Sabtu, 15 Oktober 2011

PERANG 10 NOVEMBER 1945 DAN PERAN RESOLUSI JIHAD


Latar Belakang
Bung Tomo
Peristiwa 10 November 1945 merupakan tonggak sejarah yang sangat penting bagi berdirinya bangsa Indonesia. Momentum tersebut dapat dilihat bagaimana semangat nasionalisme mendapatkan makna yang cukup mendalam dalam paradigma agama, nasionalisme Indonesia bukanlah dipahami sebagai faham dan ideologi yang berada di luar wilayah agama (Islam) namun menjadi sebuah bagian dari kewajiban beragama yang harus diperjuangkan. Kerangka pemikiran tersebut merupakan dasar bagi seluruh umat beragama terutama Islam dalam menjaga Pancasila dan UUD ’45.
Kemerdekaan Indonesia yang diproklamirkan 17 Agustus 1945 merupakan tantangan Sekutu yang saat itu berkuasa setelah Jepang menyerah, datang dengan diboncengi Belanda dengan tujuan mengambil alih kekuasaan Indonesia yang dianggap wilayah jajahan Jepang yang secara otomatis dikuasai oleh Sekutu sebagai pemenang perang. Pasukan sekutu mendarat di Jakarta pada September 1945 dibawah pimpinan Let.Jend Sir Philip Christison dengan kekuatan 3 divisi: Divisi May.Jend Hawthorn menguasai Jawa Barat, Divisi May.Jend Mansergh menguasai Jawa Timur dan Divisi May.Jend -Chambers menguasai Sumatera, Adapun Brig. Jend A.W.S.Mallaby yang mendarat di Surabaya merupakan bagian pimpinan Mayjen D.C Hawthorn. Ketiga divisi itu bertugas mengambil alih kekuasaan Indonesia dari Jepang. Pada 25 Oktober 1945, 6.000 tentara Inggris tiba di Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya dipimpin Brigadir Jenderal Mallaby.




Surabaya merupakan kota Industri terbesar saat itu, kota pelabuhan tersebut merupakan pusat pergerakan dan berkumpulnya santri Nahdlatul Ulama (NU). Di kota ini juga para pemuda pesantren yang dekat dengan para kiai membentuk perkumpulan yang bernama Syubbanul Wathon, Pemuda Tanah Air. Kelak setelah NU berdiri organisasi para pemuda pesantren ini berganti nama menjadi Ansor Nahdlatoel Oelama (ANO) dan menyatu dalam  pasukan Hizbullah di bawah komando para kiai yang berada di garda depan perjuangan.
Perobekan Bendera
Para pemuda Surabaya, selain taat beragama terkenal radikal dalam menghadapi Belanda, saat mendengar rencana kedatangan Belanda dan Sekutu dengan persenjataan modernnya berbagai organisasi pemuda yang sebelumnya terpencar kemudian bersatu. Kekerasan awal kali terjadi pada 19 September 1945, ketika dikibarkan bendera Belanda di Hotel Yamato (Sekarang Hotel Majapahit). Para pemuda Surabaya yang mudah terbakar darahnya kemudian merobek warna biru bendera Belanda dan berkibarlah Sang Merah Putih. Sehari setelah peristiwa perobekan bendera itu terjadi arak-arakan bergerak keliling kota tanpa menghiraukan peringatan tentara Jepang yang melarang membawa bambu runcing dan senjata lainnya.


Pertemuan Soekarno dan K.H Hasyim Asyari
K.H Hasyim Asy'ari
Mendekati kedatangan Sekutu dan Belanda di Surabaya, Presiden Soekarno menemui K.H Hasyim Asy’ari. Dalam pertemuan bersejarah di Pondok Pesantren Tebu Ireng, kedua pemimpin tersebut membahas situasi politik terkait kedatangan Pasukan Sekutu dibawah Komando Inggris. “Kiai, dipundi Inggris datang niku (dalam bahasa jawa artinya: Kiai, bagaimana tentang kedatangan Inggris itu?), gimana umat Islam menyikapinya? “tanya Soekarno. Mendapat pertanyaan tersebut, Hasyim Asy’ari menjawab dengan tegas. “Lho Bung, umat Islam jihad fisabilillah untuk NKRI, ini Perintah Perang!” menjawab sekaligus bersedia memenuhi permintaan bantuan Soekarno menghadapi ancaman pasukan Sekutu. Soekarno meminta Hasyim Asy’ari dan warga pesantren untuk tidak segan-segan dalam bertempur.

