Kamis, 19 Mei 2011

Membedah Konsep Negara Islam


Oleh : Ali Rif'an
Judul: Chiefdom Madinah: Salah Paham Negara Islam
Penulis: Dr Abdul Aziz MA
Pengantar: Prof Dr M Bambang Pranowo, Prof Dr Achmad Mubarok MA
Penerbit: Alvabet, Jakarta
Tahun: I, Maret 2011
Tebal: xxiv + 398 Halaman
Baru-baru ini, publik Indonesia kembali diguncang dengan kabar pengrekrutan anggota Negara Islam Indonesia (NII) di Malang,  Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Jakarta. Fenomena ini sontak memunculkan keresahan banyak kalangan sekaligus menimbulkan satu pertanyaan mendasar: apa sebenarnya motif mereka?
Ada dua alasan yang sering diberitakan media. Pertama, mereka menganggap sistem pemerintahan Indonesia sudah tidak layak pakai karena tidak mampu menjawab persoalan kebangsaan, seperti kemiskinan dan kesejahteraan. Kedua, sebagai negara berpenduduk mayoritas muslim terbesar di dunia, sudah seharusnya Indonesia memakai konsep negara Islam. Bagi mereka, Islam mempunyai konsep sendiri dalam dunia politik yang sangat "ideal" dan pernah dilakukan oleh Rasulallah SAW.
Karena itu, selain NII, di Indonesia, tiga gerakan resmi yang menginginkan berdirinya negara Islam adalah Hizbu Tahrir Indonesia (HTI), Komite Persiapan Pembentukan Syariat Islam (KPPSI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI). Padahal, secara konseptual, banyak kalangan yang salah paham tentang negara Islam. Konsep khilafah yang pernah dianut umat Islam sepeninggal nabi Muhammad SAW sebetulnya sama dengan kesultanan. Keduanya merupakan bentuk monarki dalam sistem pemerintahan.
Konsep negara Islam, menurut pemikiran ulama klasik semisal Ibnu Abi Rabi' dan Al-Maward adalah konsep kenegaraan yang berbasis monarki seperti khilafah dan kesultanan. Sedangkan bagi intelektual kontemporer Jamaluddin Al-Afghani dan Rashid Rido', konsep kenegaraan adalah konsep negara-bangsa (nation-states).
Berpijak pada pemikiran Al-Afghani dan Rashid Rido', pada masa pemerintahan Rasulullah belum bisa dinyatakan sebagai negara. Sebab, semua sistem pemerintahan dan kepemimpinan masih bertumpu pada Muhammad SAW. Jika zaman Rasulullah disebut-sebut zaman ideal daulah islamiah oleh kelompok Hizbut Tahrir, sebetulnya ketika itu masih proses institusionalisasi kepemimpinan.
Buku berjudul Chiefdom Madinah: Salah Paham Negara Islam besutan Dr Abdul Aziz MA ini ingin membedah bagaimana sebenarnya konsep negara Islam. Sebab, sebagian pemikir dan aktivis politik Islam meyakini bahwa pengorganisasian masyarakat Muslim Arab di Madinah pada masa Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin merupakan wujud Negara Islam. Keyakinan ini tampaknya lebih didasarkan pada pemahaman normatif-ideologis atas sejarah Islam awal. Alhasil, Negara Islam ditempatkan pada posisi yang sakral, bahkan dianggap tipe ideal (ideal type) bentuk negara yang wajib dibangun kembali oleh umat Islam dewasa ini.
Karena itu, menurut Abdul Aziz, kesahihan pemahaman di atas perlu diuji kembali. Sebab, jika di jazirah Arab namanya khilafah, di kawasan lain, seperti Turki dan India saat itu namanya kesultanan. Pasalnya, ulama Islam mencari rujukan pembentukan negara melalui berbagai ijtihad karena meninggalnya Rasulullah mewariskan organisasi umat yang terdiri atas berbagai ras dan suku.
Buku ini diracik dengan menggunakan pendekatan dan metode interpretasi historis-sosiologis. Penulis mampu secara apik menyuguhkan pandangan-pandangan baru sekaligus memaparkan secara proporsional kontribusi Islam bagi pembentukan negara (state formation) pada masa-masa awal. Terdapat tiga pandangan yang menjadi titik kisar dalam kajian buku ini.
Pertama, pandangan yang mewajibkan pendirian negara Islam yang tunduk pada syariat Islam. Jika diruntut, ideologisasi negara Islam berawal dari krisis legitimasi menyangkut kekuasaan imamah (pemimpin) dan kesatuan ummah (rakyat). Sebagai respons terhadap situasi ini, Ibnu Taimiyah tampil sebagai pemikir muslim yang pertama kali menjadikan penegakan syariat Islam sebagai fokus pembahasan fikih politik. Ibnu Taymiyah memandang perlu untuk merumuskan syariat Islam yang murni (hlm. 148).
Kedua, pandangan sekuler dengan memisahkan negara dan agama. Di Timur Tengah, pandangan ini dimotori oleh ulama-ulama kontemporer semisal Jamaluddin Al-Afghani dan Rashid Rido', sementara di Indonesia, tokoh yang santer menyuarakan pandangan ini adalah almarhum Cak Nur (Nurcholish Madjid). Pandangan Cak Nur ini tersirat dalam slogan kontroversialnya, "Islam Yes, Partai Islam No".
Ketiga, pandangan akan internalisasi nilai-nilai Islam dalam bernegara dengan konsep kombinasi nilai-nilai Islam dalam praktek bernegara tanpa menyematkan negara Islam atau negara sekuler. Dalam konteks ini, Islam dan tradisi kultur serta konteks kebangsaan sama-sama berperan. Kesemuanya bisa mengentaskan masyarakat yang semula tak bernegara (stateless) menuju masyarakat dengan sebentuk pranata kekuasaan terpusat, disebut dengan chiefdom.
Di sini, bisa dipahami bahwa dalam proses bernegara sangatlah penting  mengembangkan demokrasi politik dengan landasan nilai-nilai Islam tanpa harus menggaung dengan konsep negara Islam. Sebab, Islam akan tampil pada isinya, bukan kulitnya. Indonesia, dengan konsep Pancasila, sebanarnya sudah mengandung nilai-nila keislaman yang justru sangat substansial dan egaliter.
Buku ini pada awalnya merupakan disertasi doktor Dr Abdul Aziz MA di UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta taun 2010. Melali buku ini, penulis mencoba menguak asal usul munculnya apa yang disebut daulah islamiyah itu. Ditulis berdasarkan data sejarah dan realitas sosial, buku ini seolah mampu merekonstruksi secara halus dengan format teoritik tentang pertautan antara Islam dan pembentukan negara.
Karena itu, sebagaimana dikatakan Prof Dr Komaruddin Hidayat, Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, buku ini sangat kaya dengan inspirasi, aspirasi, dan nilai-nilai bagi pembentukan negara modern.
Peresensi adalah Ali Rif'an, Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Aktif di Pusat Studi Lintas Agama Piramida Circle Jakarta.

http://www.wahidinstitute.org/Resensi/Detail/?id=62/hl=id/Membedah_Konsep_Negara_Islam

Imam Besar Istiqlal: "Tak Ada Perintah Dirikan Negara Islam"

VIVAnews - Imam besar istiqlal Imam Besar KH Mohammad Ali Mustofa Yaqub berpendapat dalam Al Quran dan Hadist tidak ada perintah mendirikan negara Islam. Yang diperintahkan justru bukan pendirian negara Islam.

"Melainkan, menjalankan syariat Islam," kata KH Mohammad Ali Mustofa Yakub dalam perbincangan dengan VIVAnewws.com.

Menurut guru besar Hadist Institut Ilmu-Ilmu al Qur'an (IIQ) Jakarta ini, tidak pernah ada perintah eksplisit untuk pembentukan negara Islam. Maka itu, alumnus Pondok Pesantren Tebu Ireng, Jombang, Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri Jawa Timur, ini mengimbau kepada pihak tertentu agar meluruskan penafsiran Negara Islam Indonesia.

"Bahkan, pada zaman Nabi Muhammad SAW itu hanya disebut jazirah Arab," kata ulama yang menyelesaikan master Jurusan Tafsir Hadist di Universitas King Saud, Riyad, Arab Saudi pada tahun 1985 ini.

Pada zaman Nabi saja, kata Ali, sudah ada sekitar lima agama prioritas. Tidak ada satu agama yang mayoritas. Artinya, sejak zaman Nabi itu sudah ada pluralitas agama.

"Saat itu minimal lima agama. Ada Islam, Nasrani, Yahudi, Zoroaster, dan Majusi," kata peraih gelar doktor diperoleh dari sebuah universitas di India ini.

Ali menekankan, bagi pihak-pihak tertentu untuk menyamakan arti definisi tentang Negara Islam. Apakah itu berarti, negara itu hanya dihuni orang-orang beragama Islam atau menjalankan syariat Islam.

"Hingga kini baru tiga negara yang secara memproklamirkan diri negara Islam yakni, Pakistan, Iran, dan Muritania di Afrika," ujar pendiri Pondok Pesantren Luhur Ilmu Hadis Darus Sunnah, di Ciputat, Banten, ini. (sj)

http://nasional.vivanews.com/news/read/218706--tak-ada-perintah-dirikan-negara-islam-

