Sabtu, 29 Oktober 2011

Sumpah Pemuda


Sumpah Pemuda merupakan bukti otentik bahwa pada tanggal 28 Oktober 1928 Bangsa Indonesia dilahirkan, oleh karena itu seharusnya seluruh rakyat Indonesia memperingati momentum 28 Oktober sebagai hari lahirnya bangsa Indonesia, proses kelahiran Bangsa Indonesia ini merupakan buah dari perjuangan rakyat yang selama ratusan tahun tertindas dibawah kekuasaan kaum kolonialis pada saat itu, kondisi ketertindasan inilah yang kemudian mendorong para pemuda pada saat itu untuk membulatkan tekad demi mengangkat harkat dan martabat hidup orang Indonesia asli, tekad inilah yang menjadi komitmen perjuangan rakyat Indonesia hingga berhasil mencapai kemerdekaannya 17 tahun kemudian yaitu pada 17 Agustus 1945.
Rumusan Sumpah Pemuda ditulis Moehammad Yamin pada sebuah kertas ketika Mr. Sunario, sebagai utusan kepanduan tengah berpidato pada sesi terakhir kongres. Sumpah tersebut awalnya dibacakan oleh Soegondo dan kemudian dijelaskan panjang-lebar oleh Yamin.


SOEMPAH PEMOEDA
Pertama :
- KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERTOEMPAH DARAH JANG SATOE, TANAH AIR INDONESIA
Kedua :
- KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA, MENGAKOE BERBANGSA JANG SATOE, BANGSA INDONESIA
Ketiga :
- KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGJOENJOENG BAHASA PERSATOEAN, BAHASA INDONESIA
Djakarta, 28 Oktober 1928

Teks Soempah Pemoeda dibacakan pada waktu Kongres Pemoeda yang diadakan di
Waltervreden (sekarang Jakarta) pada tanggal 27 - 28 Oktober 1928 1928.
Panitia Kongres Pemoeda terdiri dari :
Ketua : Soegondo Djojopoespito (PPPI)
Wakil Ketua : R.M. Djoko Marsaid (Jong Java)
Sekretaris : Mohammad Jamin (Jong Sumateranen Bond)
Bendahara : Amir Sjarifuddin (Jong Bataks Bond)
Pembantu I : Djohan Mohammad Tjai (Jong Islamieten Bond)
Pembantu II : R. Katja Soengkana (Pemoeda Indonesia)
Pembantu III : Senduk (Jong Celebes)
Pembantu IV : Johanes Leimena (yong Ambon)
Pembantu V : Rochjani Soe'oed (Pemoeda Kaoem Betawi)
Peserta :
  1. Abdul Muthalib Sangadji
  2. Purnama Wulan
  3. Abdul Rachman
  4. Raden Soeharto
  5. Abu Hanifah
  6. Raden Soekamso
  7. Adnan Kapau Gani
  8. Ramelan
  9. Amir (Dienaren van Indie)
  10. Saerun (Keng Po)
  11. Anta Permana
  12. Sahardjo
  13. Anwari
  14. Sarbini
  15. Arnold Manonutu
  16. Sarmidi Mangunsarkoro
  17. Assaat
  18. Sartono
  19. Bahder Djohan
  20. S.M. Kartosoewirjo
  21. Dali
  22. Setiawan
  23. Darsa
  24. Sigit (Indonesische Studieclub)
  25. Dien Pantouw
  26. Siti Sundari
  27. Djuanda
  28. Sjahpuddin Latif
  29. Dr.Pijper
  30. Sjahrial (Adviseur voor inlandsch Zaken)
  31. Emma Puradiredja
  32. Soejono Djoenoed Poeponegoro
  33. Halim
  34. R.M. Djoko Marsaid
  35. Hamami
  36. Soekamto
  37. Jo Tumbuhan
  38. Soekmono
  39. Joesoepadi
  40. Soekowati (Volksraad)
  41. Jos Masdani
  42. Soemanang
  43. Kadir
  44. Soemarto
  45. Karto Menggolo
  46. Soenario (PAPI & INPO)
  47. Kasman Singodimedjo
  48. Soerjadi
  49. Koentjoro Poerbopranoto
  50. Soewadji Prawirohardjo
  51. Martakusuma
  52. Soewirjo
  53. Masmoen Rasid
  54. Soeworo
  55. Mohammad Ali Hanafiah
  56. Suhara
  57. Mohammad Nazif
  58. Sujono (Volksraad)
  59. Mohammad Roem
  60. Sulaeman
  61. Mohammad Tabrani
  62. Suwarni
  63. Mohammad Tamzil
  64. Tjahija
  65. Muhidin (Pasundan)
  66. Van der Plaas (Pemerintah Belanda)
  67. Mukarno
  68. Wilopo
  69. Muwardi
  70. Wage Rudolf Soepratman
  71. Nona Tumbel
Catatan :
Sebelum pembacaan teks Soempah Pemoeda diperdengarkan lagu"Indonesia Raya"
gubahan W.R. Soepratman dengan gesekan biolanya.
  1. Teks Sumpah Pemuda dibacakan pada tanggal 28 Oktober 1928 bertempat
    di Jalan Kramat Raya nomor 106 Jakarta Pusat sekarang menjadi Museum Sumpah
    Pemuda, pada waktu itu adalah milik dari seorang Tionghoa yang bernama Sie
    Kong Liong.
  2. 2. Golongan Timur Asing Tionghoa yang turut hadir sebagai peninjau
    Kongres Pemuda pada waktu pembacaan teks Sumpah Pemuda ada 4 (empat) orang
    yaitu :
    a. Kwee Thiam Hong
    b. Oey Kay Siang
    c. John Lauw Tjoan Hok
    d. Tjio Djien kwie