Kiai Wahab Chasbullah
Hasyim Asy’ari kemudian memanggil Kiai Wahab Chasbullah, Kiai Bisri Syamsuri dan para kiai lainnya untuk mengumpulkan para kiai se-Jawa dan Madura berkumpul di Surabaya untuk segera mengadakan rapat darurat, dipimpin Kiai Wahab Chasbullah. Pada 23 Oktober, Hasyim Asy’ari mendeklarasikan seruan jihad fi sabilillah yang terkenal dengan istilah Resolusi Jihad. Segera setelah itu, pesantren-pesantren di Jawa dan Madura menjadi markas pasukan non regular Hizbullah dan Sabilillah dan tinggal menunggu komando. Pengajian-pengajian telah berubah menjadi pelatihan menggunakan senjata. Pada kondisi ini pesantren-pesantren didatangi para pejuang dari berbagai kalangan untuk meminta kesaktian para kiai untuk menghadapi pasukan Belanda dan Sekutu dengan persenjataan beratnya. Ribuan kiai dan santri dari Jawa dan Madura mulai bergerak ke Surabaya.
Soekarno menemui K.H Hasyim Asy’ari karena pengaruhnya yang sangat besar di kalangan umat Islam. Selain itu, pasukan PETA yang terbentuk saat itu semua komandan batalyonnya adalah ulama, diantaranya Panglima Divisi Suropati yaitu Kiai Imam Sujai, Divisi Ranggalawe Panglimanya Jatikusumo, di Jawa Barat komandan resimennya Kiai Haji Noor Ali. Pilihan Soekarno menemui K.H Hasyim Asy’ari tepat, karena mampu menggerakkan umat Islam saat itu. Dampak perangnya pun luar biasa, pertempuran Surabaya bagaikan neraka bagi pasukan Sekutu. Orang bisa mati-matian berperang karena perintah jihad tadi. Sehingga, hari Pahlawan 10 November tidak bisa dilepaskan dari Resolusi Jihad NU.


Resolusi Jihad
Seruan jihad melawan sekutu yang dikeluarkan Hasyim Asy’ari dikenal sebagai Resolusi Jihad, yaitu perintah untuk segera meneriakkan perang suci melawan penjajah yang ingin berkuasa kembali, dan disambut rakyat dengan semangat berapi-api. Meletuslah peristiwa 10 November. Para kiai dan pendekar tua membentuk barisan pasukan non reguler Sabilillah yang dikomandani oleh KH. Maskur. Para santri dan pemuda berjuang dalam barisan pasukan Hisbullah yang dipimpin oleh H. Zainul Arifin. Sementara para kiai sepuh berada di barisan Mujahidin dipimpin oleh KH. Wahab Hasbullah. Disamping itu, Hasyim Asy’ari meminta Bung Tomo supaya teriak Allahu Akbar.!!” untuk menggerakkan para pemuda, jasa utama Bung Tomo saat itu sebagai orator perang.
Ada tiga poin penting dalam Resolusi Jihad itu. Pertama, setiap muslim baik tua dan muda, miskin sekalipun wajib memerangi orang kafir yang merintangi kemerdekaan Indonesia. Kedua, pejuang yang mati dalam perang kemerdekaan layak disebut syuhada. Ketiga, warga Indonesia yang memihak penjajah dianggap sebagai pemecah belah persatuan nasional, maka harus dihukum mati. Jadi, umat Islam wajib hukumnya membela tanah air. Bahkan, haram hukumnya untuk mundur. Berikut ini kutipan resolusi jihad tersebut; 
  1. Kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 wajib dipertahankan;
  2. RI sebagai satu-satunya pemerintahan yang sah harus dijaga dan ditolong;
  3. Musuh RI ialah Belanda yang kembali ke Indonesia dengan bantuan tentara Sekutu;
  4. Umat Islam harus mengangkat senjata melawan Belanda dan tentara Sekutu yang ingin menjajah Indonesia kembali; dan
  5. Perang suci wajib bagi setiap muslim yang tinggal dalam radius 94 kilometer, bantuan material bagi yang berada di luar radius tersebut
pidato Bung Tomo
Fatwa jihad tersebut kemudian digelorakan Bung Tomo lewat radio untuk membakar semangat, ribuan kiai dan santri dari berbagai daerah segera menuju Surabaya. Fatwa K.H Hasyim Asy’ari ditulis 17 September 1945 kemudian dijadikan keputusan NU pada 22 November dan diperkuat pada muktamar ke-16 di Purwekorto, 26-29 Maret 1946. Dalam pidatonya, ia menyatakan bahwa “…tidak akan tercapai kemuliaan Islam dan kebangkitan syariatnya di dalam negeri-negeri jajahan,” tegasnya. Atau dalam bahasa lain, syariat Islam tidak akan bisa dilaksanakan di negeri yang terjajah.


