua, Hizbut Tahrir, Tarbiyah dan Salafy itu sama menyerang NU. Menurut mereka, yang dimaksud ahlussunnah itu adalah versi Ibnu Taymiah, bukan paham versi Asy’ari. Dalam buku-buku mereka paham Asy’ari itu dianggap sesat. Padahal NU kan menganut paham Asy’ari. Jihad untuk Negara Nasional


Ada yang berpendapat, kalau niat mereka untuk dakwah, kenapa mereka kok tidak merekrut komunitas lain yang belum beragama, misalnya. Kalau jamaah NU kan hasil jerih payah para wali songo dan ulama kultural, kenapa mereka tidak cari kreasi sendiri agar tidak menimbulkan konflik sesama umat Islam?

Ya, karena mereka mau mengislamkan orang Islam. Jadi kita yang sudah Islam ini harus diislamkan lagi.ha.ha ..


Jadi iman umat Islam masih perlu diadili. Berarti mereka merasa paling Islam?

O, ya, mereka memang merasa paling Islam. Karena itu harus kita pahami itu. Kalau sikap saya tetap harus moderat. Sepanjang mereka tidak menyerang kita ya kita nggak apa-apa. Tapi mereka menyerang kita, ya kita harus melawan. Karena itu di beberapa tempat seperti di NTT, Jember, kita lawan karena mereka sudah menyerang kita. Di Purwokerto misalnya orang NU dianggap sesat. Saya kan kesana, orang NU di sana dianggap dlalal finnar, masuk neraka.ha..ha. . ya kelompok Salafy itu. Jadi yang menyerang NU dalam peribadatan itu kelompok Salafy, sedang yang menyerang NU dari segi politik kelompok Hizbut Tahrir dan Tarbiyah (PKS). Jadi orang NU itu harus sadar, bahwa sekarang mereka diserang dari berbagai arah.


Jadi secara paradigmatik maupun aksi memang beda sekali dengan NU?

Sejak Gus Dur mimpin NU kan membuka cakrawala baru di kalangan anak-anak muda NU. Gus Dur mengevaluasi bahwa
formalisasi syariat ternyata selalu gagal, karena itu Gus Dur membuka wacana baru Islam sebagai etika soial. Dan ini kemudian menjadi gaung NU sampai sekarang, walau belakangan NU diutik-utik dengan formalisasi syariat. Tapi Pak Hasyim Muzadi dalam berbagai wawancara menyatakan tidak memperjuangkan Islam seperti teksnya tapi yang diperjuangkan adalah ruhnya. Bisa saja KUHP seperti sekarang tapi ruh Islam ada di situ. Nah, dalam hal ini pengaruh Gus Dur sangat besar. Tapi di struktural NU sekarang kan dilakukan “pembersihan” terhadap kelompok-kelompok Gus Dur. Di Lakpesdam, misalnya, Imdad (M Imdaduddin Rahmat, red) bilang kepada saya bahwa dia hanya ditaruh sebagai pemimpin redaksi Jurnal Tashwirul Afkar. Tapi di struktur Lakpesdam ia sudah tak masuk. Tapi untuk membersihkan orang-orang Gus Dur secara total tidak bisa. Karena pengurus NU yang pandai-pandai adalah “didikan” Gus Dur. Paling tidak, secara visi keagamaan sama karena sebelumnya pernah lama berinteraksi dengan Gus Dur. Misalnya Endang Turmudzi, Sekjen PBNU. Dia kan orang LIPI. Kemudian Nazaruddin Umar, Katib Aam Syuriah. Nah, ketika berhubungan dengan dunia internasional, kelompok-kelompok “didikan” Gus Dur inilah yang bisa berkomunikasi. Jadi meski mereka ini dibenci tapi tetap dibutuhkan. Misalnya ada Masdar (KH Masdar Faid Mas’udi, Red) dan sebagainya. Dan mereka inilah yang mengerti persoalan yang dihadapi NU ke depan dalam menghadapi kelompok-kelompok Islam radikal itu.


Bisa dijelaskan soal NU dalam kontek negara nasional?

NU fiqh minded. Fiqh siyasi (politik) di NU kurang berkembang. Fiqh yang dikembangkan NU adalah fiqh dalam kontek negara nasional. Ketika Kiai Hasyim Asy’ari (pendiri NU, red) mengeluarkan fatwa resolusi jihad, Negara Indonesia dalam kondisi bukan negara agama. Karena saat itu kalimat “menjalankan syariat Islam..” sudah dihapus. Kemudian Belanda datang lagi akhirnya Kiai Hasyim Asy’ari mengeluarkan fatwa jihad. Jadi Negara yang dipertahankan waktu itu negara “sekuler” kan. Jadi NU tak bisa lepas dari negara nasionalis atau sebagai nasionalis. Nah, fatwa jihad Kiai Hasyim itu merupakan fatwa pertama di dunia Islam yang mempertahankan negara nasionalis. Belum ada ketika itu ulama yang berfatwa kewajiban jihad untuk mempertahankan Negara nasionalis. Jadi Kiai Hasyim Asy’ari itu pelopor pertama.


Apa kira-kira dasar pemikirannya?

Mungkin bagi Kiai Hasyim yang terpenting Indonesia merdeka dulu. Apalagi bangsa Indonesia mayoritas umat Islam. Ini yang harus diutamakan. Jadi Kiai Hasyim membuat fatwa untuk mengusir penjajah dan mempertahankan negara nasional. Nah, ini bagi wacana pemikiran internasional – seperti orang-orang yang menginginkan sistem khalifah – kan kontroversi. Begitu juga perjuangan NU berikutnya, dalam sejarahnya, seluruhnya selalu terkait dengan negara. Soekarno, misalnya, diberi gelar waliyul amri dlaruri bissyaukah (pemerintah darurat yang mempunyai kekuatan). Ini asalnya kan diberi oleh konfrensi ulama di Cipanas 1954. Kemudian pada 1956 oleh NU dianggap sah. Ini artinya apa? Karena dikaitkan dengan fiqh. Sebab perempuan yang tidak punya wali dalam pernikahan walinya harus Sulthon. Dasarnya adalah hadits as-sultonu waliyu man laa waliya lah. Sulthon itu adalah wali bagi orang yang tak punya wali. Kalau Sulthon ini tidak diberi legitimasi sesuai syariat kan tidak sah Sulthon ini. Jadi ini terkait dengan fiqh, maka negara walau sekuler harus diakui sah menurut syariah. Nah, cara berpikir ini saya kira cerdas. Kalau nggak gimana nasib perkawinan itu. Sulthon itu siapa, padahal kalau orang kawin harus mencatatkan diri ke situ. Nah, itulah NU. Tapi ini kemudian disalahpahami oleh kelompok Islam modernis. Dikira NU itu oportunis pada negara karena memberi legitimasi. Padahal sebenarnya ini terkait dengan fiqh.


Faktor lain?

Faktor kedua memang pada tahun 50-an itu Kartosuwirjo sedang mengadakan pemberontakan. Nah, pemberian gelar waliyul amri dlaruri bissyaukah itu sebagai legitimasi pada Soekarno agar bisa mengatasi gerakan pemberontakan itu. Tapi inti NU itu sebenarnya pada fiqh urusan perkawinan tadi itu, bukan pada fiqh siyasahnya (politik). Selanjutnya perjuangan NU terus berkait dengan negara nasionalisme. Ini yang harus dipahami oleh kelompok-kelompok baru seperti Hizbut Tahrir dan sebagainya itu.


Dengan demikian, bisa dijelaskan perbedaan antara NU dan HTI?

Ya. NU berdiri tahun 1926 dalam proses menuju pembentukan negara Indonesia. Sedang Hizbut Tahrir (HT) berdiri ketika nation state di tempat ia berdiri telah terbentuk, yaitu tahun 1953. Dari segi latar belakang waktu yang berbeda ini, dipahami bahwa sejak awal NU memberi saham besar terhadap pembentukan nation state yang kemudian menjadi negara Indonesia merdeka. Sedang HT berhadapan dengan negara yang sudah terbentuk. Maka wajarlah, jika HT menganggap bahwa nasionalisme itu sebagai jahiliyah. Karena mereka anggap menjadi penghalang dari pembentukan internasionalisme Islam, apalagi nasionalisme tersebut tidak memberlakukan syariat Islam dan lebih banyak mengadopsi sistem hukum sekuler Barat. NU menerima sistem hukum penjajah dalam keadaan darurat. Karena negara tidak boleh kosong dari hukum. Selanjutnya, NU berjuang agar hukum yang berlaku di negara ini bisa menjadikan fikih sebagai salah satu sumber dari hokum nasional kita. Dari situ, NU ikut ambil saham dalam penerapan UU Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang saat ini berlaku di Indonesia. Tentu HT belum punya saham dalam memperjuangkan hukum Islam di negara nasional ini, sehingga tidak logis jika HT langsung menentang negara nasional ini gara-gara tidak memberlakukan syariah Islam secara kaffah. Jadi, perjuangan NU dalam menegakkan syariah baik sebagai etika social maupun sebagai hukum formal tidak bisa diletakkan di luar NKRI. Karena NKRI ini didapat dengan perjuangan para syuhada yang gugur pada prakemerdekaan maupun pascakemerdekaan. Pendek kata, NU tidak bisa terpisah dari negara nasional ini.


Mestinya, suatu ormas dapat diakui legal di negara ini harus terdaftar di Depkum HAM. Apakah ini berlaku bagi HTI?

Nah itu masalahnya. Saya tidak tahu. Yang jelas, HTI dapat leluasa melakukan kegiatan pascareformasi. Tapi jika dilihat dari semua kegiatan yang dilakukan, tampaknya HTI belum mengantongi izin sebagai ormas. Karena jika nanti dipelajari tujuan berdirinya ormas ini oleh pemerintah, pasti ormas ini dilarang karena menentang konstitusi negara. Hal seperti itu yang terjadi di Yordan, Syiria, Libanon, Malaysia, dan lain-lain. Jadi, HT di semua negara itu menjadi organisasi bawah tanah. Indikator ini tampaknya ada di Indonesia. Buktinya, tidak jelas siapa Amirnya. Yang tampak itu Ismail Yusanto sebagai juru bicara. Atau di Jawa Timur itu siapa Amirnya? Yang kelihatan dr Usman sebagai humas atau jubirnya. Jabatan ketua DPD I, DPD II HTI, itu sebenarnya kamuflase untuk mengelabui agar diakui sebagai ormas yang legal. Kalau tujuannya menentang konstitusi negara, bagaimana mungkin bisa diakui? Tapi saya tidak tahu. Barangkali sudah mengantongi izin. Ini yang perlu dijelaskan oleh HTI dan pemerintah. Realitanya, sistem sel seperti yang terjadi di Yordan, Mesir, Sudan, dan lain-lain juga berlaku di sini. Di sini mestinya pemerintah cermat. Namun saya yakin, BIN sudah tahu masalah ini, tapi sengaja dibiarkan. Semua yang saya jelaskan itu berdasarkan sumber-sumber primer tulisan pendiri dan aktifis HT di Yordan, Palestina, Syiria, Libanon dan Mesir. Di antaranya Al Daulah al Islamiyah karya Taqiyuddin Nabhani, Kaifa Huddimat al Khilafah karya Abdul Qodim Zallum, dan lain-lain yang semuanya ada di Perpustakaan An-Nuur.


Harapan Anda pada HTI dan NU?

Antara NU dan HTI itu memang ada perbedaan prinsip, tapi ada juga kesamaan. Keinginan untuk melaksanakan ajaran Islam dalam semua aspek kehidupan itu sama antara keduanya. Hanya perbedaannya, adalah bagaimana cara merealisasikannya. NU lebih realistis, sedang HTI utopis. Lah, kapan khalifah seperti yang dicita-citakan itu akan muncul? Wong prediksinya – yang katanya 30 tahun dari berdirinya HTI, sistem khalifah akan terbentuk di seluruh dunia Islam. Buktinya mana? Di Yordan saja masih jauh, apalagi di Indonesia. Karena itu, hal-hal yang sama mestinya bergerak secara koordinatif. Obyek dakwah yang sudah menjadi kaplingan NU, jangan diganggu. Apalagi itu jelas-jelas masjidnya NU, lembaga pendidikan NU, dan lain-lain. NU sendiri mestinya mampu merumuskan tujuan idealnya di negeri ini. Sekaligus merumuskan langkah-langkah realistis untuk mencapai tujuan itu. Dalam hal ini, kita bisa berguru pada HTI dengan empat marhalah perjuangan HT yang populer itu. (takwin syakhsiyah islamiyah – pembentukan pribadi islami, taw’iyah – penyadaran keislaman, tatsqif (intelekktualisasi) , dan takwinud daulah – pembentukan negara khilafah atau populer juga dengan istilah taslimul hukm – merebut kekuasaan). Ke depan, saya mengharap, HTI berhenti dan tidak mengganggu obyek-obyek dakwah NU. Jika tidak, NU akan melawan.


Kalau begitu, HT tidak boleh mempunyai aset?

Ya pasti. Karena di Indonesia baru berkembang dan legalitasnya masih dipertanyakan. Mungkin karena faktor inilah aktifis-aktifis HT memanfaatkan toleransi warga NU sehingga masjid-masjidnya banyak dikuasai oleh HT. Remaja Masjid Surabaya, misalnya, sudah dikuasai mereka.


(wawancara dengan KH Imam Ghozali Said, MA.)

Menolak ‘Politik’ Formalisasi Syariat

Menolak ‘Politik’ Formalisasi Syariat
Oleh: Robith Qoshidi Muhyiddin, Lc

Formalisasi syariat menjadi wacana yang sangat digandrungi dalam pentas perpolitikan Indonesia dewasa ini. Bahkan beberapa partai politik mengangkat wacana ini sebagai agenda utama. Tapi anehnya dalam tataran aplikasi, apa yang dinamakan formalisasi syariat hanya terbatas pada hal-hal simbolis. Seperti peraturan wajib memakai jilbab di Solok, Sumatera Barat dan perda Jum’at khusyu’ di Banjarmasin. Apakah memang syariat hanya terbatas pada simbol? Mengapa sama sekali tidak ada suara yang mengangkat bahwa syariat juga mencakup pemberantasan korupsi, pembasmian suap (money politik) dalam pilkada, dan pengentasan kemiskinan. Tampaknya ada reduksi besar-besaran terhadap cakupan makna syariat di dalam dunia politik Indonesia. Syariat, ada apa denganmu?
Memfokuskan syariat hanya pada tataran simbolis jelas merupakan pengebirian makna syariat. Terlebih secara politis, syariat simbolis ini kerap kali dijadikan alat pembisuan massal bagi masyarakat. Akibatnya, masyarakat lupa akan problematika yang sebenarnya sangat merugikan, seperti ksorupsi di berbagai instansi pemerintah maupun partai politik. Masyarakat dibawa kepada kesadaran semu tentang syariat dalam makna dangkal, untuk melupakan inti syariat yang menjunjung maslahat umat. Sehingga konsentrasi formalisasi syariat cenderung memperbanyak simbol yang dianggap islami, namun melupakan maqashid (tujuan utama) syariahnya.


Padahal, syariat yang diterapkan Rasul SAW mempunyai cakupan makna yang sangat luas. Bahkan lebih memprioritaskan hal-hal yang langsung mengena pada maslahat umat. Seperti upaya Rasul SAW untuk menghapus perbedaan kelas antara budak dan tuan, mengangkat derajat wanita di tengah budaya patriarki, persaudaraan antar umat Islam, komitmen hubungan baik antara kaum muslim dan non muslim, serta pemerataan ekonomi umat. Dalam perjalanan dakwahnya, Rasul SAW lebih mendahulukan syariat yang memperjuangkan maslahat umat daripada syariat yang bersifat pribadi seperti mengenakan baju muslim, menghormati hari jum’at, bahkan larangan meminum khamr.

Pengebirian makna syariat sebagaimana dilakukan kelompok tertentu, disebabkan wacana syariat dalam perpolitikan Indonesia telah menjadi komoditas politik. Sehingga syariat yang langsung berkenaan dengan maslahat umat tapi merugikan kepentingan partai dan kepentingan politik, terpaksa disembunyikan. Tidak dijadikan wacana utama. Partai-partai yang mengaku Islam terus mengkampanyekan syariat simbolis, tanpa mewacanakan syariat yang benar-benar memperjuangkan kemaslahatan rakyat.


Akibatnya, maslahat umat ditelantarkan, bahkan eksistensi negara Indonesia juga dipertanyakan hanya karena tidak memakai simbol Islam. Indonesia dituding menganut sistem kafir (nidlam al-kufr). Kritik terhadap pemerintah dan konsep negara Indonesia lebih diarahkan pada hal yang simbolis. Wacana yang berkembang justru ingin merubah simbol negara, sedangkan kebijakan pemerintah dan negara Indonesia yang sesuai dengan inti syariat tidak pernah dilegitimasi, bahkan dipandang sebelah mata. Undang-undang negara Indonesia yang berkenaan dengan pemberantasan korupsi, subsidi untuk fakir miskin, dan subisidi untuk pendidikan, tidak dianggap sebagai bagian dari ajaran syariat Islam.
Sehingga wacana perubahan lebih bersifat struktural dan simbolis, bukan menusuk pada jantung maslahat umat. Para pengusung syariat simbolis ini hanya menunggu sebuah momen untuk merubah simbol kenegaraan dengan simbol yang mereka anggap islami. Imajinasi politik yang ingin merubah secara struktural dan simbol ini adalah karakter masyarakat organisatoris. Secara sosiologis, kebanyakan pemahaman ini muncul dari masyarakat kota. Kenyataannya, para pengusung syariat simbolis ini kebanyakan berasal dari kota.


Berbeda dengan masyarakat desa yang terbiasa hidup secara alami dan tidak terorganisir. Sehingga mereka memahami Islam secara esensial dan lebih fleksibel. Kesenjangan antara desa dan pusat-pusat pemerintahan membuat masyarakat desa merasa bisa hidup tanpa tergantung pada struktur pemerintahan. Lebenswet (dunia kehidupan) yang berbeda menjadikan kedua elemen masyarakat ini berbeda dalam memahami syariat dan dalam berinteraksi dengan negara.
Ketidak tergantungan masyarakat desa secara belebihan pada negara merupakan pilihan yang benar. Sebab di abad posmodern ini, negara bukanlah satu-satunya kekuatan yang menentukan aras kehidupan. Di situ ada kekuatan lain yang ikut mengatur dinamika masyarakat. Seperti kekuatan ekonomi, media, dan organisasi non pemerintah (NGO). Bagi penulis, justru pandangan hidup masyarakat desa lebih siap untuk melebur dengan kehidupan posmodern yang tidak bergantung kepada negara saja. Karena itu, masyarat desa (baca : NU) cenderung memperjuangkan syariat tidak dalam tataran struktural, tetapi lebih senang menerapkan esensi syariat secara sukarela, daripada memperjuangkan simbol-simbol syariat yang dipolitisir.


Masyarakat desa yang berkarakter sufistik itu lebih mementingkan penerapan syariat secara individual dan komunal ketimbang bersusah payah memperjuangkan syariat untuk kepentingan politik. Pada gilirannya, bermunculan kota santri dan masyarakat santri. Dan di situlah agama melebur dengan tradisi. Konsep “kota santri” dan “masyarakat santri” merupakan ide yang luar biasa. Agama benar-benar dipahami secara substansial dan langsung berimbas pada maslahat umat. Imajinasi mereka tentang syariat Islam mempunyai makna luas sampai pada memberi bantuan saat tetangga kesusahan. Implikasi syariat juga terkait langsung dengan diskriminasi sosial-budaya bagi pelanggar-pelanggar syariat.
Syariat yang dipahami secara esensial dan menyatu dengan budaya ini lebih mempunyai masa depan daripada janji-janji politik atas nama syariat. Karena jika individu-individu mencapai kesepakatan untuk memperjuangkan syariat dalam makna esensial akan lebih membantu dalam mempertahankan eksistensi syariat itu sendiri, bahkan sangat berguna bagi masyarakat secara luas. Maka sangat benarlah firman Allah SWT yang berbunyi (artinya), “Selamatkanlah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka (QS: at-Tahrim:6)”. Di dalam firmannya, Allah swt lebih menekankan pada perubahan pribadi-pribadi dan komunitas daripada perubahan di tingkat negara. Sebab jika pribadi-pribadi dan komunitas sudah baik, pada gilirannya negara akan baik dengan sendirinya.


Ketika syariat dipahami secara murni dan tidak di dalam kerangka politik, maka syariat akan mampu memperlihatkan identitasnya sebagai penyokong maslahat umat. Dari sini diharapkan syariat yang diperjuangkan tidak lagi syariat sebagai komoditas politik tetapi syariat yang dipahami sebagai maslahat umat. Tangan-tangan politik yang berupaya menutupi kebejatan dirinya akan tersingkap jika masyarakat benar-benar memahami syariat secara esensial. Berangkat dari titik ini pula diharapkan perubahan makna syariat dari simbol menuju esensi yang memperjuangkan maslahat umat. Sehingga pemberantasan korupsi di instansi pemerintah dan partai politik, pengentasan kemiskinan, peningkatan kualitas pendidikan masyarakat dianggap sebagai bagian inti dari syariat Islam. Dan inilah yang harus diprioritaskan oleh pengusung syariat Islam.


*Alumnus al-Azhar Mesir dan Angota LBM PCNU Jember

http://id-id.facebook.com/note.php?note_id=182719636271

MUI: Umat Islam Wajib 'Mengamalkan' Pancasila

SURABAYA--Umat Islam dilarang mengganggu atau memusuhi apalagi antipati terhadap Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia (RI). Sebab adanya Pancasila ini filosfinya mampu merukunkan antarsuku, umat beragama, dan mempersatukan Negara Kesatuan Republik Indoneisa (NKRI).

'Pancasila mengandung filosofi saling menghormati antar pemeluk beragama etnis dan lain sebagainya yang ada di Indoensia. Agar bangsa Indonesia hidup damai dan rukun tanpa permusuhan,'' jelas KH Abdushomad Buchori, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jatim, merespons ajaran KH Achmad Munib warga Desa Beluk Kenek, Kecamatan Ambunten, Kabupaten Sumenep, Madura yang mengajarkan anti terhadap Pancasila Rabu (6/1)
Terkait dengan Pancasila itu sendiri MUI se-Indonesia pada tahun 2006 sudah melakukan kesepakatan di Pondok Pesantren (ponpes) Gontor bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) itu final atau harga mati.

''Yakni pancasila sebagai dasar negara. Tetapi pancasila harus dipertahanakan yg benar. Artinya tidak saling mencampur adulkan faham dan ajaran agama, nilai tertinggi dari filosofi pancasila ini masyarakat Indoensia yang bermacam-macam suku dan agama ini ketemu,'' tegasnya

Dikhawatirkan, jika ajaran anti Pancasila itu terus dikembangkan akan terjadi benturan keras antar masyarakat, yang akan menimbulkan pertentangan dan mengakibatkan perpecahan. Sebab meski Indonesia adalah mayoritas berpenduduk muslim tetapi bukan negara Islam

''Ajaran anti Pancasila itu harus dihentikan. Karena Pancasila, NKRI adalah harga mati sesuai kesepakatan MUI se-Indoensia di Gontor tahun 2006 yang lalu. Islam tidak pernah mengajarkan permusuhan dengan agama maupun etnis lain. Artinya ajaran tersebut banyak madhorotnya sehingga harus dihentikan,'' ungkapnya

Disebutkan, Kiai Munib--panggilan KH Achmad Munib--menilai penerapan hukum dengan Pancasila dinilai bertentangan dengan syariat Islam. Sehingga bila tidak menggunakan syariat Islam dalam kehidupan sehari-hari dikategorikan orang kafir.

Tetapi setelah ajaranya tersebut mencuat di media, kiai yang sudah mempunyai 13 cucu ini sulit dihubungi dan memilih berdiam diri di dalam kamar khusus. Bahkan, kiai ini juga melarang semua orang masuk ke areal rumahnya yang dikelilingi tembok setinggi 2 meter. Dan tulisan 'Anti Pancasila Kewajiban Kita Umat Islam' dipajang di pintu teras masuk rumah yang kondisinya digembok rapat dengan huruf kaligrafi berwarna biru yang dikelilingi Ayat Kursi. /republika ( Sumber Warta Islam Klik Tautan berikut : http://www.wartaislam.com/2010/01/mui-umat-islam-wajib-mengamalkan.html ).
K.H Abdushomad Buchori, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jatim

Mengkonversi Sistem Pemerintahan (Pengantar Diskusi Seputar Khilafah)

Dari sudut pandangan agama, pemerintahan Indonesia adalah sah. Pandangan ini didasarkan pada dua dalil. Yaitu: pertama, presiden Indonesia dipilih langsung oleh rakyat. Menurut Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wan Nihayah (2001:204), sistem pemilihan langsung oleh rakyat sama dengan pengangkatan Sayyidina Ali karamullah wajhah untuk menduduki jabatan Khalifah.

Kedua, presiden terpilih Indonesia dilantik oleh MPR, sebuah gabungan dua lembaga tinggi, DPR dan DPD yang dapat disepadankan dengan ahlu a-halli wa al-'aqdi dalam konsep al-Mawardi dalam Al-Ahkam as-Sulthoniyah.

Keabsahan pemerintahan Indonesia bukan hanya dapat dilihat dari sudut sistem pemilihan dan mekanisme pelantikan presiden saja, namun juga bisa dilihat dari terpenuhinya maqashidu al-syari'ah (tujuan syar'i) dari imamah (pemerintahan) Indonesia, dalam rangka menjaga kesejahteraan dan kemashlahatan umum. Terkait dengan ini, Imam al-Ghazali mengungkapkan dalam Al-Iqtishad fil 'Itiqad (1988:147), menyatakan, "Dengan demikian tidak bisa dipungkiri kewajiban mengangkat seorang pemimpin (presiden) karena mempunyai manfaat dan menjauhkan mudharat di dunia ini".

Dalam konteks ini, pemerintahan Indonesia telah memenuhi tujuan syar'i di atas dengan adanya institusi pemerintahan, kepolisian, pengadilan dan lain sebagainya. Alhasil, menurut Ahlussunnah wal Jama'ah, pemerintahan Indonesia adalah pemerintah yang sah. Siapa pun tidak bisa mengingkarinya.

Karena itu, mengkonversi sistem pemerintahan dengan sistem apa pun, termasuk sistem khilafah sentral dengan memusatkan kepemimpinan umat Islam di dunia pada satu pemimpin, adalah tidak diperlukan. Apalagi jika konversi sistem itu akan menimbulkan mudharat yang lebih besar. Seperti timbulnya chaos dalam bidang sosial, politik, ekonomi dan keamanan. Lantaran, timbulnya kevakuman pemerintahan atau pemerintah yang tidak mendapatkan dukungan rakyat luas, sehingga membuka peluang perang saudara antar anak bangsa. (Imam al-Ghazali Al-Iqtishad Fil 'Itiqad, 1988:148)

Terlebih, mendirikan khilafah mendunia terbantahkan oleh dalil-dalil berikut ini:

1. Pertama, khilafah mendunia tidak memiliki akar dalil syar'i yang qath'i. Adapun yang wajib dalam pandangan agama, adalah adanya pemerintahan yang menjaga kesejahteraan dan kemashlatan dunia. Terlepas dari apa dan bagaimana sistem pemerintahannya. Karena itu, kita melihat para ulama di berbagai negara di belahan dunia memperbolehkan, bahkan tak jarang yang ikut terlibat langsung dalam proses membidani pemerintahan di negaranya masing-masing. Beberapa contoh kasus dari sistem pemerintah di jaman klasik, antara lain: Daulah Mamalik di Mesir, Daulah Mungol di India, Daulah Hafshiyyah di Tunis, dan lain sebagainya.

2. Kedua, persoalan imamah dalam pandangan Ahlussunnah wal Jama'ah bukanlah bagian dari masalah aqidah, melainkan termasuk persoalan siyayah syar'iyyah atau fiqih mu'amalah. Karena itu, kita boleh berbeda pendapat dalam soal sistem pemerintahan, sesuai dengan kondisi zaman dan masyarakatnya masing-masing dalam mempertimbangkan mashlahah dan mafsadah dari sistem yang dianutnya tersebut.

3. Ketiga, membentuk pemerintahan agama di suatu daerah, akan membunuh agama itu sendiri di daerah lain. Menegakkan Islam di suatu daerah di Indonesia, sama halnya dengan membunuh Islam di daerah-daerah lain seperti di Irian Jaya, di Flores, di Bali dan lain sebagainya. Daerah basis non Islam akan menuntut hal yang sama dalam proses penegakkan agamanya masing-masing. Bentuk negara nasional adalah wujud kearifan para pemimpin agama di Indonesia, tidak ingin terjebak pada institusionalisasi agama, sebagai tuntutan dari otonomi daerah.

4. Keempat, masyarakat masih belum siap benar untuk melaksanakan syari'at Islam secara penuh, terutama untuk menerapkan hukum pidana Islam. Seperti bagi pezinah dirajam, pencuri dipotong tangan, sanksi bagi yang tidak melaksanakan sholat dan zakat, dan seterusnya. Penerapan syari'ah Islam secara penuh tanpa mempertimbangkan kesiapan umat Islam akan menyebabkan banyak umat Islam yang tidak mengakui sebagai seorang muslim karena takut terhadap sanksi hukum tersebut. Jumlah 90 persen umat Islam akan mengalami penurunan secara drastis. Sehingga penerapan itu justru merugikan umat Islam sendiri.

5. Kelima, sulitnya mencari tolok ukur apakah yang dilakukan oleh seorang khalifah itu merupakan suatu langkah politik atau sekedar pelampiasan ambisi kekuasaan, atau itu memang benar-benar melaksanakan perintah Allah ketika terjadi kekerasan dari khalifah yang berkuasa terhadap para ulama sebagaimana dialami oleh imam madzhab yang empat: Imam Maliki, Imam Abu Hanifah, Imam Syafi'i, Imam Ahmad bin Hanbal dan para pengikut mereka. Sejarah mencatat tidak sedikit dari para ulama yang mendapat perlakuan zalim, diborgol, dipenjara, dan dianiaya, sementara khalifah dalam menjalankan hukuman tersebut melakukannya atas nama agama. Jika demikian yang terjadi maka sudah pasti ulama nahdliyyin akan memenuhi penjara-penjara di seluruh wilayah Indonesia.

6. Keenam, jika memang disepakati ide formalisasi syari'ah, maka teori syari'ah manakah yang akan diterapkan.Apakah model Wahabi di Saudi Arabia yang memberangus ajaran-ajaran sebagaimana diamalkan oleh kaum nahdliyyin seperti tawassul, tahlil, talqin, dan lain sebagainya atau sistem Syi'ah yang telah membunuh ratusan ulama dan umat Islam, menghancurkan masjid-masjid Ahlus Sunnah sebagaimana yang terjadi di teluk Persi, di bagian wilayah Timur Tengah, atau belahan lain di dunia ini, dan pemerintah yang berkuasa melakukan semua itu, lagi-lagi, atas nama agama. Jika itu yang terjadi, niscaya warga Nahdliyyin akan akan menjadi korban dari pemerintah yang berbeda aqidah tersebut.

Dalil-dalil di atas kian meyakinkan bahwa cita-cita untuk mendirikan khilafah islamiyah akan membawa konsekuensi tersendiri bukan hanya menyangkut tampilan wajah Indonesia tetapi juga kondisi masyarakat yang akan diwarnai oleh konflik dan disistensi dari elemen bangsa yang lain.

Dengan mempertimbangkan pendapat dari Imam al-Ghazali dan al-Baidlawi maka mengkonversi sistem pemerintahan yang ada tidak diperbolehkan menurut syara', mengingat besarnya ongkos sosial, politik, ekonomi, dan keamanan yang harus ditanggung oleh pemerintah dan masyarakat. Dalam pandangan ahlusunnah wal jama'ah menghindari mudharat lebih utama dari pada menerapkan kebaikan. Karena itu, menghindari mudharat yang besar lebih kita utamakan dari pada mendapat sedikit kemaslahatan. Sebaliknya, tidak mendapatkan sedikit kebaikan untuk menghindari mudharat yang lebih besar merupakan sebuah bentuk kebaikan yang besar.

Jadi, sistem pemerintahan di dalam pandangan agama bukan sistem untuk sistem melainkan sistem untuk umat. Sehingga sistem apapun yang dianut oleh umat di dalam memenuhi tujuan syar'i dari pemerintahan tidak boleh menimbulkan kerusakan yang mengancam keselamatan jiwa dan harta umat. Sebab sejatinya menurut Imam al-Ghazali, pemerintahan itu didirikan untuk menata umat, agar kehidupan agama dan dunianya aman sentosa dari ancaman dari dalam maupun dari luar (Al-Iqtishad Fil 'Itiqad, 1988:147).

Senada dengan Imam al-Ghazali di atas, al-Baidlawi juga berpandangan bahwa esensi dari pemerintahan adalah menolak kerusakan dan kerusakan itu tidak dapat ditolak kecuali dengan pemerintahan tersebut. Yaitu sebuah pemerintahan yang menganjurkan ketaatan, mencegah kemaksiatan, melindungi kaum mustad'afin, mewujudkan kesejahteraan dan keadilan bagi semua. Esensi dari pemerintahan itu menurutnya adalah keharusan profetik dan intelektual dalam menjaga kedamaian dan mencegah kerusakan dunia (Lihat misalnya dalam Al-Baidlawi, Thawali' al-Anwar wa Mathali' al-Andlar, 1998: 348).

KH. MA Sahal Mahfudz menyatakan sikap NU pada saat khutbah iftitah Munas Alim Ulama dan Konbes NU di Sukolilo Surabaya, 28 Juli 2006: "NU juga sejak awal mengusung ajaran Islam tanpa melalui jalan formalistik, lebih-lebih dengan cara membenturkannya dengan realitas secara formal, tetapi dengan cara lentur. NU berkeyakinan bahwa syari'at Islam dapat diimplementasikan tanpa harus menunggu atau melalui institusi formal. NU lebih mengidealkan substansi nilai-nilai syari'ah terimplementasi di dalam masyarakat ketimbang mengidealisasikan institusi. Kehadiran institusi formal bukan suatu jaminan untuk terwujudnya nilai-nilai syari'ah di dalam masyarakat".

Dalam kaitan ini, sikap NU jelas, keinginan untuk mengkonversi sistem pemerintahan, tidak memiliki akar syara', malahan bertentangan dengan serangkaian hasil ijtihad para ulama NU yang dirumuskan di berbagai institusi pengambilan keputusan dan kebijakan tertinggi organisasi. Bagi NU, Pancasila, UUD 1945 dan NKRI adalah upaya final umat Islam Indonesia dalam mendirikan negara dan membentuk pemerintahan. (Sumber Asli http://gp-ansor.org/?p=13330 atau Klik tautab berikut ini :http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=10945 )

KH Muhyidin Abdusshomad
Penulis buku "Fikih Tradisionalis",Rais Syuriah Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Jember.

Senin, 03 Januari 2011

Inilah Daftar 100 Pemberontakan di Nusantara

1. Pemberontakan Arok
2. Pemberontakan Kuti
3. Pemberontakan Arya Penangsang
4. Pemberontakan Mangir
5. Gejolak Pragola
6. pemberontakan Arung Palaka
7. Pemberontakan Untung Suropati
8. Perlawanan Tionghoa
9. Pemberontakan Samber Nyawa (Raden Mas Said)
10. Pemberontakan Mangkubumi
11. Pemberontakan Matulessy di Maluku
12. Pemberontakan dari Bongaya
13. Pemberontakan We Maniratu
14. Pemberontakan Diponegoro
15. Pemberontakan Sultani Besse Kajuara
16. Perebutan Tanah Partikelir Tambun
17. Pemberontakan Petani Banten
18. Pembangkangan Samin Surantiko
19. Pemberontakan Macan-Macan Betawi
20. Pemberontakan La Pawawooy
21. Pemberontakan We Pancaiktana Bungawali’e
22. Orang Batak Menolak Pajak
23. Sumatra Barat Menentang Pajak
24. Dua Kali Memberontak di Sumbawa, Dua Kali Gagal
25. Lewotala Bergolak Menolak Pajak
26. Pemberontakan Petani Flores
27. Orang Tionghoa Mengamuk di Barat Bumi Dayak
28. Tiga Pemberontak di Larantuka
29. Pemberontakan I Tollo
30. Pemberontakan Orang Sumba
31. Pemberontakan Petani Tanjung Oost
32. Pemberontakan SI Jambi
33. Pemberontakan Parhoemdamdam
34. Pemberontakan Toli-toli
35. Pemberontakan Petani dan Haji
36. Pemogokan Petani Polanharjo Bergolak
37. Ledakan Bom Kiri di Semarang
38. Pemogokan Buruh Spoor
39. Pemberontakan Pangeran Arjuna di Tangerang
40. Pemberontakan PKI Banten 26
41. Pemberontakan PKI Timur Jawa 26
42. Pemberontakan PKI Pariangan 26
43. Pemberontakan PKI Betawi 26
44. Pemberontakan PKI Prambanan 26
45. Pemberontakan KNIL
46. Pemberontakan PKI Silungkang 26
47. Sulawesi Utara Menentang Pajak ~ 280
48. Pengibaran Merah-Putih di Minahasa
49. Penolakan Pajak di Bengkalis
50. Pemberontakan di Atas Kapal De Zeven Provincien
51. Pemberotakan Pajak Ternate
52. Kudeta NAZI di Nias
53. Peristiwa Pengibaran Merah-Putih di Gorontalo
54. Pemberontakan Mahasiswa dari Ruang Kuliah Patologi
55. Pemberontakan Kiai Zaenal  Mustafa di Sukamanah
56. Petualangan Dua Peleton Giyugun Aceh
57. Perlawanan Orang Papua atas Jepang
58. Pemberontakan PETA di Blitar
59. Pemberontakan PETA di Gumilir
60. Pemberontakan PETA di Cileunca
61. Patriotisme KNIL Minahasa
62. Peristiwa Tiga Daerah
63. Pemberontakan Batalyon Papua atas NICA
64. Petisi 3 Juli
65. Serdadu KNIL Kibarkan Merah-Putih
66. Pemberontakan Walter Monginsidi
67. Pemberontakan Sanga-sanga
68. Pemberontakan PKI 1948
69. Pemberontakan DI/ TII Jawa Barat (Kartosurwirjo)
70. Pemberontakan DI/ TII Jawa Tengah (Amir Fattah)
71. Pemberontakan Andi Azis
72. Pemberontakan DI/ TII dan Batalyon 426 di Jawa Tengah
73. Perlawanan KNIL Minahasa
74. Kudeta Westerling
75. DI/ TII Sulawesi Selatan (La Domeng)
76. Pemberontakan RMS
77. AOI: Pemberontakan di Somalangu
78. Pemberontakan DI/ TII Kalimantan Selatan (Ibnu Hajar)
79. PKI Merapi Merbabu Complek (Suradi Bledeg)
80. Peristiwa 17 Oktober 1952
81. Pemberontakan DI/ TII Aceh (Daud Beureueh)
82. Pembangkangan Wiweka Supono di Lapangan AURI
83. Geger Lubis di Tubuh TNI-RPKAD
84. Granat di Cikini
85. Seruan Otonomi Sulawesi (Permesta)
86. Pembangkangan Dewan Garuda di Sumatera (PRRI)
87. Pembangkangan Kavaleri Bandung dan Kelompok Manguni
88. Maukar Menembak Istana Presiden dari Langit Jakarta
89. Percobaan Pembunuhan Presiden di Tengah Shalat Ied
90. Organisasi Papua Merdeka
91. Tragedi Bandar Betsy
92. Kudeta G 30 S 1965
93. Demonstrasi Mahasiswa Gulingkan Soekarno
94. Konfrontasi Malaysia
95. PKI Blitar Selatan
96. Malapetaka 15 Januari 1974
97. GAM
98. PETISI 50
99. Reformasi 1998
100. Neo RMS di Hadapan SBY
* Dikutip dari buku Pemberontak tak (Selalu): Seratus Pembangkangan di Nusantara Salah karya Petrik Matanasi (IBOEKOE, 2009)