Kongres Pemuda Indonesia

Kongres Pemuda kedua

Gagasan penyelenggaraan Kongres Pemuda Kedua berasal dari Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI), sebuah organisasi pemuda yang beranggota pelajar dari seluruh Indonesia. Atas inisiatif PPPI, kongres dilaksanakan di tiga gedung yang berbeda dan dibagi dalam tiga kali rapat.
Rapat pertama, Sabtu, 27 Oktober 1928, di Gedung Katholieke Jongenlingen Bond (KJB), Waterlooplein (sekarang Lapangan Banteng). Dalam sambutannya, ketua PPPI Sugondo Djojopuspito berharap kongres ini dapat memperkuat semangat persatuan dalam sanubari para pemuda. Acara dilanjutkan dengan uraian Moehammad Yamin tentang arti dan hubungan persatuan dengan pemuda. Menurutnya, ada lima faktor yang bisa memperkuat persatuan Indonesia yaitu sejarah, bahasa, hukum adat, pendidikan, dan kemauan
Rapat kedua, Minggu, 28 Oktober 1928, di Gedung Oost-Java Bioscoop, membahas masalah pendidikan. Kedua pembicara, Poernomowoelan dan Sarmidi Mangoensarkoro, berpendapat bahwa anak harus mendapat pendidikan kebangsaan, harus pula ada keseimbangan antara pendidikan di sekolah dan di rumah. Anak juga harus dididik secara demokratis.
Pada rapat penutup, di gedung Indonesische Clubgebouw di Jalan Kramat Raya 106, Sunario menjelaskan pentingnya nasionalisme dan demokrasi selain gerakan kepanduan. Sedangkan Ramelan mengemukakan, gerakan kepanduan tidak bisa dipisahkan dari pergerakan nasional. Gerakan kepanduan sejak dini mendidik anak-anak disiplin dan mandiri, hal-hal yang dibutuhkan dalam perjuangan.
Sebelum kongres ditutup diperdengarkan lagu "Indonesia Raya" karya Wage Rudolf Supratman yang dimainkan dengan biola saja tanpa syair, atas saran Sugondo kepada Supratman. Lagu tersebut disambut dengan sangat meriah oleh peserta kongres. Kongres ditutup dengan mengumumkan rumusan hasil kongres. Oleh para pemuda yang hadir, rumusan itu diucapkan sebagai Sumpah Setia.

Peserta

Para peserta Kongres Pemuda II ini berasal dari berbagai wakil organisasi pemuda yang ada pada waktu itu, seperti Jong Java, Jong Ambon, Jong Celebes, Jong Batak, Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bond, Sekar Rukun, PPPI, Pemuda Kaum Betawi, dll. Di antara mereka hadir pula beberapa orang pemuda Tionghoa sebagai pengamat, yaitu Oey Kay Siang, John Lauw Tjoan Hok dan Tjio Djien Kwie namun sampai saat ini tidak diketahui latar belakang organisasi yang mengutus mereka. Sementara Kwee Thiam Hiong hadir sebagai seorang wakil dari Jong Sumatranen Bond. Diprakarsai oleh AR Baswedan pemuda keturunan arab di Indonesia mengadakan kongres di Semarang dan mengumandangkan Sumpah Pemuda Keturunan Arab.

Sumpah Pemuda Keturunan Arab

Sumpah Pemuda Keturunan Arab adalah sumpah yang dilakukan oleh pemuda-pemuda peranakan Arab di Nusantara yang dilakukan pada tahun 1934. Pada tanggal 4-5 Oktober 1934, para pemuda keturunan Arab di Nusantara melakukan kongres di Semarang. Dalam kongres ini mereka bersepakat untuk mengakui Indonesia sebagai tanah air mereka, karena sebelumnya kalangan keturunan Arab berangapan bahwa tanah air mereka adalah negeri-negeri Arab dan senantiasa berorientasi ke Arab. Kongres pemuda keturunan Arab ini jarang diketahui masyarakat karena tidak diajarkan dalam mata pelajaran sejarah di Indonesia. Padahal, sumpah pemuda keturunan arab ini memiliki konsekuensi yang besar bagi diri mereka sebagai keturunan arab dan bagi dukungan perjuangan kemerdekaan di Indonesia.