Tewas Jenderal Sekutu 
Mallaby dan pasukannya berada dalam posisi sulit, setiap gerakannya menjadi pusat perhatian warga yang tampak semakin gelisah. Awalnya, mereka disambut baik karena bertugas mengungsikan tentara Jepang. Namun keadaan berubah, ketika warga menyaksikan kotak senjata yang jatuh berantakan di rel kereta api berisi senjata api yang sebelumnya mengaku bahwa kotak-kotak itu berisi bahan makanan. Pada 27 Oktober, ketika selebaran disebarkan dari udara berisi perintah agar rakyat Indonesia segera menyerahkan senjata apa pun dalam tempo 48 jam segera memicu kemarahan.
Pertempuran besar tak terhindarkan antara 6 ribu pasukan Inggris dengan 120 ribu pemuda Indonesia yang terdiri dari para santri dan tentara. Akibat kalah jumlah, Mallaby meminta bantuan Hawthorn agar pihak Indonesia menghetikan pertempuran. Hawthorn meminta Soekarno agar mau membujuk panglima-panglimanya di Surabaya menghentikan pertempuran. Terjepitnya pasukan sekutu itu digambarkan dalam buku Donnison “The Fighting Cock” sebagai “Narrowly escape complete destraction” alias hampir musnah seluruhnya”, kalau tidak dihentikan Soekarno-Hatta dan Amir Syarifuddin.
Brig.Jen Mallaby
Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Muhammad Hatta pun akhirnya datang dari Jakarta untuk berunding dengan Mallaby. Pertempuran agak mereda. Namun tidak lama setelah rombongan Sukarno kembali ke Jakarta, pada 30 Oktober pukul 17.00, pertempuran kembali berlangsung. Tempat terakhir yang digempur adalah Gedung Bank Internatio di Jembatan Merah yang masih dikuasai Inggris. Mallaby menjadi sasaran utama. Dia ditusuk dengan bayonet dan bambu runcing oleh para pemuda yang tidak tahan lagi melihat penjajah kembali berkeliaran. Para pengawalnya lari tunggang langkang. Mallabi tewas.
Panglima AFNEI Letjen Philip Sir Christison mengirim pasukan Divisi ke-5 dibawah Komando May.Jen E.C Mansergh, jenderal yang terkenal karena kemenangannya dalam Perang Dunia II di Afrika saat melawan Jenderal Rommel. Mansergh membawa 15 ribu tentara, dibantu 6 ribu personel brigade 45 The Fighting Cock dengan persenjataan serba canggih, termasuk menggunakan tank Sherman, 25 ponders, 37 howitser, kapal Perang HMS Sussex dibantu 4 kapal perang destroyer, dan 12 kapal terbang jenis Mosquito.
Dengan mesin pembunuhnya itu, Mansergh mengultimatum rakyat Surabaya untuk bertekuk lutut alias menyerah, yang berarti mengakui Indonesia belum merdeka. Ultimatum Sekutu itu pun tak digubris sehingga terjadilah pertempuran 10 November 1945 dengan korban yang tidak sedikit.. Semangat dan tekad untuk merdeka itu merupakan semangat yang dipupuk melalui Resolusi Jihad NU yang digagas para ulama NU Surabaya. Dampak perlawanan tersebut tidak pernah terpikir oleh Sekutu yang mengultimatum agar seluruh pemuda dan pasukan bersenjata bertekuk lutut. Tapi yang terjadi justru sebaliknya.
bersenjata bambu runcing
Perlawanan Indonesia berlangsung dalam 2 tahap, pertama pengorbanan diri secara fanatik dengan orang-orang yang hanya bersenjatakan pisau-pisau belati menyerang tank-tank Sherman kemudian dengan cara yang lebih terorganisir dan lebih efektif, mengikuti dengan cermat buku-buku petunjuk militer Jepang. Pertempuran berlangsung dengan ganas selama tiga minggu. Akhir November 1945 seluruh kota telah jatuh ke tangan sekutu, namun semangat perlawanan oleh para pejuang Indonesia yang masih hidup tak bisa dipadamkan. Para santri, dan tentara mengikuti ribuan pengungsi yang melarikan diri meninggalkan Surabaya dan kemudian mereka membuat garis pertahanan baru mulai dari Mojokerto di Barat hingga ke arah Sidoarjo di Timur. Beberapa versi menyebut, korban dari RI mencapai 20 ribu bahkan ada yang menyebut 30 ribu jiwa.