Mantan Menhan Belanda: Bhinneka Tunggal Ika Dipakai Uni Eropa

Mantan Menhan Belanda: Bhinneka Tunggal Ika Dipakai Uni Eropa
Den Haag – Pendekatan Bhinneka Tunggal Ika itu juga menjadi semboyan Uni Eropa (UE), Unity in Diversity (kesatuan dalam keragaman, red). Hal itu disampaikan oleh mantan Menteri Pertahanan Belanda Dr. Willem Frederik van Eekelen (80 tahun) dalam pidato pembukaan Pasar Malam Indonesia (PMI) 2011 di alun-alun Malieveld, Den Haag, Jumat petang (1/4/2011) waktu setempat.
“Kami masih harus menempuh jalan panjang, tetapi fakta bahwa kami sekarang memiliki Uni Eropa dengan 27 negara anggota itu sudah kontribusi luarbiasa untuk stabilitas dan kemakmuran Eropa,” terang Van Eekelen.
Menyinggung pergolakan yang saat ini terjadi di Timur Tengah dan Afrika Utara, Van Eekelen mengatakan bahwa dasar negara Indonesia yakni Pancasila dapat menjadi model untuk perubahan yang bertanggung jawab.
“Karena mencakup ketuhanan, humanitarianisme, nasionalisme, demokrasi dan keadilan sosial,” tandas doktor ilmu hukum Universitas Utrecht ini.
Van Eekelen adalah Menteri Pertahanan dalam Kabinet Lubbers II (1986-1988). Sebelumnya dia menjabat sebagai Deputi Menteri Pertahanan dalam Kabinet Van Agt (1978-1981).

http://jurnaltoddoppuli.wordpress.com/2011/04/03/mantan-menhan-belanda-bhinneka-tunggal-ika-dipakai-uni-eropa/

Ulama Lebanon Puji Pancasila

 
KAIRO, KOMPAS.com--Ulama Lebanon Syeikh Ali Zainuddin menyatakan kekagumannya atas peran Pancasila dalam mempersatukan bangsa Indonesia yang beragam suku dan agama.
"Filsafat Pancasila sebagai panduan dan pedoman masyarakat sehingga mampu menciptakan kerukunan hidup umat dari berbagai latar belakang suku agama, budaya dan bahasa di Indonesia," kata Syeikh Zainuddin dalam pertemuan dengan Duta Besar RI untuk Lebanon, Dimas Samodra Rum di Shouf, wilayah di sebelah timur Ibu Kota Beirut, Senin.
Syeikh Zainuddin yang juga Ketua Al-Irfan Foundation, salah satu Yayasan Sosial masyarakat Muslim Druz di Lebanon, mengungkapkan bahwa pihaknya mendapat penjelasan tentang Pancasila itu dari beberapa ulama Lebanon yang baru-baru ini berkunjung ke Indonesia, demikian siaran pers Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) untuk Lebabon yang diterima ANTARA Kairo, Senin.
"Saya banyak mendapatkan pelajaran tentang Indonesia dari Syeikh Sami Abil Mona dan Syeikh Sami Abdul Khalik, keduanya utusan komunitas Druz yang berpartisipasi pada Dialog Lintas Agama II di Malang, Indonesia pada Februari 2011 lalu," terang Sheikh Ali Zainuddin.
Sheikh Ali juga berharap agar Lebanon --yang pernah dilanda perang saudara akibat konflik sektarian-- dapat meniru Indonesia dalam menjalankan kehidupan masyarakat dan pemerintahan yang bersatu.
Disebutkan, Indonesia mampu mengedepankan citra Muslim yang ramah, toleran dan sejalan dengan demokrasi, sehingga menjadi modal utama umat Islam dalam mengangkat citra Islam di mata dunia internasional.
Dubes Dimas mengatakan, dalam pertemuan tersebut juga disepakati rencana pengembangan kerja sama antara Indonesia dengan masyarakat Druz melalui pemanfaatan potensi masing-masing.
"KBRI dan Sheikh Syeikh Zainuddin sepakat bahwa potensi masing-masing di bidang ekonomi dan perdagangan dapat dieksplorasi untuk pengembangan kerja sama nyata pada masa depan," ungkap Dubes Dimas Samodra Rum.
Masyarakat Druz bermukim di sepanjang dataran tinggi Shouf yang merupakan tanah pertanian subur. Sebagian besar masyarakatnya merupakan para petani anggur dan pohon Zaitun.
Kedua pihak dapat menjajaki kerja sama di bidang perdagangan dan berbagi pengalaman dan keahlian bercocok-tanam.
Kekaguman Sheikh Ali juga tercermin dari sambutan masyarakat Druz yang menerima kehadiran rombongan KBRI Beirut dengan antusias.
"Saat tiba di salah satu sekolah di wilayah Shouf, para siswa menyambut kami dengan lambaian bendera Indonesia dan Lebanon serta mengumandangkan lagu Indonesia Raya," ungkap Ahmad Syofian, Sekretaris Ketiga Pensosbud KBRI Beirut.
Syofian menjelaskan, pihak sekolah juga menampilkan video tentang aneka daerah pariwisata di Indonesia seperti Bali, Raja Ampat (Papua), Bandung, dan Lombok.
Druz -- dalam bahas Arab Durzi -- adalah sebuah sekte Syiah yang  muncul pada abad 11 Masehi di Irak saat Pemerintahan Islam Syiah, Bani Fathimiyah.
Saat ini masyarakat Druz tersebar di beberapa wilayah termasuk Lebanon, Suriah dan Israel. Druz lebih senang menyebut kelompoknya dengan "Al Muwahhidin", orang-orang yang mengesakan Tuhan.

http://oase.kompas.com/read/2011/05/10/02145026/ulama-lebanon-puji-pancasila