Latar belakang

Pemerintah Kolonial Belanda membagi 3 strata masyarakat di Nusantara. Kelas paling atas adalah warga kulit putih (Eropa, Amerika, Jepang dll), kelas dua warga Timur Asing (Arab, India, Cina dll) dan kelas tiga adalah pribumi Indonesia. Orang-orang Arab yang hijrah ke Indonesia mayoritas berasal dari Hadramauth, Yaman Selatan. Orang-orang arab yang datang ke Nusantara itu seluruhnya laki-laki dan karena kendala jarak serta karena tradisi arab (wanita tidak ikut bepergian) maka mereka datang tanpa membawa istri atau saudara wanita. Orang-orang arab itu menikah dengan wanita pribumi. Jika orang Eropa menyebut pribumi dengan istilah inlander (bangsa kuli) keturunan Arab menyebut pribumi dengan istilah ahwal, yang artinya saudara ibu. Sebab memang seluruh keturunan Arab pasti ibunya pribumi.
Pada 1 Agustus 1934, Harian Matahari Semarang memuat tulisan AR Baswedan tentang orang-orang Arab. AR Baswedan adalah peranakan Arab asal Ampel Surabaya. Dalam artikel itu terpampang foto AR Baswedan mengenakan blangkon. Dia mengajak keturunan Arab, seperti dirinya sendiri, menganut asas kewarganegaraan ius soli: di mana saya lahir, di situlah tanah airku. Artikel yang berjudul “Peranakan Arab dan Totoknya” berisi anjuran tentang pengakuan Indonesia sebagai tanah air. Artikel itu juga memuat penjelasan Baswedan tentang bagaimana sikap nasionalisme yang dianjurkan pada kaumnya. Pokok-pokok pikiran itu antara lainb Tanah air Arab peranakan adalah Indonesia; Kultur Arab peranakan adalah kultur Indonesia – Islam; Arab peranakan wajib bekerja untuk tanah air dan masyarakat Indonesia; Perlu didirikan organisasi politik khusus untuk Arab peranakan; Hindari hal-hal yang dapat menimbulkan perselisihan dalam masyarakat Arab; Jauhi kehidupan menyendiri dan sesuaikan dengan keadaan zaman dan masyarakat Indonesia. Artikel AR Baswedan ini dipilih oleh Majalah Tempo edisi khusus Seabad kebangkitan Nasional (Mei 2008) sebagai salah satu dari 100 tulisan paling berpengaruh dalam sejarah bangsa Indonesia.
Artikel yang menggemparkan itu ditulis AR Baswedan saat dia baru berusia 26 tahun. Karena artikel itu, warga keturunan Arab sempat berang padanya karena memunculkan gagasan merendahkan diri di mata orang-orang Arab di masa itu. Bukan hanya itu, melalui harian Matahari AR Baswedan secara rutin melontarkan pemikiran-pemikiran tentang pentingnya integrasi, persatuan orang Arab di Indonesia, untuk bersama-sama bangsa Indonesia yang lain memperjuangkan kemerdekaan bagi Indonesia. Timbulnya ide mendirikan Partai Arab Indonesia berkaitan erat dengan pengajuan prinsip tanah air Indonesia bagi kaum peranakan Arab. Ide mendirikan Partai Arab Indonesia dengan pengakuannya tentang tanah air bagi peranakan Arab dicetuskan dan dikembangkan serta juga diperjuangkan. AR Baswedan juga aktif menyerukan pada orang-orang keturunan Arab agar bersatu membantu perjuangan Indonesia. Untuk itu, AR Baswedan berkeliling ke berbagai kota untuk berpidato dan menyebarkan pandangannya pada kalangan keturunan Arab.

Konferensi Pemuda Keturunan Arab

Pada 4-5 Oktober 1934 para pemuda keturunan Arab dari berbagai kota di Nusantara berkumpul di Semarang. Pada waktu itu masyarakat Arab seluruh Indonesia gempar karena adanya Konferensi Peranakan Arab di Semarang ini. Dalam konferensi PAI di Semarang AR Baswedan pertama-tama mengajukan pertanyaan di mana tanah airnya. Para pemuda yang menghadiri kongres itu mempunyai cita-cita bahwa bangsa Arab Indonesia harus disatukan untuk kemudian berintegrasi penuh ke dalam bangsa Indonesia. Dalam konferensi itu para pemuda Indonesia keturunan Arab membuat sumpah: "Tanah Air kami satu, Indonesia. Dan keturunan Arab harus meninggalkan kehidupan yang menyendiri (isolasi)”. Sumpah ini dikenal dengan Sumpah [Pemuda] Indonesia Keturunan Arab.
Menurut AR Baswedan persatuan adalah modal utama bagi Arab peranakan untuk kemudian bersama-sama kaum pergerakan nasional bersatu melawan penjajah. Sebelumnya kongres itu seluruh keturunan Arab -biarpun mereka yang cerdas dan terkemuka- tidak ada yang mengakui Indonesia sebagai tanah airnya. Mereka berpendapat bahwa tanah airnya adalah di negeri Arab bukan Indonesia. AR Baswedan menjadi pelopor bangkitnya nasionalisme kaum Arab yang awalnya enggan mengakui Indonesia sebagai tanah air. Sejak 4 Oktober 1934 itu keturunan Arab bersatu bersama pergerakan nasional dan meninggalkan identitas ke-Araban, lalu berubah identitas dari semangat kearaban menjadi semangat keIndonesiaan.
Sebuah pengakuan yang jelas bagi keturunan Arab bahwa tanah airnya adalah Indonesia. Ketegasan ini pada awalnya banyak yang menentang. Namun perlahan seruan Kongres ini menggema. Banyak peranakan Arab yang mendukung dan mengikuti pergerakan dan gagasan ini. Gagasan sangat berjasa melahirkan kesadaran Indonesia sebagai tanah air bagi orang Arab. Peranakan Arab pada akhirnya diakui sebagai saudara setanah air. Sejarah mencatat pendirian PAI ini selanjutnya memberi efek besar bagi komunitas Arab di Indonesia. Banyak tokoh-tokohnya ikut berjuang saat itu duduk dalam pemerintahan dan aktif dalam masyarakat Indonesia. Anak dan keturunannya di masa sekarang juga tidak sedikit yang berkiprah sebagai tokoh nasional.

Isi sumpah

Sumpah Pemuda Keturunan Arab memiliki 3 butir pernyataan yaitu:
  1. Tanah Air Peranakan Arab adalah Indonesia.
  2. Peranakan Arab harus meninggalkan kehidupan menyendiri (mengisolasi diri)
  3. Peranakan Arab memenuhi kewajibannya terhadap tanah-air dan bangsa Indonesia.

Tokoh-tokoh

Sumpah Pemuda Keturunan Arab ini dihadiri oleh tokoh-tokoh pemuda keturunan Arab. Hasil konferensi itu adalah dibentuknya Persatuan Arab Indonesia yang kemudian menjadi Partai Arab Indonesia. Dalam konferensi itu disepakati pengurusan PAI sebagai berikut: AR Baswedan (Ketua), Nuh Alkaf (Penulis I), Salim Maskati (Penulis II), Segaf Assegaf (Bendahara), Abdurrahim Argubi (Komisaris). Tokoh PAI lainnya adalah Hamid Algadri, Ahmad Bahaswan, HMA Alatas, HA Jailani, Hasan Argubi, Hasan Bahmid, A. Bayasut, Syechan Shahab, Husin Bafagih, Ali Assegaf, Ali Basyaib, dll.

Sumber :
http://sumpahpemuda.org/
http://id.wikipedia.org/wiki/Sumpah_Pemuda
http://id.wikipedia.org/wiki/Sumpah_Pemuda_Keturunan_Arab

Sabtu, 15 Oktober 2011

PERANG 10 NOVEMBER 1945 DAN PERAN RESOLUSI JIHAD


Latar Belakang
Bung Tomo
Peristiwa 10 November 1945 merupakan tonggak sejarah yang sangat penting bagi berdirinya bangsa Indonesia. Momentum tersebut dapat dilihat bagaimana semangat nasionalisme mendapatkan makna yang cukup mendalam dalam paradigma agama, nasionalisme Indonesia bukanlah dipahami sebagai faham dan ideologi yang berada di luar wilayah agama (Islam) namun menjadi sebuah bagian dari kewajiban beragama yang harus diperjuangkan. Kerangka pemikiran tersebut merupakan dasar bagi seluruh umat beragama terutama Islam dalam menjaga Pancasila dan UUD ’45.
Kemerdekaan Indonesia yang diproklamirkan 17 Agustus 1945 merupakan tantangan Sekutu yang saat itu berkuasa setelah Jepang menyerah, datang dengan diboncengi Belanda dengan tujuan mengambil alih kekuasaan Indonesia yang dianggap wilayah jajahan Jepang yang secara otomatis dikuasai oleh Sekutu sebagai pemenang perang. Pasukan sekutu mendarat di Jakarta pada September 1945 dibawah pimpinan Let.Jend Sir Philip Christison dengan kekuatan 3 divisi: Divisi May.Jend Hawthorn menguasai Jawa Barat, Divisi May.Jend Mansergh menguasai Jawa Timur dan Divisi May.Jend -Chambers menguasai Sumatera, Adapun Brig. Jend A.W.S.Mallaby yang mendarat di Surabaya merupakan bagian pimpinan Mayjen D.C Hawthorn. Ketiga divisi itu bertugas mengambil alih kekuasaan Indonesia dari Jepang. Pada 25 Oktober 1945, 6.000 tentara Inggris tiba di Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya dipimpin Brigadir Jenderal Mallaby.




Surabaya merupakan kota Industri terbesar saat itu, kota pelabuhan tersebut merupakan pusat pergerakan dan berkumpulnya santri Nahdlatul Ulama (NU). Di kota ini juga para pemuda pesantren yang dekat dengan para kiai membentuk perkumpulan yang bernama Syubbanul Wathon, Pemuda Tanah Air. Kelak setelah NU berdiri organisasi para pemuda pesantren ini berganti nama menjadi Ansor Nahdlatoel Oelama (ANO) dan menyatu dalam  pasukan Hizbullah di bawah komando para kiai yang berada di garda depan perjuangan.
Perobekan Bendera
Para pemuda Surabaya, selain taat beragama terkenal radikal dalam menghadapi Belanda, saat mendengar rencana kedatangan Belanda dan Sekutu dengan persenjataan modernnya berbagai organisasi pemuda yang sebelumnya terpencar kemudian bersatu. Kekerasan awal kali terjadi pada 19 September 1945, ketika dikibarkan bendera Belanda di Hotel Yamato (Sekarang Hotel Majapahit). Para pemuda Surabaya yang mudah terbakar darahnya kemudian merobek warna biru bendera Belanda dan berkibarlah Sang Merah Putih. Sehari setelah peristiwa perobekan bendera itu terjadi arak-arakan bergerak keliling kota tanpa menghiraukan peringatan tentara Jepang yang melarang membawa bambu runcing dan senjata lainnya.


Pertemuan Soekarno dan K.H Hasyim Asyari
K.H Hasyim Asy'ari
Mendekati kedatangan Sekutu dan Belanda di Surabaya, Presiden Soekarno menemui K.H Hasyim Asy’ari. Dalam pertemuan bersejarah di Pondok Pesantren Tebu Ireng, kedua pemimpin tersebut membahas situasi politik terkait kedatangan Pasukan Sekutu dibawah Komando Inggris. “Kiai, dipundi Inggris datang niku (dalam bahasa jawa artinya: Kiai, bagaimana tentang kedatangan Inggris itu?), gimana umat Islam menyikapinya? “tanya Soekarno. Mendapat pertanyaan tersebut, Hasyim Asy’ari menjawab dengan tegas. “Lho Bung, umat Islam jihad fisabilillah untuk NKRI, ini Perintah Perang!” menjawab sekaligus bersedia memenuhi permintaan bantuan Soekarno menghadapi ancaman pasukan Sekutu. Soekarno meminta Hasyim Asy’ari dan warga pesantren untuk tidak segan-segan dalam bertempur.

Kiai Wahab Chasbullah
Hasyim Asy’ari kemudian memanggil Kiai Wahab Chasbullah, Kiai Bisri Syamsuri dan para kiai lainnya untuk mengumpulkan para kiai se-Jawa dan Madura berkumpul di Surabaya untuk segera mengadakan rapat darurat, dipimpin Kiai Wahab Chasbullah. Pada 23 Oktober, Hasyim Asy’ari mendeklarasikan seruan jihad fi sabilillah yang terkenal dengan istilah Resolusi Jihad. Segera setelah itu, pesantren-pesantren di Jawa dan Madura menjadi markas pasukan non regular Hizbullah dan Sabilillah dan tinggal menunggu komando. Pengajian-pengajian telah berubah menjadi pelatihan menggunakan senjata. Pada kondisi ini pesantren-pesantren didatangi para pejuang dari berbagai kalangan untuk meminta kesaktian para kiai untuk menghadapi pasukan Belanda dan Sekutu dengan persenjataan beratnya. Ribuan kiai dan santri dari Jawa dan Madura mulai bergerak ke Surabaya.
Soekarno menemui K.H Hasyim Asy’ari karena pengaruhnya yang sangat besar di kalangan umat Islam. Selain itu, pasukan PETA yang terbentuk saat itu semua komandan batalyonnya adalah ulama, diantaranya Panglima Divisi Suropati yaitu Kiai Imam Sujai, Divisi Ranggalawe Panglimanya Jatikusumo, di Jawa Barat komandan resimennya Kiai Haji Noor Ali. Pilihan Soekarno menemui K.H Hasyim Asy’ari tepat, karena mampu menggerakkan umat Islam saat itu. Dampak perangnya pun luar biasa, pertempuran Surabaya bagaikan neraka bagi pasukan Sekutu. Orang bisa mati-matian berperang karena perintah jihad tadi. Sehingga, hari Pahlawan 10 November tidak bisa dilepaskan dari Resolusi Jihad NU.


Resolusi Jihad
Seruan jihad melawan sekutu yang dikeluarkan Hasyim Asy’ari dikenal sebagai Resolusi Jihad, yaitu perintah untuk segera meneriakkan perang suci melawan penjajah yang ingin berkuasa kembali, dan disambut rakyat dengan semangat berapi-api. Meletuslah peristiwa 10 November. Para kiai dan pendekar tua membentuk barisan pasukan non reguler Sabilillah yang dikomandani oleh KH. Maskur. Para santri dan pemuda berjuang dalam barisan pasukan Hisbullah yang dipimpin oleh H. Zainul Arifin. Sementara para kiai sepuh berada di barisan Mujahidin dipimpin oleh KH. Wahab Hasbullah. Disamping itu, Hasyim Asy’ari meminta Bung Tomo supaya teriak Allahu Akbar.!!” untuk menggerakkan para pemuda, jasa utama Bung Tomo saat itu sebagai orator perang.
Ada tiga poin penting dalam Resolusi Jihad itu. Pertama, setiap muslim baik tua dan muda, miskin sekalipun wajib memerangi orang kafir yang merintangi kemerdekaan Indonesia. Kedua, pejuang yang mati dalam perang kemerdekaan layak disebut syuhada. Ketiga, warga Indonesia yang memihak penjajah dianggap sebagai pemecah belah persatuan nasional, maka harus dihukum mati. Jadi, umat Islam wajib hukumnya membela tanah air. Bahkan, haram hukumnya untuk mundur. Berikut ini kutipan resolusi jihad tersebut; 
  1. Kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 wajib dipertahankan;
  2. RI sebagai satu-satunya pemerintahan yang sah harus dijaga dan ditolong;
  3. Musuh RI ialah Belanda yang kembali ke Indonesia dengan bantuan tentara Sekutu;
  4. Umat Islam harus mengangkat senjata melawan Belanda dan tentara Sekutu yang ingin menjajah Indonesia kembali; dan
  5. Perang suci wajib bagi setiap muslim yang tinggal dalam radius 94 kilometer, bantuan material bagi yang berada di luar radius tersebut
pidato Bung Tomo
Fatwa jihad tersebut kemudian digelorakan Bung Tomo lewat radio untuk membakar semangat, ribuan kiai dan santri dari berbagai daerah segera menuju Surabaya. Fatwa K.H Hasyim Asy’ari ditulis 17 September 1945 kemudian dijadikan keputusan NU pada 22 November dan diperkuat pada muktamar ke-16 di Purwekorto, 26-29 Maret 1946. Dalam pidatonya, ia menyatakan bahwa “…tidak akan tercapai kemuliaan Islam dan kebangkitan syariatnya di dalam negeri-negeri jajahan,” tegasnya. Atau dalam bahasa lain, syariat Islam tidak akan bisa dilaksanakan di negeri yang terjajah.


Tewas Jenderal Sekutu 
Mallaby dan pasukannya berada dalam posisi sulit, setiap gerakannya menjadi pusat perhatian warga yang tampak semakin gelisah. Awalnya, mereka disambut baik karena bertugas mengungsikan tentara Jepang. Namun keadaan berubah, ketika warga menyaksikan kotak senjata yang jatuh berantakan di rel kereta api berisi senjata api yang sebelumnya mengaku bahwa kotak-kotak itu berisi bahan makanan. Pada 27 Oktober, ketika selebaran disebarkan dari udara berisi perintah agar rakyat Indonesia segera menyerahkan senjata apa pun dalam tempo 48 jam segera memicu kemarahan.
Pertempuran besar tak terhindarkan antara 6 ribu pasukan Inggris dengan 120 ribu pemuda Indonesia yang terdiri dari para santri dan tentara. Akibat kalah jumlah, Mallaby meminta bantuan Hawthorn agar pihak Indonesia menghetikan pertempuran. Hawthorn meminta Soekarno agar mau membujuk panglima-panglimanya di Surabaya menghentikan pertempuran. Terjepitnya pasukan sekutu itu digambarkan dalam buku Donnison “The Fighting Cock” sebagai “Narrowly escape complete destraction” alias hampir musnah seluruhnya”, kalau tidak dihentikan Soekarno-Hatta dan Amir Syarifuddin.
Brig.Jen Mallaby
Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Muhammad Hatta pun akhirnya datang dari Jakarta untuk berunding dengan Mallaby. Pertempuran agak mereda. Namun tidak lama setelah rombongan Sukarno kembali ke Jakarta, pada 30 Oktober pukul 17.00, pertempuran kembali berlangsung. Tempat terakhir yang digempur adalah Gedung Bank Internatio di Jembatan Merah yang masih dikuasai Inggris. Mallaby menjadi sasaran utama. Dia ditusuk dengan bayonet dan bambu runcing oleh para pemuda yang tidak tahan lagi melihat penjajah kembali berkeliaran. Para pengawalnya lari tunggang langkang. Mallabi tewas.
Panglima AFNEI Letjen Philip Sir Christison mengirim pasukan Divisi ke-5 dibawah Komando May.Jen E.C Mansergh, jenderal yang terkenal karena kemenangannya dalam Perang Dunia II di Afrika saat melawan Jenderal Rommel. Mansergh membawa 15 ribu tentara, dibantu 6 ribu personel brigade 45 The Fighting Cock dengan persenjataan serba canggih, termasuk menggunakan tank Sherman, 25 ponders, 37 howitser, kapal Perang HMS Sussex dibantu 4 kapal perang destroyer, dan 12 kapal terbang jenis Mosquito.
Dengan mesin pembunuhnya itu, Mansergh mengultimatum rakyat Surabaya untuk bertekuk lutut alias menyerah, yang berarti mengakui Indonesia belum merdeka. Ultimatum Sekutu itu pun tak digubris sehingga terjadilah pertempuran 10 November 1945 dengan korban yang tidak sedikit.. Semangat dan tekad untuk merdeka itu merupakan semangat yang dipupuk melalui Resolusi Jihad NU yang digagas para ulama NU Surabaya. Dampak perlawanan tersebut tidak pernah terpikir oleh Sekutu yang mengultimatum agar seluruh pemuda dan pasukan bersenjata bertekuk lutut. Tapi yang terjadi justru sebaliknya.
bersenjata bambu runcing
Perlawanan Indonesia berlangsung dalam 2 tahap, pertama pengorbanan diri secara fanatik dengan orang-orang yang hanya bersenjatakan pisau-pisau belati menyerang tank-tank Sherman kemudian dengan cara yang lebih terorganisir dan lebih efektif, mengikuti dengan cermat buku-buku petunjuk militer Jepang. Pertempuran berlangsung dengan ganas selama tiga minggu. Akhir November 1945 seluruh kota telah jatuh ke tangan sekutu, namun semangat perlawanan oleh para pejuang Indonesia yang masih hidup tak bisa dipadamkan. Para santri, dan tentara mengikuti ribuan pengungsi yang melarikan diri meninggalkan Surabaya dan kemudian mereka membuat garis pertahanan baru mulai dari Mojokerto di Barat hingga ke arah Sidoarjo di Timur. Beberapa versi menyebut, korban dari RI mencapai 20 ribu bahkan ada yang menyebut 30 ribu jiwa.

laskar hizbullah
Sedemikian dahsyat perlawanan umat Islam, para kiai pesantren berada di medan pertempuran menghadapi tank, pesawat tempur, dan peluru-peluru mematikan. Di sudut pertempuran, salah seorang komandan pasukan India Zia-ul-Haq yang belakangan menjadi Presiden Republik Islam Pakistan tertegun melihat para kiai dan santri sedang bertakbir dan berdoa sambil mengacungkan senjata. Ia tidak tahan menyaksikannya kemudian menjauhi medan perang, keputusan tersebut segera menyebabkan pasukan Inggris kocar-kacir. Sejak awal, sebagian besar pasukan Inggris merupakan serdadu India. Semangat nasionalisme Indonesia yang semakin meningkat disertai tuntutan untuk tidak menindas perjuangan sesama bangsa Asia telah muncul sehingga para serdadu India bertempur setengah hati. Selain itu, peringatan dari Gubernur Inggris di tanah jajahan India akan mengerahkan semakin banyak pasukan-pasukan India untuk menyerang Indonesia sedangkan keadaan di India sendiri semakin gawat.
Perang terus berkecamuk, jihad terus berlangsung. Belanda yang sebelumnya membonceng tentara Sekutu terus melancarkan agresi-agresi militernya. Pihak Inggris sebenarnya tidak senang dengan cara-cara yang ditempuh oleh Belanda. Pada Desember 1945, pemerintah Inggris mendesak Belanda mengambil sikap yang lebih luwes terhadap RI. Pada 1946 diplomat Inggris, Sir Archibald Clark Kerr mengusahakan tercapainya persetujuan Linggarjati antara RI dengan Belanda. Persetujuan ditandatangani namun Belanda melanggar dengan melancarkan agresi militer. Menjelang akhir 1946, komando Inggris di Asia Tenggara dibubarkan, sejak itu peran asing yang kemudian terlibat menggantikan Inggris adalah Amerika Serikat.


sumber : http://rumahgurubangsa.blogspot.com/2011/06/perang-10-november-1945-dan-peran.html

Selasa, 04 Oktober 2011

Membicarakan Marhaenisme Dan Relevansinya Untuk Situasi Sekarang

Oleh : Rudi Hartono Soekarno
Di bulan September 1958, Bung Karno telah menjawab klaim marhaenis di kalangan para pendukungnya. Dalam pidatonya di istana negara itu, Bung Karno mengatakan bahwa marhaenisme adalah marxisme yang diselenggarakan, dicocokkan, dilaksanakan di Indonesia.
Pidato itu adalah sebuah penegasan, setidaknya kepada kader-kader marhaen yang masih komunisto-phobia, bahwa marhaenisme adalah marxisme. Segera setelah itu, muncul penentangan dari dalam kubu Partai Nasionalis Indonesia (PNI) sendiri, terutama dari kubu Ketua Umum PNI, Osa Maliki. Kata Osa Maliki, “Marhaenisme berlawanan dengan Marxisme”.
Tetapi Soekarno tidak hanya sekali mengatakan bahwa Marhaenisme adalah Marxisme yang diterapkan di Indonesia. Itu dikatakannya berkali-kali, bahkan semakin diperlengkap dan disistematisir. Misalnya, pada tahun 1936 ketika berpidato di hadapan Front Marhaenis, Bung Karno mengatakan bahwa untuk memahami Marhaenisme, maka kita harus menguasai dua pengetahuan: (1) pengetahuan tentang situasi dan kondisi Indonesia, dan (2) pengetahuan tentang marxisme.
Soekarno mengakui bahwa dirinya sangat dipengaruhi oleh ajaran Karl Marx, terutama tentang materialisme-historisnya. Dan, pada saat itu, Soekarno jelas-jelas menyebut Marhaenisme sebagai penerapan materialis-historisnya Karl Marx dalam kekhususan masyarakat Indonesia.
Dalam Dictionary of the Modern Politics of South-East Asia (1995), karya Michael Laifer, disebutkan bahwa marhaenisme adalah salah satu varian dari marxisme. Mungkin bisa disejajarkan dengan Maoisme, José Carlos Mariátegui, Sosial demokrat, Leninisme, dan lain sebagainya.
>>>
Bung Karno mulai mengelaborasi gagasan-gagasan yang membentuk marhaenisme pada tahun 1920-an. Untuk mengerti gagasan-gagasan tersebut, tentu kita kita harus melihat kembali konteks saat itu. Pada saat itu, ada tiga gagasan besar yang mempengaruhi gerakan pembebasan nasional Indonesia: marxisme, nasionalisme dari bangsa tertindas, dan Islamisme yang anti-kolonial.
Sejarahwan Soviet yang juga penulis Biografi Soekarno, Kapitsa MS dan Maletin NP, menyebut gagasan Marhaenisme Soekarno itu sebagai ajaran yang eklektis, yang secara keseluruhan mengandung sifat-sifat subjektif dan idealis.
Alasannya, kata kedua sejarahwan Soviet itu, karena Soekarno mencampurkan ke dalam ajaran marhaenisme itu beberapa ajaran2 sosialisme borjuis kecil, khususnya sosialisme islam dan ide-ide tradisional, yang sejalan dengan gagasannya tentang demokrasi dan anti-imperalisme.
Pada awalnya, Soekarno agak berhati-hati dengan materialisme, karena anggapannya materialisme itu anti-tuhan. Tetapi, setelah beberapa saat kemudian, Soekarno sudah membedakan antara meterialisme-historis Marx dan materialism-nya Feurbach. “Materialisme itu adalah macam-macam, ada yang anti Tuhan, tetapi bukan Historis Materialisme. Yang anti Tuhan itu materialisme lain, misalnya materialisme-nya Feuerbach: Filosofis Materialisme, Wijsgerig Materialisme,” kata Soekarno.
Kata ”Marhaen” sendiri merujuk kepada nama seorang petani kecil yang ditemui Soekarno. Marhaenisme, jika kita lihat dari urian Bung Karno di tulisan ”Marhaen dan Proletar”, adalah sebuah analisa terhadap klas-klas sosial dalam relasi produksi mayarakat Indonesia.
Kenapa menggunakan istilah Marhaen, bukan proletar? Karena, menurut Soekarno, keadaan eropa tidak sama dengan keadaan di Indonesia. Di Eropa, kapitalisme yang berkembang adalah ’kepabrikan’, sedangkan di Indonesia adalah pertanian; di eropa kapitalisme bersifat zuivere industrie (murni industri), sedangkan di Indonesia 75% bersifat onderming gula, onderneming teh, onderneming tembakau, onderneming karet, onderneming kina, dan lain sebagainya.
Soekarno lalu menyimpulkan:
    ”Bahwa di sana kapitalisme itu terutama sekali kaum proletar 100%, sedangkan di sini terutama sekali menghasilkan kaum tani melarat yang papa dan sengsara? Bahwa di sana memang benar mati-hidupnya kapitalisme itu ada di genggaman kaum proletar, tetapi di sini sebagian besar ada di dalam genggaman kaum tani? Bahwa dus sepantasnya di sana kaum proletar menjadi ”pembawa panji-panji”, tetapi di sini belum tentu harus juga begitu?”
Ada yang mengatakan, Soekarno seorang eklektik karena mengutamakan borjuis kecil dalam revolusinya. Saya rasa tidak begitu. Soekarno, dalam tulisan ’Marhaen dan Proletar”, memberikan penghargaan kepada kaum buruh sebagai—meminjam istilah Soekarno: ”menjadi pemanggul panji-panji revolusi sosial”.
Ia dengan terang membedakan antara karakter klas kaum tani dan kaum buruh. Menurutnya, kaum tani umumnya masih hidup satu kaki di dalam ideologi feodalisme, hidup dalam angan-angan mistik yang melayang-layang di atas awang-awang, dengan pergaulan hidup dan cara produksi yang masih kuno. Sedangkan Proletar, di mata Soekarno, sudah mengenal pabrik, mesin, listrik dan cara produksi kapitalisme. ”Mereka langsung menggenggam hidup-matinya kapitalisme di dalam tangan mereka, lebih direct mempunyai gevechtswaarde anti-kapitalisme,” kata Soekarno.
>>>
Kenapa Marhaenisme tidak berkembang setelah Bung Karno tiada?
Sudah jelas, marhaenisme tidak bisa dipisahkan dari ajaran marxisme. Akan tetapi, ketika Soekarno menegaskan hal itu, sebagian pengikutnya di dalam PNI menyatakan penentangan keras. Padahal, seharusnya PNI inilah yang menjadi kendaraan operasional dan pengembangan ideologi Soekarno itu.
Pemisahan terhadap Marhaenisme dan Marxisme makin kentara ketika Soeharto berkuasa. Kita tahu, selepas Soeharto melakukan kudeta terhadap Soekarno, orang-orang kiri, yang tidak lain penganut marxisme atau terpengaruh marxisme, dikejar-kejar dan dibasmi dengan kejam. Orang pun lantas takut dituding penganut marxisme.
Jadi, ajaran marhaenisme pasca bung Karno adalah marhaenisme tanpa marxisme. Karena landasan teorinya dihilangkan, maka marhaenisme pun mengalami kebangkrutan sebagai teori perjuangan.
Apakah marhaenisme masih relevan untuk sekarang ini?
Menurut saya, marhaenisme, sebagai marxisme yang dipraktekkan di Indonesia, adalah sebuah teori ilmiah yang menentang dogmatisme. Soekarno tidak mau mengcopy-paste begitu saja marxisme dari Eropa untuk diterapkan di Indonesia.
Inilah pula yang dilakukan oleh Lenin dalam konteks Rusia, Mao dalam situasi Tiongkok, atau José Carlos Mariátegui di Peru.
Dengan penentangan yang kuat terhadap dogmatisme, maka marhaenisme semestinya bisa berkembang menjadi teori perjuangan yang canggih dan sesuai dengan nafas perkembangan jaman.
Sebagaimana marxisme sebagai the guiding theory untuk menjalankan perjuangan, maka Marhaenispun adalah the guiding theory untuk perjuangan rakyat Indonesia. Soekarno sendiri berkata:
    ” Jangan sekali lagi engkau terima Marhaenisme itu sekedar teori, tidak, Guide to action, dan engkau harus act, engkau harus berjuang dan bertindak. Saudara-saudara, tujuannya sudah jelas, tujuan kita sudah jelas, yaitu masyarakat adil dan makmur didalam Indonesia merdeka yang merdeka betul. Kerangka Revolusi yang ketiga : Indonesia merdeka, berbentuk negara Republik Indonesia, kesatuan, berwilayah kekuasaan dari Sabang sampai ke Merauke. Itu harus kita laksanakan dengan action, dengan action, dengan perbuatan, dengan amal. Masyarakat yang adil dan makmur, masyarakat Sosialisme Indonesia, –aku selalu berkata, tanpa exploitation de l’homme par l’homme.”
Juga, karena penekanan marhaenisme pada ”pemilik produksi kecil”, maka ia menjadi sangat relavan untuk menjawab kekhususan karakter kapitalisme Indonesia dalam alam neoliberal saat ini. Perkembangan ini ditandai dengan melonjaknya sektor informal akibat de-industrialisasi. Sekarang ini pertumbuhan sektor informal yang sekarang ini mencapai 70% dari angkatan kerja. Ini meliputi keseluruhan sektor perdagangan kecil (asongan, PKL, calo, dll), Industri pengolahan kecil (industri rumah tangga, kerajinan, dan lain-lain), dan pertanian (petani menengah, miskin, dan gurem).
Saya sendiri berkesimpulan, bahwa sangat sulit berbicara gerakan perubahan atau semacam revolusi di Indonesia tanpa memperhitungkan peranan “pemilik produksi kecil” ini.


http://berdikarionline.com/opini/20110808/membicarakan-marhaenisme-dan-relevansinya-untuk-situasi-sekarang.html