laskar hizbullah
Sedemikian dahsyat perlawanan umat Islam, para kiai pesantren berada di medan pertempuran menghadapi tank, pesawat tempur, dan peluru-peluru mematikan. Di sudut pertempuran, salah seorang komandan pasukan India Zia-ul-Haq yang belakangan menjadi Presiden Republik Islam Pakistan tertegun melihat para kiai dan santri sedang bertakbir dan berdoa sambil mengacungkan senjata. Ia tidak tahan menyaksikannya kemudian menjauhi medan perang, keputusan tersebut segera menyebabkan pasukan Inggris kocar-kacir. Sejak awal, sebagian besar pasukan Inggris merupakan serdadu India. Semangat nasionalisme Indonesia yang semakin meningkat disertai tuntutan untuk tidak menindas perjuangan sesama bangsa Asia telah muncul sehingga para serdadu India bertempur setengah hati. Selain itu, peringatan dari Gubernur Inggris di tanah jajahan India akan mengerahkan semakin banyak pasukan-pasukan India untuk menyerang Indonesia sedangkan keadaan di India sendiri semakin gawat.
Perang terus berkecamuk, jihad terus berlangsung. Belanda yang sebelumnya membonceng tentara Sekutu terus melancarkan agresi-agresi militernya. Pihak Inggris sebenarnya tidak senang dengan cara-cara yang ditempuh oleh Belanda. Pada Desember 1945, pemerintah Inggris mendesak Belanda mengambil sikap yang lebih luwes terhadap RI. Pada 1946 diplomat Inggris, Sir Archibald Clark Kerr mengusahakan tercapainya persetujuan Linggarjati antara RI dengan Belanda. Persetujuan ditandatangani namun Belanda melanggar dengan melancarkan agresi militer. Menjelang akhir 1946, komando Inggris di Asia Tenggara dibubarkan, sejak itu peran asing yang kemudian terlibat menggantikan Inggris adalah Amerika Serikat.


sumber : http://rumahgurubangsa.blogspot.com/2011/06/perang-10-november-1945-dan-peran.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar