Senin, 21 Februari 2011

Pidato Bung Karno : Negara Pancasila


Kenapa Indonesia tidak dibentuk sebagai Negara Agama, tapi dibentuk sebagai Negara berlandaskan Pancasila, Negara yang menghormati keragaman budaya dan agama. Negara sebagai rumah besar bersama tidak ada mayoritas dan minoritas : MAKA BACALAH PIDATO BUNG KARNO INI....anda akan mengerti kesadaran jenis apa yang dimiliki para pendiri ba...ngsa Indonesia.


Pidato Bung Karno : Negara Pancasila

Terbanglah kapal udaraku datang di daerah Aceh. Rakyat Aceh menyambut kedatangan Presiden, rakayat beragama Islam. Terbang lagi kapal udaraku, turun di Siborong-borong darah Batak. Rakyat Batak menyambut dengan gegap-gempita kedatangan Republik Indonesia, agamanya Kristen.

Terbang lagi, Saudara-saudara, dekat Sibolga, agama Kristen. Terbang lagi ke Selatan ke Sumatra Tengah dan Sumatra Selatan, agama Islam. Demikianlah pulau di Jawa, kebanyakan beragama Islam, disana Kristen, disini Kristen. Terang lagi kapal udaraku ke Banjarmasin, kebanyakan Islam. Tetapi di Banjarmasin itu aku bertemu utusan-utusan dari suku Dayak, Saudara-saudara. Malahan di Samarinda aku berjumpa dengan utusan-utusan, bahwa rakyat Dayak yang sembilan hari sembilan malam turun dari gunung-gunung untuk menjumpai Presiden Republik Indonesia. Mereka tidak beragama Islam, tetapi beragama agamanya sendiri.

Aku ber-ibu orang Bali. Idayu Nyoman Rai nama Ibuku. Malahan jikalau aku beristirahat di Tampaksiring, desa kecil di Bali, rakyat Bali menyebut aku, kecuali Bung Karno, Bapak Karno, menyebut aku, Ida Bagus Made Karno. Aku melihat masyarakat Bali yang dua juta manusia itu beragama Hindu-Bali. Di Singaraja ada masyarakat Islam sedikit. Di Denpasar ada masyarakat Islam sedikit. Terbang lagi kapal udaraku ke Sumbawa, Islam. Terbang kapal udaraku ke Flores, pulau dimana aku dulu di internir rakyat Flores kenal akan Bung Karno, Bung Karno kenal akan rakyat Flores, sebagian besar rakyat Flores itu beragama Roma Katolik (Kristen). Terbang lagi kapal udaraku ke Timor, sebagian besar rakyatnya Kristen Protestan. Terbang lagi kapal udaraku ke Ambon, Kristen. Sekitar Ambon itu adalah masyarakat Kristren. Terbang lagi ke Utara ke Ternate, Islam di Ternate. Dari Ternate terbang ke Manado. Minahasa sekelilingnya Kristen, ke Selatan Makasar, Islam. Di Tengah Sulawesi, Toraja sebagian besar Kristen, sebagian belum beragama.

Benar apa tidak perkataanku, Saudara-saudara, bahwa Bangsa Indonesia adalah beraneka agama? Demikian pula aku berkata, bahwa bangsa Indonesia ini beraneka adat-istiadat, beraneka suku pula. Beraneka suku, beraneka agama, beraneka adat-istiadat. Ini yang menjadi pikiran Bapak berpuluh-puluh tahun.

Sebelum kita memproklamirkan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 angustus 1945, aku ingin bersama-sama dengan pejuang lain membentuk satu wadah. Wadah yang bernama Negara. Wadah untuk masyarakat, bagi masyarakat yang beraneka agama, beraneka suku, beraneka adat-istiadat!

Aku ingin membentuk satu wadah yang tidak retak, yang utuh, yang mau menerima semua masyarakat Indonesia yang beraneka itu dan yang masyarakat Indonesia mau duduk pula di dalamnya, yang diterima oleh Saudara-saudara beragama Islam, yang beragama Kristen Katholik, yang beragama Kristen Protestan, yang beragama Hindu-Bali, dan oleh Saudara-saudara yang beragama lain, yang bisa diterima oleh Saudara-saudara yang adat-istiadatnya begitu, dan yang bias diterima oleh sekalian Saudara.

Aku tidak mencipta Pancasila, Saudara-saudara. Sebab sesuatu dasar Negara ciptaan tidak akan bertahan lama. Ini adalah suatu ajaran yang dari mula-mulanya ku pegang teguh. Jikalau engkau hendak mengadakan dasar untuk sesuatu Negara, dasar untuk sesuatu wadah, jangan bikin sendiri, jangan anggit sendiri, jangan karang sendiri.

Selamilah sedalam-dalamnya lautan daripada sejarah! Gali sedalam-dalamnya bumi dari pada Sejarah!

Aku melihat masyarakat Indonesia, sejarah rakyat Indonesia. Dan aku menggali lima mutiara yang terbenam di dalamnya, yang tadinya lima mutiara itu cemerlang tetapi karena oleh penjajahan asing yang 350 tahun lamanya, terbenam kembali di dalam bumi bangsa Indonesia ini.

Aku oleh sekolah tingggi Universitas Gajah Mada di anugerahi titel Doctor Honoris (title Doctor Kehormatan) dalam ilmu ketatanegaraan. Tatkala promotor Prof. Mr. Notonagoro mengucapkan pidatonya pada ucapan pemberian title Doctor Honoris Causa, pada waktu itu beliau berkata: “Saudara Soekarno kami menghadiahkan kepada saudara title kehormatan Docotor Honoris Causa dalam ilmu ketatatanegaraan, oleh karena saudara pencipta Pancasila.”

Di dalam jawaban itu aku berkata: “Dengan terharu aku menerima title Doctor Honoris Causa yang dihadiakan kepadaku oleh Universitas Gajah mada, tetapi aku tolak dengan tegas ucapan Professor Notonagoro, bahwa aku adalah pencipta Pancasila.”

Aku bukan pencipta Pancasila. Pancasila diciptakan oleh bangsa Indonesia sendiri. Aku hanya menggali Pancasila daripada buminya bangsa Indonesia. Pancasila terbenam didalam bumi bangsa Indonesia 350 tahun lamanya. Aku gali kembali dan aku persembahkan Pancasila ini diatas persada bangsa Indonesia kembali.

Tidaklah benar, Saudara-saudara, bahwa kita sebelum ada Bung Karno, sebelum ada Republik Indonesia, sebenarnya telah mengenal akan Pancasila? Tidaklah benar kita dari dahulu mula telah mengenal Tuhan, hidup didalam alam ketuhanan Yang Maha Esa? Kita dahulu pernah menguraikan ini panjang lebar. Bukan anggitan baru, bukan karangan baru. Tetapi sejak dahulu mula bangsa Indonesia adalah satu bangsa pencipta kepada Ketuhanan. Yah.., kemudian Ketuhanan itu disempurnakan oleh agama-agama. Di sempurnakan oleh Agama Islam, disempurnakan oleh Agama Kristen. Tetapi dari dahulu mula kita adalah satu bangsa yang berketuhanan.

Demikian pula, tidaklah benar bahwa kita ini dari dahulu mula telah cinta kepada Tanah Air dan Bangsa? Hidup didalam alam kebangsaan? Dan bukan saja kebangsaan kecil, tetapi kebangsaan Indonesia. Hai.., Engkau pemuda-pemuda, pernah engkau mendengar nama kerajaan Mataram? Kerjaaan Mataram yang memebuat candi-candi Prambanan, candi Brobuduru? Kerajaan mataram kedua di waktu itu dibawah pimpinan Sultan Agung Hanjokrokusumo? Tahukah suadara-saudara akan arti perkataan Mataram? Jikalau tidak tahu maka aku akan berkata kepadamu “Mataram berarti Ibu”. Masih ada persamaan perkataan Mataram itu, misalnya perkataan Metter di dalam bahasa Jerman, Ibu, Mother dalam bahasa Inggris, Ibu. Moeder dalam bahasa Belanda, Ibu. Mater dalam bahasa Latin, Ibu. Mataram berarti Ibu.
Demikian kita cinta kepada Bangsa dan Tanah Air dari zaman dahulu mula, sehingga negeri kita, negara kita, kita putuskan Mataram.

Rasa kebangsaa, bukan rasa baru bagi kita. Mungkinkah mempunyai kerajaan seperti kerajaan Majapahit dan Sriwijaya dahulu, jikalau kita tidak mepunyai rasa kebangsaan yang berkobar-kobar di dalam dada kita?

Yaaah.., kata pemimpin besar yang bernama Gajah Mada.Sang Maha Patih Ihino Gajah mada. Benar, kita mempunya pemimpin besar itu. Benar, pemimpin besar itu telah bersumpah satu kali, tidak akan makan kelapa jikalau belum segenap kepulauan indonesia tergabung di dalam satu negara yang besar. Benar, kita mempunyai pemimpin yang besar itu. Tetapi apakah pemimpin ini yang sebenarnya pencipta dari pada kesatuan kerajaan Majapahit? Tidak!

Pemimpin besar sekedar adalah sambungan lidah daripada rasanya rakyat jelata. Tidak ada satu orang pemimpin besar, walaupun besarnya bagaimanapun juga, bisa membentuk negara yang sebesar Majapahit – ialah satu negara yang besar, yang wilayahnya dari Sabang samapai ke Marauke, bahakan samapai ke daerah Philipina sekarang.

Katakanlah Bung Karno pemimpin besar atau pemimpin kecil, pemimpin gurem atau yang bagaimana, tetapi jikalau ada yang berkata: “Bung Karno yang mengadakan Republik Indonesia.“ Tidak Benar!!! Jangan pun satu Soekarno, sepuluh Soekarno, seratus Soekarno, seribu Soekarno tidak akan bisa membentuk negara Republik Indonesia, jikalau segenap rakayat jelata Republik Indonesia tidak berjuang mati-matian!”

Kemerdekaaan adalah hasil dari segenap perjuangan rakyat. Maka itu pula menjadi pikiran Bapak, negara Republik Indonesia ini bukan milik satu golongan, bukan milik sesuatu agama, bukan milik sesuatu suku, bukan milik sesuatu golongan adat-istiadat, tetapi milik kita semua dari Sabang samapai ke marauke! Perjuangan untuk merebut kemerdekaan ini dijalankan oleh semua bangsa Indonesia.

Aku melihat didalam daerah-daerah yang kukunjungi, dimana pun aku datang, aku melihat Taman-taman Pahlawan. Bukan saja di bagian-bagian yang beragama Islam, tetapi juga di bagian-bagian yang beragama Kristen. Aku melihat Taman-taman Pahlawan dimana-mana. Di sini di Surabaya, pada tanggal 10 november tahun 1945 siapa yang berjuang d sini???

Segenap pemuda-pemudi, kyai, kaum buruh, kaum tani, segenap rakyat Surabaya berjuang dengan tiada perbedaan agama, adat-istiadat, golongan atau suku.

Rasa kebangsaan kita sudah sejak dari zaman dahulu, demikian pula rasa prikemanusiaan. Kita bangsa Indonesia adalah satu-satunya bangsa di dalam sejarah dunia, satu-satunya bangsa yang tidak pernah menjajah bangsa lain adalah bangsa Indonesia. Aku tantang orang-orang ahli sejarah yang bisa membuktikan, bahwa bangsa Indonesia pernah menjajah kepada bangsa lain.

Apa sebab? Oleh karena bansa Indonesia diatas dasar perikemanusiaan sejak dari zaman dahulu. Dari zaman Hindu kita sudah mengenal perikemanusiaan. Disempurnakan lagi rasa perikemanusiaan itudengan agama-agama yang kemudian.

Di dalam zaman Hindu kita telah mengenal ucapan: “Tat Twam Asi”. Apa artinya Tat Twam Asi? Tat Twam Asi berarti “Aku adalah dia”, dia adalah aku”. Dia pakai, aku ikut pakai. Dia senang, aku ikut senang. Aku senang, dia ikut senang. Aku sakit, dia ikut sakit. Tat Twam Asi–perikemanusiaan.

Kemudian datanglah disini agama Islam, mengajarkan pada perikemanusiaan pula. Malah lebih sempurna. Diajarkan kepada kita akan ajaran-ajaran fardhu kifayah, kewajiban-kewajiban yang dipikulkan kepada seluruh masyarakat. Misalnya, jikalau ada orang mati di kampungmu dan kalau orang mati itu tiada terkubur, siapa yang dianggap berdosa, siapa yang dikatakan berdosa, siapa yang akan mendapatkan siksaan daripada dosa itu? Bukan sekedar kerabata famili daripada sang mati itu, Tidak! Segenap masyarakat disitu ikut bertanggung jawab.

Demikian pula dengan agama Kristen. Tidakkkah agama Kristen kita itu diajarkan: cinta kepada Tuhan lebih dari pada segala sesuatu; dan cinta kepada manusia lebih daripada cinta kita sendiri: Hebs U naasten lief gelijk U zelve, God boven alles”. Jadi rasa kemanusiaan bukan barang baru bagi kita.

Demikian pula rasa kedaulatan rakyat. Apa sebab pergerakan Nasional Indonesia laksana api mencetus dan meledakan segenap rasa kebangsaan Indonesia? Oleh karena pergerakan nasional Indonesia itu berdiri diatas dasar kedaulatan rakyat. Engkau ikut berjuang! Dai dahulu malu kita gandrung kepada kedaulatan rakyat. Apa sebab engkau ikut berjuang? Oleh karena engkau merasa memperjuangkan dasar kedaulatan rakyat.

Bangsa Indonesia dari dahulu mula telah mengenal kedaulatan rakyat, hidup di dalam alam kedaulatan rakyat. Demokrasi bukan barang baru bagi kita. Demikian pula cita-cita keadilan sosial, bukan cita-cita baru bagi kita. Jangan kira, bahwa cita-cita keadilan sosial itu buatan Bung Karno, Bung hatta, atau komunis atau kaum serikat rakyat, kaum sosialis, Tidak!

*) Pidato di Surabaya, 24 September 1955.

Selasa, 15 Februari 2011

Kejahatan Transnasional dalam Peta Politik Global

Globalisasi saat ini sudah merupakan keyakinan (dogma) yang kuat bahwa keberhasilan ekonomi di satu negara akan berimbas di negara lain, begitu pula sebaliknya. Inti arah globalisasi adalah mencapai kesejahteraan dunia tanpa kecuali tanpa ada pembedaan lagi negara kaya, miskin, negara maju dan berkembang.

 
Idealisme yang ditanamkan sejak konsensus Washington (1980) telah mampu mendorong kebijakan di seluruh negara termasuk perilaku pejabat publik di negara berkembang untuk mencapai cita-cita tersebut. Atas dasar dogma tersebut sudah terbayang kesejahteraan yang adil dan berimbang antara negara maju dan berkembang dan negara miskin di satu sisi, dan antara kelompok “the have” dan “the have not”di sisi lain.
Untuk tujuan pencapaian itu, negara berkembang termasuk Indonesia berusaha mematuhi dan melaksanakan konsensus tersebut bukan hanya di bidang perdagangan internasional tetapi juga dalam sektor lainnya seperti ketertiban dan keamanan serta penegakan hukum (kamtibgakkum). Namun dalam praktik globalisasi selama tiga puluh tahun, terbukti terjadi ketimpangan kesejahteraan antara negara maju dan berkembang dan dampak yang sangat memprihatinkan di mana kelompok the have semakin bertambah kaya dan the have notsemakin miskin.
Perilaku Hipokrit
Kesenjangan kehidupan sosial dan ekonomi inilah yang juga menjadi keprihatinan Stiglitz (2003), seorang ahli ekonomi internasional, yang menyatakan kesenjangan tersebut sebagai akibat sikap hipokrit negara maju terhadap negara berkembang.Negara maju, dengan berbagai alasan, telah menolak ekspor negara berkembang ke negaranya sehingga negara berkembang mengalami hambatan untuk memperoleh dan meningkatkan devisa ke negaranya.
Perilaku hipokrit negara maju juga telah memasuki bidang kamtibgakkum melalui berbagai prosedur dalam pembentukan perundang-undangan nasional di negara berkembang termasuk di Indonesia.Masih kuat dalam ingatan kita ketika awal reformasi 1998, IMF telah “memaksakan” pemberlakuan UU Kepailitan dalam versi IMF dan mencabut UU Kepailitan warisan pemerintah kolonial Belanda. Maksud sesungguhnya adalah agar investor asing menanamkan modalnya di Indonesia dengan aman dan nyaman tanpa ada kekhawatiran dicurangi oleh pengusaha pribumi. Maksud ini sudah tentu tidak mengemuka akan tetapi dibungkus dengan jargon untuk menciptakan iklim investasi yang sehat dan bebas KKN.

Kenyataannya, sangat sedikit perusahaan asing yang dinyatakan pailit dengan UU tersebut dibandingkan dengan perusahaan nasional swasta. Di bidang kamtibgakkum, pengaruh negara maju juga tidak kalah agresifnya dengan pertimbanganbahwa secara geopolitik,Indonesia merupakan negara yang memiliki posisi strategis dalam turut mencitptakan kamtibgakkum di wilayah Asia-Pasifik. Saat ini sudah ada lebih dari 128 instrumen internasional berkaitan dengan penegakan hukum pidana internasional; baik yang telah diadopsi dan diratifikasi negara anggota PBB termasuk Indonesia.
Instrumen internasional yang bersifat strategis sampai saat ini adalah: Konvensi PBB Anti-Narkotika dan Psikotropika (1988); Konvensi PBB Anti-Pencucian Uang (1990); Konvensi PBB Anti-Terorisme (1997 dan 1998); Konvensi PBB Menentang Tindak Pidana Transnasional Terorganisasi (2000), dan Konvensi PBB Anti-Korupsi (2003). Selain itu, berbagai instrumen internasional dalam bentuk “soft law”telah ditetapkan oleh DK PBB untuk mencegah dan memberantas tindak pidana tersebut di atas, terutama terhadap tindak pidana terorisme.
Dalam menyikapi semua konvensi itu setiap negara berpegang kepada prinsip kedaulatan negara (state’s sovereignty) yaitu prinsip kesetaraan (equality of states), kesatuan teritorial (territorial integrity), dan prinsip intervensi. Bahkan, dalam Piagam Pembentukan PBB (1945) Bab I Pasal 2 angka 4 dan angka 7 telah ditegaskan prinsip non-intervensi tersebut. Dalam konteks kerangka pikir inilah kiranya pemimpin bangsa dan jajaran pejabat birokrasi di Indonesia harus memperlakukan konvensi internasional secara patut, tidak berlebihan.
Mereka harus menempatkannya di dalam kerangka kepentingan bangsa dan negara yang dilandaskan pada UUD 1945 dan sistem hukum nasional. Pertimbangan yang mendalam dan memadai terhadap kenyataan keragaman masyarakat Indonesia, baik dalam asal usul etnis, agama, budaya, dan strata sosial-ekonomi, merupakan langkah bijaksana dan penuh kewaspadaan di dalam menata kembali dampak (positif dan negatif) dogma globalisasi yang dapat memengaruhi langsung atau tidak langsung pembentukan peraturan perundangan-undangan.
Tiga Pilar Globalisasi
Kewaspadaan ini bukan mustahil karena satu-satunya cara untuk menanamkan pengaruh melalui “hard power”bukan masanya lagi, melainkan melalui “soft power” (Joseph Nye Jr). Soft power negara maju diarahkan kepada tiga pilar globalisasi (privatisasi,deregulasi, dan stabilitas ekonomi makro) sehingga sangat pantas diwaspadai setiap produk perundang-undangan yang berhubungan dengan ekonomi dan keuangan di dalam program legislasi nasional. Muara keberhasilan dan kegagalan mencapai kesejahteraan bangsa dan negara tidak ditentukan oleh bangsa/ negara lain sekalipun PBB, melainkan ditentukan oleh kepentingan bangsa dan negara.
Setiap produk perundang-undangan nasional yang berkaitan dengan kesejahteraan rakyat harus dikaji mendalam dari berbagai aspek. Jangan hanya aspek hukum normatif semata-mata yang terobsesi oleh aliran positivisme hukum, melainkan harus dilihat juga dari aspek kemanfaatan terbesar untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan konsep analisis ekonomi terhadap pembentukan hukum (utilitarianisme). Konsep analisis ekonomi dalam pembentukan hukum (undangundang) bertumpu pada tiga prinsip yaitu, maksimalisasi, keseimbangan dan efisiensi (Cooter dan Ullen).
Dalam mempertimbangkan aspek-aspek tersebut jangan dilupakan aspek non-hukum yaitu sikap hipokritisme negara maju terhadap negara berkembang. Dalam konteks inilah diperlukan studi banding ke negara-negara maju pengekspor konsep, “transparansi, integritas, akuntabilitas, dan good governance.”  Sikap hipokrit negara maju sudah terbukti dalam pemberantasan tindak pidana suap (bribery) dan tindak pidana pencucian uang. Kasus suap oleh perusahaan Monsanto (2007) dan perusahaan Innospec (2010), badan hukum Amerika Serikat, di Indonesia.
Sistem hukum di kedua negara tersebut telah menerapkan sistem “injunction” dalam kasus suap tersebut sehingga KPK menemui hambatan serius. Sistem injunction telah mewajibkan korporasi tersebut membayar denda administratif tanpa dilakukan penuntutan pidana. Sedangkan sistem tersebut telah “menyimpang” dari penerapan (Pasal 3) sanksi yang efektif (effective), proporsional (proportionate) dan membuat jera pelakunya (dissuasive) yang tercantum dalam OECD Convention on Combating Bribery of Foreign Public Officials in International Business Transaction (1997).
Kewaspadaan nasional dalam penyusunan UU Pencucian Uang (2010) diperlukan karena tidak ada jaminan bahwa delegasi wewenang kepada lembaga penyediaan keuangan khususnya bank, untuk menunda transaksi selama lima hari terhadap transaksi yang dicurigai, tidak akan menimbulkan “capital outflow” dari Indonesia ke negara lain. Kekhawatiran ini dapat dipahami karena kelemahan mendasar dalam penegakan hukum di Indonesia adalah terletak pada koordinasi dan pengawasan serta masalah integritas di setiap lini birokrasi dan aktivitas swasta.
Persaingan bisnis dengan atau tanpa menggunakan media perbankan bukan sesuatu yang mustahil di Indonesia karena “good corporate governance” di Indonesia masih tanda tanya. Terdapat kejanggalan dalam UU Pencucian Uang (2010) karena ada tiga pasal yang mengatur dana berkaitan dengan terorisme, sedangkan “predicate crime” dalam UU tersebut sebanyak dua puluh lima tindak pidana. Pemerintah dan DPR RI perlu memberikan pertanggungjawaban kepada masyarakat atas keberadaan tiga pasal tersebut dan apa relevansinya bagi Indonesia.

Penulis :

Prof. Dr. Romli Atmasasmita, SH, LLM, Pakar Hukum Pidana Internasional, Guru Besar Universitas Padjadjaran

http://www.tokohindonesia.com/publikasi/article/322-opini/2871-kejahatan-transnasional-dalam-peta-politik-global

Ini Indonesia, Bung !

DASAR NEGARA


Pancasila adalah filosofi dasar negara Indonesia yang berasal dari dua kata sansekerta, “panca” artinya lima, dan “sila” artinya dasar. Pancasila terdiri atas lima dasar yang berhubungan dan tidak dapat dipisahkan, adalah :

1. Ketuhanan yang Maha Esa
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

Indonesia merupakan negara demokrasi yang dalam pemerintahannya menganut sistem presidensiil, dan Pancasila ini merupakan jiwa dari demokrasi. Demokrasi yang didasarkan atas lima dasar tersebut dinamakan Demokrasi Pancasila. Dasar negara ini, dinyatakan oleh Presiden Soekarno (Presiden Indonesia yang pertama) dalam Proklamasi Kemerdekaan Negara Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.

POSISI GEOGRAFIS

Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia yang mempunyai 17.508 pulau. Indonesia terbentang antara 6 derajat garis lintang utara sampai 11 derajat garis lintang selatan, dan dari 97 derajat sampai 141 derajat garis bujur timur serta terletak antara dua benua yaitu benua Asia dan Australia/Oceania. Posisi strategis ini mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap kebudayaan, sosial, politik, dan ekonomi.

Wilayah Indonesia terbentang sepanjang 3.977 mil antara Samudra Hindia dan Samudra Pasifik. Apabila perairan antara pulau-pulau itu digabungkan, maka luas Indonesia menjadi1.9 juta mil persegi,

Lima pulau besar di Indonesia adalah : Sumatera dengan luas 473.606 km persegi, Jawa dengan luas 132.107 km persegi, Kalimantan (pulau terbesar ketiga di dunia) dengan luas 539.460 km persegi, Sulawesi dengan luas 189.216 km persegi, dan Papua dengan luas 421.981 km persegi.

SEJARAH GEOLOGI

Pulau-pulau Indonesia terbentuk pada jaman Miocene (12 juta tahun sebelum masehi); Palaeocene ( 70 juta tahun sebelum masehi); Eocene (30 juta tahun sebelum masehi); Oligacene (25 juta tahun sebelum masehi). Sehubungan dengan datangnya orang-orang dari tanah daratan Asia maka Indonesia dipercaya sudah ada pada jaman Pleistocene (4 juta tahun sebelum masehi). Pulau-pulau terbentuk sepanjang garis yang berpengaruh kuat antara perubahan lempengan tektonik Australia dan Pasifik. Lempengan Australia berubah lambat naik kedalam jalan kecil lempeng Pasifik, yang bergerak ke selatan, dan antara garis-garis ini terbentanglah pulau-pulau Indonesia.

Ini membuat Indonesia sebagai salah satu negara yang paling banyak berubah wilayah geologinya di dunia. Pegunungan-pegunungan yang berada di pulau-pulau Indonesia terdiri lebih dari 400 gunung berapi, dimana 100 diantaranya masih aktif. Indonesia mengalami tiga kali getaran dalam sehari, gempa bumi sedikitnya satu kali dalam sehari dan sedikitnya satu kali letusan gunung berapi dalam setahun.

DEMOGRAFI

Penduduk Indonesia dapat dibagi secara garis besar dalam dua kelompok. Di bagian barat Indonesia penduduknya kebanyakan adalah suku Melayu sementara di timur adalah suku Papua, yang mempunyai akar di kepulauan Melanesia. Banyak penduduk Indonesia yang menyatakan dirinya sebagai bagian dari kelompok suku yang lebih spesifik, yang dibagi menurut bahasa dan asal daerah, misalnya Jawa, Sunda atau Batak.

Selain itu juga ada penduduk pendatang yang jumlahnya minoritas diantaranya adalah Etnis Tionghoa, India, dan Arab. Mereka sudah lama datang ke nusantara dengan jalur perdagangan sejak abad ke 8 SM dan menetap menjadi bagian dari Nusantara. Di Indonesia terdapat sekitar 3% populasi etnis Tionghoa. Angka ini berbeda-beda karena hanya pada tahun 1930-an terakhir kalinya pemerintah melakukan sensus dengan menggolong-golongkan masyarakat Indonesia ke dalam suku bangsa dan keturunannya.

Islam adalah agama mayoritas yang dipeluk oleh sekitar 85,2% penduduk Indonesia, yang menjadikan Indonesia negara dengan penduduk muslim terbanyak di dunia. Sisanya beragama Protestan (8,9%); Katolik (3%); Hindu (1,8%); Buddha (0,8%); dan lain-lain (0,3%).

Kebanyakan penduduk Indonesia bertutur dalam bahasa daerah sebagai bahasa ibu, namun bahasa resmi Indonesia, bahasa Indonesia, diajarkan di seluruh sekolah-sekolah di negara ini dan dikuasai oleh hampir seluruh penduduk Indonesia.

POLITIK

Seperti juga di negara-negara demokrasi lainnya, sistem politik di Indonesia didasarkan pada Trias Politika yaitu kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Kekuasaan legislatif dipegang oleh sebuah lembaga bernama Majelis Permusyawatan Rakyat (MPR) yang terdiri dari dua badan yaitu DPR yang anggota-anggotanya terdiri dari wakil-wakil Partai Politik dan DPD yang anggota-anggotanya mewakili provinsi yang ada di Indonesia. Setiap daerah diwakili oleh 4 orang yang dipilih langsung oleh rakyat di daerahnya masing-masing.

Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) adalah lembaga tertinggi negara. Keanggotaan MPR berubah setelah Amandeman UUD 1945 pada periode 1999-2004. Seluruh anggota MPR adalah anggota DPR ditambah anggota DPD (Dewan Perwakilan Daerah). Sebelumnya, anggota MPR adalah seluruh anggota DPR ditambah utusan golongan. Anggota MPR saat ini terdiri dari 550 anggota DPR dan 128 anggota DPD. Anggota DPR dan DPD dipilih melalui pemilu dan dilantik dalam masa jabatan lima tahun. Sejak 2004, MPR adalah sebuah parlemen bikameral, setelah terciptanya DPD sebagai kamar kedua.

Lembaga eksekutif berpusat pada presiden, wakil presiden, dan kabinet. Kabinet di Indonesia adalah Kabinet Presidenstil sehingga para menteri bertanggung jawab kepada presiden dan tidak mewakili partai politik yang ada di parlemen.

Lembaga Yudikatif sejak masa reformasi dan adanya amandemen UUD 1945 dijalankan oleh Mahkamah Agung, termasuk pengaturan administrasi para Hakim.

PROVINSI

Indonesia saat ini memiliki 33 provinsi (termasuk 2 Daerah Istimewa (DI) dan satu Daerah Khusus Ibukota (DKI). Kedua DI tersebut adalah Nanggroe Aceh Darussalam dan Daerah Istimewa Yogyakarta sedangkan Daerah Khusus Ibukotanya adalah Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Sebelum tahun 1999, Timor Timur merupakan salah satu provinsi di Indonesia, yang kemudian memisahkan diri melalui referendum menjadi Negara Timor Leste.

Daftar Provinsi di Indonesia
Sumatra
Nanggroe Aceh Darussalam | Sumatera Utara | Sumatera Barat | Bengkulu | Riau | Kepulauan Riau | Jambi | Sumatera Selatan | Lampung | Kepulauan Bangka Belitung
Jawa
Jakarta | Jawa Barat | Banten | Jawa Tengah | DI Yogyakarta | Jawa Timur
Kalimantan
Kalimantan Barat | Kalimantan Tengah | Kalimantan Selatan | Kalimantan Timur
Nusa Tenggara
Bali | Nusa Tenggara Barat | Nusa Tenggara Timur
Sulawesi
Sulawesi Barat | Sulawesi Utara | Sulawesi Tengah | Sulawesi Selatan | Sulawesi Tenggara | Gorontalo
Kepulauan Maluku dan Papua
Maluku | Maluku Utara | Papua Barat | Papua

EKONOMI

Ekonomi Indonesia mengalami kemunduran pada akhir tahun 1990-an akibat krisis ekonomi yang melanda sebagian besar Asia pada saat itu. Ekonominya kini telah lumayan stabil saat ini.

Indonesia mempunyai sumber daya alam yang besar di luar Jawa, termasuk minyak mentah, gas alam, timah, tembaga dan emas. Indonesia adalah pengekspor gas alam terbesar kedua di dunia, meski akhir-akhir ini ia telah mulai menjadi pengimpor bersih minyak mentah. Hasil pertanian yang utama termasuk beras, teh, kopi, rempah-rempah dan karet.

Rekan perdagangan terbesar Indonesia adalah Jepang, Amerika Serikat dan negara-negara tetangganya yaitu Malaysia, Singapura dan Australia.

Meski kaya akan sumber daya alam dan manusia, Indonesia masih menghadapi masalah besar dalam bidang kemiskinan yang sebagian besar disebabkan korupsi yang merajalela dalam pemerintah.
Bank sentral Indonesia adalah Bank Indonesia.

SENI BUDAYA

Jenis kesenian di Indonesia banyak dipengaruhi oleh beberapa kebudayaan. Tari Jawa dan Bali yang terkenal, misalnya, berisi aspek-aspek kebudayaan dan mitologi Hindu.

Banyak juga seni tari yang berisikan nilai-nilai Islam. Beberapa di antaranya dapat ditemukan di daerah Sumatra seperti tari Saman Meusukat dan Tari Seudati dari Nanggroe Aceh Darussalam.

Selain itu yang cukup terkenal di dunia adalah wayang kulit yang menampilkan kisah-kisah tentang kejadian mitologis. Seni pantun, gurindam, dan sebagainya dari pelbagai daerah seperti pantun Melayu, dan pantun-pantun lainnya acapkali dipergunakan dalam acara-acara tertentu yaitu perhelatan, pentas seni, dan lain-lain.

Di bidang busana warisan budaya yang terkenal di seluruh dunia adalah kerajinan batik. Beberapa daerah yang terkenal akan industri batik meliputi Yogyakarta, Solo, dan juga Pekalongan.

Pencak silat adalah seni bela diri yang unik yang berasal dari wilayah Indonesia. Seni bela diri ini kadang-kadang ditampilkan pada acara-acara pertunjukkan yang biasanya diikuti dengan musik tradisional Indonesia berupa gamelan dan seni musik tradisional lainnya sesuai dengan daerah asalnya.

Seni musik di Indonesia, baik tradisional maupun modern sangat banyak terbentang dari Sabang hingga Merauke. Musik tradisional termasuk juga keroncong Jawa dikenali oleh hampir semua rakyat Indonesia, namun yang lebih berkuasa dalam paras lagu di Indonesia yaitu seni lagu modern kemudian Dangdut. Dangdut adalah salah satu musik Indonesia yang sudah merakyat di wilayah Nusantara, yang dipadu dari unsur musik Melayu, India, dan juga musik tradisional Indonesia. Dinamakan Dangdut karena suara musik yang terdengar adalah suara 'dang' dan 'dut' dan musik Dangdut lebih dikuasai oleh suara gendang dan suling. Lagu-lagu dangdut biasanya didendangkan oleh pedangdut dengan goyangannya yang seronok dan lemah gemulai yang disesuaikan dengan tempo lagunya. Ada berbagai macam corak musik Dangdut, antara lain Dangdut Melayu, Dangdut Modern (Dangdut masa kini yang alat musiknya telah ditambah dengan alat musik modern); dan Dangdut Pesisir (Lagu dangdut tradisional Jawa, Sunda, dll). Pada tahun 70-an, dangdut lebih dikenal sebagai aliran musik orkes Melayu, yang kemudian pada awal tahun 80-an ia lebih dikenal dengan sebutan Dangdut.

Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa, agama serta kepercayaan yang berbeda. Ada Batak, Karo, Minangkabau, Melayu di Sumatra dan sebagainya. Ada banyak agama yang diakui di Indonesia yaitu Islam, Kristen, Hindu, dan Buddha bahkan kini Kepercayaan Konghucu juga diakui. Namun sebagian besar masyarakat Indonesia lebih memilih Islam sebagai agamanya.
http://www.indonesia.go.id/

Bhinneka Tunggal Ika: Nilai Luhur Budaya Bangsa untuk Tetap Menjadi Indonesia

Oleh Nanoq da Kansas

Sejak Negara Republik Indonesia ini didirikan (merdeka), para pendiri bangsa dengan dukungan penuh seluruh rakyat telah sepakat mencantumkan kalimat “Bhinneka Tunggal Ika” pada lambang negara Garuda Pancasila. Kalimat itu sendiri diambil dari falsafah Nusantara yang sejak jaman Kerajaan Majapahit juga sudah dipakai sebagai motto pemersatu wilayah di kawasan Nusantara. Ini artinya, bahwa sudah sejak dulu sekali, jauh sebelum jaman menjadi modern seperti sekarang, jauh sebelum bangsa ini menjadi terdidik dengan tingkat intelektualitas tinggi seperti sekarang, kesadaran akan hidup bersama di dalam keberagaman sudah tumbuh dan menjadi jiwa serta semangat anak-anak banga di negeri ini.

Tetapi memasuki abad 21, di mana anak-anak Bangsa Indonesia telah menjadi bangsa yang terdidik, bangsa yang banyak sekali punya orang pintar alias kaum inteletual yang ilmunya bahkan diperoleh dari sekolah-sekolah tinggi di luar negeri, sebuah kata, yaitu “pluralisme” yang artinya sama dengan keberagaman, tiba-tiba saja menjadi istilah yang begitu gencar disebut. Setiap orang seakan kurang yakin dengan keintelekannya bila tidak menyebut kata pluralisme setiap kali bicara, berdiskusi, berpidato dan lain sebagainya.

Kenapa istilah pluralisme itu mendadak jadi trendi? Padahal jauh sebelum kata itu diucapkan oleh para intelektual modern kita, bangsa ini sudah sangat terbiasa dengan keberagaman yang “bhinneka” itu. Bangsa ini sudah berabad-abad kita hidup dalam kebersamaan dengan perbedaan yang ada di negeri ini. Berbeda warna kulit, berbeda bahasa, berbeda adat istiadat, berbeda agama, dan berbeda dalam banyak hal lagi.

Kalau harus mengingat-ingat, istilah pluralisme itu ternyata menjadi ngetren gara-gara belakangan inl kita sering sekali berkonflik. Anak-anak bangsa dengan membawa nama agama, nama partai, nama suku, nama desa, nama banjar bahkan nama keluarga, semakin sering saja berkelahi. Bentrok semakin sering terjadi, bahkan sampai memakan korban jiwa ratusan atau ribuan. Mulai saat itulah istilah pluralisme menjadi latah diucapkan. Dan sayangnya, istilah pluralisme itu lama-lama malah dijadikan “barang dagangan” oleh oknum-oknum tertentu untuk mencari uang. Dengan alasan untuk memediasi bentrok antar massa, proposal tentang pluralisme dijual ke luar negeri. Lalu suatu lembaga luar negeri memberi bantuan dana untuk kegiatan mediasi penyadaran bagi anak-anak bangsa ini untuk rukun, untuk berdamai, untuk saling menghargai dan menghormati. Ribuan kali sudah pertemuan yang bernama seminar, diskusi, pelatihan, pemberdayaan tentang kerukunan digelar dari tingkat rakyat jelata hingga oleh para elit dengan dana begitu banyak. Tetapi konflik toh masih sering terjadi tak terduga-duga. Hanya gara-gara masalah sangat sepele, sekarang anak-anak bangsa bisa bentrok, berkelahi, berperang antar kelompok dan seterusnya. Dan sementara itu, bangsa-bangsa lain di luar sana, bangsa-bangsa yang telah memberi kita dana untuk memahami pluralisme terpingkal-pingkal menertawai kita.

Bangsa yang Lupa
Suka atau tidak suka, kiranya ada sesuatu yang salah pada bangsa kita. Bahwa kenapa ketika bangsa ini sudah menjadi bangsa yang maju, justru makin sering bermasalah dengan sesama anak bangsa. Kenapa dulu ketika sekolah masih jarang, masjid masih jarang, pura masih jarang, gereja masih jarang, partai politik masih jarang, bangsa ini bisa akur-akur saja, benar-benar merasa senasib sepenanggungan dan penuh toleransi? Kenapa sekarang ketika kita makin sering beribadat, makin sering mendapat pencerahan rohani, makin pintar berpolitik, makin kaya, kita justru terpuruk ke dalam prilaku primitif, barbar, dan tidak bisa bertoleransi?

Sebuah jawaban sederhana dan juga mungkin primitif adalah, bahwa kita sekarang sudah menjadi bangsa yang lupa. Bukan lupa apa, tetapi lupa diri. Kita telah melupakan siapa diri kita sesungguhnya. Kita lupa, bahwa kita semua ini adalah sama-sama mahluk Tuhan yang bernama manusia dan menjadi bangsa bernama Indonesia.

Yang ada di benak kita saat ini hanyalah, bahwa aku orang Hindu, aku orang Islam, aku orang Kristen, aku orang Bali, aku orang Jawa, aku orang Ambon, aku orang Aceh, aku orang Madura, aku orang Betawi, aku orang kaya, aku orang Golkar, aku orang PDI-P, aku orang Demokrat, aku orang PNI, aku orang PAN, aku orang PKB, aku orang PKS, aku pengusaha, aku polisi, aku pejabat, aku Brahmana, aku Anak Agung, aku Pasek, aku Pande, aku Arya, aku Gusti, dan seterusnya.

Yang ada di benak kita saat ini adalah, bahwa aku orang baik-baik – dia orang jahat, aku orang terhormat – dia pelacur, aku orang beriman – dia kafir, aku lebih banyak – dia sedikit, aku berkuasa – dia hanya jelata, aku berjasa – dia kere, aku tuan rumah – dia pendatang, dlllllll.
Kita lupa kebhinnekaan bangsa ini. Kita lupa para leluhur, para pendahulu kita begitu bijaknya sehingga mampu membuat bangsa ini menjadi besar. Kita lupa, kebesaran bangsa ini justru karena dulu dibangun dan diperjuangkan oleh Jawa, Batak, Bali, Aceh, Bugis, Ambon, Madura, Dayak, dan sebagainya. Kita lupa, bahkan saat merebut kemerdekaan dulu, seluruh anak-anak bangsa ini sama-sama berperan. Dari para kiai, ulama, pendeta, politikus, seniman, guru, tentara, polisi, petani, hingga dukun, tukang santet, maling dan pelacur punya peran masing-masing untuk membuat bangsa ini merdeka. Semua ikut berjuang dengan peran dan keahlian masing-masing, dan tentu saja dengan porsi masing-masing.

Kesadaran Bersama
Jika sekarang ditulis atau dibicarakan, mungkin kita bisa menghabiskan ribuan lembar kertas dan ratusan hari hanya untuk mengingat-ingat berbagai masa lalu yang telah membuat kita menjadi Indonesia. Tetapi apalah gunanya bila kita hanya mengingat-ingatnya dengan penuh rasa romantis, tetapi setelah di luar sana nanti kita kembali menjadi orang, golongan atau kaum yang lain lagi.

Yang harus kita lakukan adalah, dengan kesadaran baru yang ada pada tingkat kecerdasan, keintelektualan, serta kemajuan kita sekarang ini, bahwa bangsa ini dibangun dengan pilar bernama Bhinneka Tunggal Ika. Tidak usah yang lain lagi. Tidak usah mengutip-ngutip istilah agama karena istilah dalam agama itu akan memberi kesan hanya agama itu yang paling baik. Ini akan membuat orang lain tersinggung. Apalagi negara dan bangsa ini sudah jelas-jelas bukan berlandaskan suatu agama. Negara ini berlandaskan ketuhanan yang artinya memberi kebebasan kepada semua agama untuk sama-sama hidup di sini. Yang harus kita kampanyekan terus-menerus adalah bahwa semua agama, semua golongan, semua profesi, semua partai, adalah pilar-pilar yang membuat bangunan bangsa ini kuat. Bahwa satu pilar saja rusak, satu pilar saja diabaikan, maka bangunan bangsa ini akan berkurang kekuatannya.

Maka bila kita bicara soal nilai-nilai luhur bangsa, tiada lain kita hanya punya Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika itu. Karena hanya dua keyakinan itulah yang telah mengantarkan kita sampai hari ini menjadi sebuah bangsa yang terus semakin besar di antara bangsa-bangsa lain di atas bumi ini. Tidak perlu lagi kita sok-sokan menciptakan nilai-nilai luhur yang baru, yang entah dikutif dari mana sehingga menjadi entah bernama ajeg ini ajeg itu, syariat ini syariat itu, filosofi ini folosofi itu. Karena yang sudah teruji selama berpuluh-puluh tahun bisa membuat Negara dan Bangsa Indonesia tetap ada hingga hari ini toh itu yang bernama Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika.

Kalau lantas sekarang kita mau menciptakan nilai-nilai luhur bangsa yang baru, kita harus mengujinya dulu. Cara mengujinya, adalah kita harus memanggil bangsa lain dulu untuk kembali menjajah kita selama berabad-abad, lalu kita berjuang lagi dengan nilai-nilai luhur baru itu. Sanggup tidak? Saya tidak yakin kita akan sanggup. Karena jangankan dijajah bangsa lain lain, dijajah harga beras mahal saja sekarang ini kita sudah tak berdaya. Dijajah mertua saja kita sudah loyo. Maka sekali lagi, mulai saat ini kita tak boleh lupa lagi bahwa kita adalah bangsa bernama Indonesia, punya Indonesia, milik Indonesia, dengan prinsip bersama Bhinneka Tunggal Ika, berbeda-beda tetapi satu! Titik!

Nanoq da Kansas, penyair, kolumnis, penggiat teater dan petani
Tinggal di Jembrana – Bali.
 
http://sirihmerah-nur.blogspot.com/2009/03/bhinneka-tunggal-ika-nilai-luhur-budaya_05.html

Pluralisme Vs Fundamentalisme


Oleh Teuku Kemal Fasya
 
Peresmian Gong Perdamaian oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Kupang, Nusa Tenggara Timur, pada 8 Februari, seperti menepuk angin.
Pada hari yang sama, Temanggung terbakar kerusuhan SARA. Sekelompok ”umat” ingin mengeksekusi sendiri terdakwa penistaan agama, Antonius R Bawean, setelah kecewa pada putusan jaksa yang menuntut lima tahun penjara. Dalam sekejap kerusuhan meluas. Massa membakar dua gereja dan merusak sekolah.
Dua hari sebelumnya malah lebih tragis. Jamaah Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang, Banten, dibantai. Disebut pembantaian karena memang bukan aksi konflik yang seimbang. Seperti tertulis dalam kronologi Kontras, sekitar 25 anggota Jamaah Ahmadiyah dikepung oleh sekitar 1.500 orang dengan senjata mematikan. Tiga orang tewas, lima luka parah. Terbayang seperti apa komunitas Ahmadiyah terkepung ketakutan karena ”konsensus kebencian” yang menyebar. Padahal, mereka sama sekali tak kenal orang yang menyerangnya. Mereka diburu hanya karena identitas keyakinan: Ahmadiyah.
Bagi yang menonton film Inglorious Basterds (2009) karya Quentin Tarantino, tentu ingat guratan ketakutan keluarga Yahudi ketika sepasukan Jerman memburu dan menginterogasi Perrier Lapedite yang menyembunyikan mereka. Melalui mekanisme persuasi yang ganjil, Perrier pun menyerah oleh permainan interogasi horor Kolonel Hans Landa. Digambarkan pembantaian itu dengan muka puas dan sukacita tentara Nazi.
Fundamentalis tidak mati
Dalam The Battle for God (2000), Karen Amstrong, teolog asal Inggris, menuliskan bahwa sejak akhir abad ke-20 muncul kesadaran kesalehan militan pada kelompok mayoritas yang kini disebut fundamentalisme. Istilah ini pertama sekali digunakan kelompok Protestan Amerika Serikat pada awal abad ke-20 yang khawatir melihat perkembangan teknologi dan pengetahuan sebagai ancaman iman.
Kesadaran fundamentalisme menganggap masa kini telah terkotori sehingga cara membersihkannya adalah menghidupkan kembali ajaran fundamental agama, termasuk dengan mengabaikan keniscayaan bahwa umat beragama saat ini telah hidup dengan nilai baru yang plural dan heterogen. Mereka menolak penafsiran baru dalam agama dan anti-intelektualisme, melecehkan konsep-konsep baru seperti pluralisme, toleransi antarumat beragama, dan demokrasi.
Kaum fundamentalis berpikir masa lalu, masa yang dekat dengan lahirnya agama adalah masa yang telah teridealisasi dengan sendirinya dan harus dipertahankan. Kelompok fundamentalisme menolak istilah pembaruan agama.
Dari perspektif ini kita melihat bahwa kelompok fundamentalisme tidaklah mati oleh tindakan antiteror pemerintah. Bahkan terkesan pemerintah telah salah analisis, hanya mengidentifikasi dan melakukan tindakan militer pada kelompok teror bom seperti dilekatkan pada Jamaah Islamiyah dan Al Qaeda. Padahal, ada bentuk fundamentalisme lain yang tidak disikapi dengan tegas dan lebih membahayakan harmoni sosial dan kebangsaan.
Kasus penistaan agama oleh siapa pun tidak dapat dibenarkan bahkan dengan dalih kebebasan beragama. Tindakan seperti itu harus diisolasi dan diselesaikan dengan cara yang paling adil, termasuk pengadilan. Namun, sikap barbarian main hakim sendiri seolah-olah teregister menjadi tentara Allah, menghukum sang pencela dengan cara membunuh dan membakar rumah ibadah umat lain jauh lebih tercela dan tidak religius.
Kasus pembantaian Ahmadiyah di Pandeglang dan perusakan gereja di Temanggung adalah fundamentalisme ekstrem yang tak bisa ditolerir. Negara bahkan perlu melakukan semacam daya kejut, seperti tindakan militer dan menghukum para perusuh-pembantai dengan hukuman maksimal agar tindakan ini tidak dijadikan adat kebiasaan. Tanpa shock therapy, tentu akan ada hasrat untuk mengulangnya lagi di lain kesempatan.
Tahun lalu negara ini diberi gelar sebagai champion of democracy, negara yang paling cepat melakukan adaptasi pada nilai-nilai demokrasi dan HAM. Pemerintah SBY harus merasa malu jika kejadian ini sampai kembali terulang. Selain merusak nama baik negara ini di mata dunia sebagai negara demokrasi baru, juga malu jika masih ada anak bangsa yang dikorbankan oleh sikap tanpa toleransi dan memaksakan kehendak dengan dalih menegakkan agama.
Tidak perlu aksi simbolis seperti Gong Perdamaian itu, tetapi aksi konkret seperti tindakan hukum secara cepat dan tegas kepada siapa pun yang bersalah. Saatnya mendeklarasikan sebagai penentang nomor satu segala bentuk fundamentalisme yang bisa mengancam demokrasi dan keharmonisan seluruh warga dan tumpah darah Indonesia. Jika tidak mau hidup berdampingan dan menyadari pluralisme bangsa ini, jangan hidup di sini!
Teuku Kemal Fasya Dosen Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe

http://okefarid.wordpress.com/2011/02/14/pluralisme-vs-fundamentalisme/ 

Minggu, 13 Februari 2011

Tionghoa dalam Negara Pancasila



Oleh: As'ad Said Ali

Setengah abad lebih kita merdeka, namun hingga kini isu hubungan pribumi-etnis Tionghoa belum kunjung selesai. Prasangka negatif, utamanya dari pihak pribumi, atau mungkin keduanya, sampai hari ini masih saja terus tumbuh. Itu faktanya. Mengapa? Prof. Leo Suryadinata (2003) memberi jawaban; Menurutnya sebab musababnya sangat mendasar, yaitu karena Indonesia termasuk kelompok negara pribumi, yang dibedakannya dengan negara imigran seperti Singapura. Lebih jauh dikatakan, dan ini menjadi sebab langsungnya, karena konsep bangsa yang dianut" Indonesia adalah bangsa etnis, bukan bangsa sosial, meski diakui sesungguhnya situasinya lebih kompleks (Leo Suryadinata, 2002).

Paradigma kebangsaan

Kesimpulan tersebut bisa saja benar, meski agak gegabah. Jika kita telaah risalah sidang-sidang BPUPKI dan PPKI, kita temukan bahwa konsep bangsa, yang oleh para pendiri bangsa ini dijadikan sebagai landasan Indonesia merdeka, ternyata jauh dari apa yang disimpulkan Prof Leo tersebut, yakni tidak ada unsur etnisitas. Soekarno, dalam pidatonya di forum BPUPKI, tanggal 1 Juni 1945, menyampaikan landangannya tentang kebangsaan, sambil mengutip dan mengkritik konsep Ernest Renan dan Otto Bauer yang dianggapnya sudah kuno. Menurutnya, bangsa adalah satu persatuan perangai yang timbul karena persatuan nasib. Atau dengan kata lain kesatuan bangsa Indonesia tidaklah bersifat alami, melainkan historis. Artinya, bahwa yang mempersatukan masyarakat di bumi Indonesia adalah sejarah yang dialami bersama, sebuah sejarah penindasau, perjuangan kemerdekaan dan tekad untuk membangun kehidupan bersama. Selanjutnya, dalam konsep kesatuan historis tersebut, Soekarno menambahkan konsep tempat tinggal yang diambil dari ilmu geopolitik, yaitu "bumi yang terdapat di antara ujung Sumatera sampai ke Irian sebagai kesatuan bumi Indonesia." Di atas kesatuan historis dan bumi antara ujung Sumatera sampai Irian atau sekarang Papua itulah Soekarno menganjurkan untuk mendirikan satu Nationale Staat. Dalam konsep Yamin adalah "………segala penduduk tanah Indonesia dengan sendirinya menjadi bangsa Republik Indonesia." Jadi sangat jelas bahwa kebangsaan kita jauh dari unsur etnisitas dan ras.

Dengan demikian, mengenai kata dalam UUD kita bahwa Presiden ialah orang Indonesia asli, yang dirisaukan oleh Prof Leo, pengertiannya bukanlah etnisitas. Orang Indonesia asli adalah semua warga bangsa yang berada di dalam satu ikatan kesatuan historis dan kesatuan tempat tinggal antara ujung Sumatera sampai Papua, atau yang disebut bumi Indonesia; yang secara etinistas di dalamnya ada Jawa, Melayu, Batak, Ambon, Papua, dan lain sebagainya, termasuk Tionghoa, Arab dan lain sebagainya. Lihatlah keangggotaan BPUPKI, di sana juga ada etnis Arab dan Tionghoa. Dari 68 anggota, 4 diantaranya adalah etnis Tionghoa, yakni Liem Khoen Hian, Oei Tjong Hauw, Oey Tiang Tjoei, dan Tan Eng Hoa. Maka tidak salah pandangan almarhum Gus Dur bahwa bangsa Indonesia terdiri dari tiga ras, yakni ras Melayu, ras Tionghoa dan ras Austro-Melanesia. Dengan demikian etnis Tionghoa secara otomatis merupakan bagian integral dalam konsep pribumi, tidak seperti dikonotasikan selama ini sebagai non-pri.

Menurut saya, secara prinsipil pandangan Gus Dur tersebut kurang benar. Harusnya lebih luas dari itu, sebab bagaimana dengan etnis Arab misalnya? Penting dicatat bahwa, penggunaan istilah ras dalam konstruksi sosial, terutama kaitannya dengan konsep bangsa, dapat menimbulkan kesulitan konseptual dan mengandung bahayanya sendiri. Konsep ras pada dasarnya adalah merupakan pengertian biologis (Gill and Gilbert, 1988). Karena itu, bila mengaitkannya dengan konsep bangsa, dalam hal ini bangsa Indonesia, pijakannya harus disandarkan pada konsep kesatuan historis dan tempat tinggal seperti dikemukakan di atas. Dengan demikian, bukan hanya Tionghoa, etnis Arab pun secara otomatis mejadi bagian integral dari konsep orang Indonesia asli dan pribumi.

Akar Etnitisitas dan Rasisme

Selanjutnya, mengapa dalam praktek berbangsa kita tumbuh stigma etnisitas atau pri-nonpri? Sentimen etnisitas, khususnya terhadap etnis Tionghoa, sejatinya lahir dari altar politik kekuasaan yang kemudian menelusup pada kesadaran etnisitas (sebagian) warga bangsa. Karena sifatnya demikian, sentiment tersebut acapkali meledak menjadi konflik sosial. Itulah yang kita saksikan selama ini. Kita dapat melihat fakta ini dalam sejarah perjalanan bangsa kita. Sentiment etnisitas dan konflik-konflik sosial yang melibatkan etnis Tionghoa baru terjadi sejak abad ke-19. Salah satu contoh adalah meledaknya kerusuhan sosial antara pribumi versus Tionghoa di Kudus pada 1918. Sentimem itu semakin kuat setelah Pemerintah Kolonial Belanda, melalui kebijakan hukum tahun 1920 (Artikel 163 ISjIndiesche Staatsregeling) menerapkan politik segregasi, yang membagi penduduk Hindia Belanda (Indonesia) menjadi tiga golongan: Eropa, Vreemde Oosterlingen (Timur Asing), danlnlanders (Pribumi).

Dalam politik segregasi tersebut etnis Tionghoa bersama Arab dan India dikategorikan sebagai Vreemdelingen (orang asing). Padahal orang Tionghoa sudah turun temurun menjadi penghuni bumi Nusantara. Demikian pula orang Arab dan India. Sumber-sumber Cina menyebutkan bahwa bangsa Cina mengenal Jawa sudah sejak awal abad pertama masehi. Orang pertama Tionghoa yang mendarat di tanah Jawi adalah Fa Hian atau She Fa Hian (Denys Lombard, 1996). Menurut catatan Van Hien, ahli Javanologi Belanda, pendeta Buddha tersebut mendarat di Jawa pada 400 tahun sesudah masehi.

Yang penting kita garis bawahi, dalam kebijakan tersebut Pemerintah Kolonial Belanda memperkenalkan konsep dan kategori baru terhadap orang Tionghoa, Arab dan India sebagai "orang asing", kedudukannya nomor dua setelah golongan Eropa, di atas golongan vreemdelingen atau pribumi. Segregasi dan konsep ini, dikalangan masyarakat pribumi kemudian tumbuh pandangan negatif yang bersifat rasia!. Padahal sebelumnya, seperti dicatat Lombard, tidak demikian. Asimilasi kebudayaan Cina dengan kebudayaan-kebudayaan lain di Nusantara selama beratus-ratus tahun sebelumnya berlangsung mulus dan alami. Asimilasi itu berlangsung sedemikian intensif, dan akulturasinya hingga institusi-institusi keagamaan. Sebagai contoh, bedug yang berasal dari Cina, selain di gunakan di kelenteng-kelenteng orang Tionghoa, oleh orang Islam Jawa juga digunakan untuk menandai waktu sholat di masjid-masjid atau musolla. Konon yang memperkenalkanya adalah Laksamana Cheng Ho.

Usaha Asimilasi

Celakanya sentimen tersebut terus tumbuh hingga masa kemerdekaan, bahkan hingga kini. Sebagian pengamat menuding politik kekuasaan sebagai faktor determinannya. Kesimpulan itu benar untuk masa kolonial, tetapi tidak sepenuhnya untuk masa pemerintahan Republik Indonesia. Benar bahwa UU nomor 6 tahun 1946 dan UU nomor 62 tahun 1958 (perubahan) tentang Kewarganegaraan RI, tetap membedakan WNI asli dan WNI keturunan asing. Demikian pula UU nomor 8 tahun 1974 mengenai hal yang sarna, yang berlaku pada masa Orde Baru. Namun tidak berarti bahwa tidak adanya perubahan dari Artikel 163 IS (Indiesche Staatsregeling) yang dituding sebagian pengamat sebagai sumber acuannya.

Dalam UU masa Pemerintahan Republik Indonesia tersebut, sekalipun tetap membedakan antara WNI asli dengan WNI keturunan asing. namun ditegaskan anak cucu dari Tionghoa peranakan sebagai WNI asli. Sedangkan WNI keturunan asing adalah "orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga Negara" (Rancangan UUD Pasal 27 dalam Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI). Yamin menambahkan, mereka yang disebut terakhir diberi hak repudiate (memilih) dan boleh pula memilih cara naturalisasi (Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI). Ini berbeda dengan konsep peng-inlander-an (pribumisasi) bagi keturunan asing dalam Artikel 163 IS, dimana seorang Tionghoa bisa dikategorikan menjadi golongan pribumi jika mereka melakukan oplosing atau peleburan, seperti misalnya masuk Islam atau mengintegrasikan dalam budaya dan adat istiadat pribumi asli. Soekarno sendiri tidak henti-hentinya menegaskan bahwa Tionghoa peranakan adalah suku bangsa Indonesia. Seperti dalam pidatonya di Kongres Baperki 1963, dikatakan bahwa: "bangsa Indonesia terdiri dari pelbagai suku, yaitu suku Jawa, suku Batak, suku Minang ... dan suku peranakan Tionghoa".

Usaha asimilasi yang dilakukan oleh pemerintahan Soekarno maupun Soeharto memang masih mengandung banyak kekurangan. Bahkan sering dirusak sendiri oleh segolongan kelompok tertentu dalam politik kekuasaan untuk mendukung suatu kepentingan politik atau ekonomi tertentu. lnilah yang kita lihat dalam sejarah pemerintahan kita berkaitan dengan peraturan-peraturan pembatasan ruang lingkup usaha perdagangan golongan Tionghoa dibidang transportasi, ekspor¬impor, penggilingan padi dan lain-lain yang terjadi pada dekade 1950-an. Atau PP-10 tahun 1959 yang melarang orang Tionghoa berdagang dan tinggal di daerah pedesaan dan pedalaman.

Pada masa Orde Baru usaha asimilasi itu bahkan teras a dipaksakan. Misalnya kebijakan tentang tempat-tempat yang disediakan untuk anak-anak WNA Cina di sekolah-sekolah nasional sebanyak 40% dan setiap kelas jumlah murid WNI harus lebih banyak daripada murid-murid WNA Cina (Instruksi Presidium Kabinet No. 37/U/IN/6/1967). Kebijakan ini pada sisi yang lain bisa pula dipandang sebagai diskriminasi. Demikian pula mengenai kebijakan tentang ganti nama dengan nama Indonesia (Surat Edaran Presidium Kabinet RI No. SE-06/PresKab/6/1967; dan Keppres No.127 /U /KEP /12/1996), dan Surat Edaran Dirjen Pembinaan Pers dan Grafika No. 02/SE/Ditjen/PP6/K/1988 tentang larangan penerbitan dan pencetakan tulisan/iklan beraksen dan berbahasa Cina, dapat dipandang sebagai culture genocide.

Nasib demikian tidak hanya dialami oleh gologan Tionghoa saja. Dalam bentuk yang lain, masyarakat Bali, Sumatera dan beberapa yang lain, juga merasakan hal yang sarna. Misalnya pada penerapan undang-undang pemerintahan desa, institusi Banjar dan Nagari atau lainnya, diganti dengan Desa, sebuah bentuk aglomerasi pemukiman di area perdesaan Jawa. Kebijakan-kebijakan ini adalah berakar dari politik penyeragaman, yang sesungguhnya meliputi banyak sekali hal, termasuk dalam kehidupan partai politik, seperti kebijakan fusi dan asas tunggal partai. Betapapun saya menghargai argumen yang melatarbelakangi kebijakan-kebijakan tersebut, namun politik penyeragaman itu mengingkari keramagaman yang merupakan fakta sosial dan politik bangsa Indonesia.

Tahun 2006 adalah tonggak perubahan radikal. UU No.12 Tahun 2006 tentang Kewargenegaraan Republik Indonesia mengubah konsep bangs a Indonesia secara revolusioner, dikembalikan sesuai dengan paradigma aslinya, yang dirumuskan dan disepakati oleh para pendiri bangsa ini. Konsep bangsa Indonesia asli dalam undang-undang tersebut dirumuskan sebagai semua orang Indonesia yang menjadi warga negara Indonesia sejak kelahirannya. Paradigmanya tidak lagi ditentukan atas dasar etnis dan ras, melainkan atas dasar status yuridis. Dengan demikian perbedaan antara WNI asli dan WNI keturunan asing tidak ada lagi.

Racial Prejudice

Lahirnya undang-undang tersebut patut kita syukuri, meski persoalannya belum selesai. Politik segregasi pemerintahan kolonial Belanda, yang menjadi asal-usul dan akar rasialime Indonesia, ternyata menyisakan persoalan yang akut. Seperti kita saksikan di masyarakat, sejauh ini stereotype tentang orang Tionghoa masih sangat kuat, yang mengganggu hubungan sosial diantara mereka menjadi tidak harmonis. Stereotipe itu terbentuk berdasarkan suatu pendapat yang sudah ada sebelumnya, yang melekat kuat karena telah terbentuk bertahun-tahun sejak penerapan politik segregasi. Sesungguhnya banyak faktor sosial yang ikut mempengaruhinya, tetapi stereotipe itu lebih banyak berhubungan dengan masalah ekonomi. Masyarakat Tionghoa dalam pandangan umum dinilai lebih kaya. Pandangan demikian secara kolektif menumbuhkan sikap fanatisme dan kecurigaan serta mendorong berkembangnya sentiment sosial yang bersifat laten. Maka berkembanglah racial prejudice. Karena itu permasalah keeil berlingkup individu seringkali meluas ke tingkat kelompok menjadi bersifat primordial. Keadaan ini menjadi lahan subur bagi pihak-pihak yang hendak mendorong pertentangan demi kepentingan politik tertentu sehingga muneul permusuhan dan konflik bersifat SARA.

Lalu, apa yang harus kita lakukan sekarang? Selain harus mengawal UU No.12 Tahun 2006 tersebut beserta seluruh peraturan-peraturan turunannya, hemat saya, kita perlu segera melakukan pembauran besar-besaran. Terutama di bidang pendidikan dan ekonomi. Tujuannya untuk mendorong tumbuhnya interaksi kultural secara massif sehingga asimilasi akan berlangsung mulus dan alami. Hemat saya strategi ini akan berdampak luar biasa, bukan sekedar dibidang sosial saja seperti terwujudnya asimilasi yang meluas, alami dan kokoh. Dibidang ekonomi akan mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi nasional yang dahsyat karena kelompok-kelompok kekuatan ekonomi kita menyatu menjadi kekuatan besar. Dibidang politik, seketika itu pula kita akan terhindar dari aneaman ledakan kerusuhan sosial yang mengancam persatuan bangsa, seperti selama ini sering terjadi. Menurut saya ini adalah tugas konstitusional yang wajib kita laksanakan untuk mewujudkan cita-eita kemerdekaan dan kebangsaan. Mari kita berkomitmen untuk mempelopori.

* Wakil ketua umum PBNU
 
http://www.nu.or.id/page.php 

Rabu, 02 Februari 2011

JELANG SEABAD POLITIK NU; Sumbangan Pemikiran Politik NU “Negara Pancasila ≈ Negara Islam”


Marzukiwahid"Nahdlatul Ulama (NU) adalah sebuah gejala yang unik, bukan hanya di Indonesia tetapi juga di seluruh Dunia Muslim. Ia adalah sebuah organisasi ulama tradisionalis yang memiliki pengikut yang besar jumlahnya, organisasi non-pemerintah paling besar yang masih bertahan dan mengakar di kalangan bawah."
Martin van Bruinessen, 1994.
"....Apa yang dilakukan NU adalah memelihara dan mengembangkan suatu cara hidup keagamaan."
Benedict R. O'G Anderson, 1977.
"Penerimaan dan Pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dari upaya umat Islam Indonesia untuk menjalankan syari'at agamanya."
Deklarasi "Hubungan Islam dan Pancasila", Muktamar NU ke-26 1984
Enam belas tahun lagi-jika dihitung dari tahun 2010, Nahdlatul Ulama (NU) telah memasuki usia satu abad (1926-2026). Suatu usia yang tidak bisa dibilang sekadar tua. Usia ini lebih tua ketimbang usia Indonesia merdeka. Untuk ukuran usia manusia, satu abad bisa dua sampai tiga generasi berganti, mati dan tumbuh. Untuk beberapa organisasi, sebelum memasuki usia satu abad malah telah bubar atau dibubarkan oleh sebab-sebab tertentu, baik karena faktor internal maupun eksternal.
Menjelang satu abad, NU malah tampak gagah, tidak surut malah terus berkembang, tidak patah arang akibat kekalahan-demi-kekalahan dalam politik mutakhir malah terus berkiprah tanpa henti, baik dalam kancah kemasyarakatan maupun kenegaraan. Keberadaannya didukung dengan basis massa yang mengakar kuat hingga ke jantung kehidupan masyarakat dan tersebar ke seluruh pelosok Nusantara dan beberapa negara di mana warga negara Indonesia bertempat tinggal.
Dalam rentang waktu yang panjang ini, tentu saja kita saksikan dinamika, konflik, negosiasi, kontestasi, dan metamorfosa terjadi dalam diri NU, baik dalam konteks pengembangan organisasi maupun dalam hubungannya dengan politik, kekuasaan, negara, ekonomi, dan kebudayaan.  Semua ini telah membentuk pelangi kesejarahan NU yang tidak linier, tidak monolitik, tetapi juga tidak bisa dibilang liar atau ‘oportunis', ‘picik', ‘amatiran', ‘berpengetahuan dangkal', ‘ketinggalan jaman', sebagaimana ‘tuduhan' para peneliti dan pengamat Barat yang modernis. Dalam kajian yang empatik ditemukan bahwa NU memiliki dasar-dasar teologis dan prinsip yang dipegangi kuat dalam menghadapi berbagai situasi politik yang selalu berubah melalui sikap yang konsisten dengan ke(indonesia)an.
Pada momentum emas menjelang seabad ini, NU seharusnya segera menyimpulkan diri; atau paling tidak ada kesimpulan untuk NU atas perjalanan sejarahnya yang mengalir, menyatu dengan semangat zaman dan dinamika Indonesia yang terus berubah. Kucuran darah dan keringat para kyai dan warga NU di masa penjajahan dan selama masa mempertahankan kemerdekaan, serta gagasan-pemikiran tokoh NU dalam meletakkan dasar-dasar kenegaraan-kebangsaan Indonesia dan mengisi kemerdekaan hingga hari ini patutlah diberi makna dan kesimpulan yang jelas, baik secara ideologis, teologis, strategis, maupun praksis.
Enam belas tahun ke depan adalah ‘bab' terakhir untuk kesimpulan perjalanan sejarah NU. Setelah ‘buku' NU seabad disimpulkan, lalu dibubuhi titik, langkah berikutnya NU seharusnya segera merancang rencana lembaran-lembaran sejarah baru dalam ‘buku' seabad berikutnya sebagai bagian dari refleksi-kritis atas seabad yang lalu dan proyeksi ke depan untuk NU yang lebih cerah, ceria, brilyan, dan memastikan Islam Ahlussunnah wal Jama'ah tetap memiliki kapling yang memadai dalam kompleks Indonesia Raya.
Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menyimpulkan satu abad ‘buku' NU itu. Jujur saja, menuliskan NU dalam rentang waktu satu abad bukan pekerjaan yang mudah. Tidak saja karena konten yang harus ditulis sangat melimpah, bervariasi, warna-warni, juga secara metodologi akan menyulitkan membaca NU seabad dan menuliskannya hanya dalam beberapa halaman saja. Oleh karena itu, tulisan ini sekadar catatan umum saja serta refleksi sederhana atas perjalanan sejarah politik NU, khususnya dalam hubungan agama dan negara di Indonesia yang telah melewati aneka masa, beragama generasi, bermacam-macam langgam rezim politik negara; mulai dari masa penjajahan, perjuangan kemerdekaan, Orde Lama, Orde Baru, hingga Orde Reformasi. Kerangka ini pun hanya akan mengambil benang-merah pemikiran besar NU tentang "hubungan agama dan negara" dalam konteks keindonesiaan.
Bagi saya, pemikiran NU tentang "hubungan agama dan negara" merupakan salah satu prestasi NU yang paling monumental dan dapat dibanggakan dalam satu abad pertama perjalanan sejarahnya.
Kita tahu bahwa wacana "hubungan agama dan negara" dalam Islam adalah wacana yang sangat krusial, telah lama memancing debat dan sengketa intelektual, baik dalam pemikiran keislaman klasik maupun dalam kajian politik Islam kontemporer. Di sejumlah negara yang mayoritas muslim, termasuk Indonesia pada tahun 1950an, perdebatan ini tidak saja mengundang konflik antarumat Islam, melainkan menjadi prahara bagi negara. Ratusan bahkan ribuan orang terbunuh akibat perang dalam rangka mempertahankan  ideologi ‘negara Islam' melalui gerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) di Jawa Barat, Jawa Tengah, Aceh, Sulawesi Selatan, dan Kalimantan Selatan. Kecenderungan pemikiran mereka mempertentangkan antara Islam dengan negara non-Islam. Pilihannya hitam-putih: negara Islam atau negara sekular. Negara-negara berpenduduk mayoritas muslim di Timur Tengah adalah contoh hitam-putih ini.
Mencermati sejarah pembentukan negara-bangsa Indonesia, selain karena didorong oleh kepentingan ekonomi dan politik-kekuasaan, "hubungan agama dan negara" adalah inti (akar) konflik kelompok-kelompok Islam dengan negara atau kelompk Islam dengan kelompok agama lain.
NU--di tengah-tengah organisasi Islam lain yang masih memperjuangkan ‘negara Islam' atau ‘khilafah islamiyyah'--melalui evolusi pemikirannya yang panjang sejak perdebatan tentang dasar negara menjelang pendirian negara ini hingga tahun 1984 telah berhasil mendamaikan atau merekonsiliasi secara teologis wujud negara-bangsa demokrasi dengan Islam.

http://www.fahmina.or.id/artikel-a-berita/artikel/829-jelang-seabad-politik-nu-sumbangan-pemikiran-politik-nu-negara-pancasila-negara-islam.html