Minggu, 13 Februari 2011

Tionghoa dalam Negara Pancasila



Oleh: As'ad Said Ali

Setengah abad lebih kita merdeka, namun hingga kini isu hubungan pribumi-etnis Tionghoa belum kunjung selesai. Prasangka negatif, utamanya dari pihak pribumi, atau mungkin keduanya, sampai hari ini masih saja terus tumbuh. Itu faktanya. Mengapa? Prof. Leo Suryadinata (2003) memberi jawaban; Menurutnya sebab musababnya sangat mendasar, yaitu karena Indonesia termasuk kelompok negara pribumi, yang dibedakannya dengan negara imigran seperti Singapura. Lebih jauh dikatakan, dan ini menjadi sebab langsungnya, karena konsep bangsa yang dianut" Indonesia adalah bangsa etnis, bukan bangsa sosial, meski diakui sesungguhnya situasinya lebih kompleks (Leo Suryadinata, 2002).

Paradigma kebangsaan

Kesimpulan tersebut bisa saja benar, meski agak gegabah. Jika kita telaah risalah sidang-sidang BPUPKI dan PPKI, kita temukan bahwa konsep bangsa, yang oleh para pendiri bangsa ini dijadikan sebagai landasan Indonesia merdeka, ternyata jauh dari apa yang disimpulkan Prof Leo tersebut, yakni tidak ada unsur etnisitas. Soekarno, dalam pidatonya di forum BPUPKI, tanggal 1 Juni 1945, menyampaikan landangannya tentang kebangsaan, sambil mengutip dan mengkritik konsep Ernest Renan dan Otto Bauer yang dianggapnya sudah kuno. Menurutnya, bangsa adalah satu persatuan perangai yang timbul karena persatuan nasib. Atau dengan kata lain kesatuan bangsa Indonesia tidaklah bersifat alami, melainkan historis. Artinya, bahwa yang mempersatukan masyarakat di bumi Indonesia adalah sejarah yang dialami bersama, sebuah sejarah penindasau, perjuangan kemerdekaan dan tekad untuk membangun kehidupan bersama. Selanjutnya, dalam konsep kesatuan historis tersebut, Soekarno menambahkan konsep tempat tinggal yang diambil dari ilmu geopolitik, yaitu "bumi yang terdapat di antara ujung Sumatera sampai ke Irian sebagai kesatuan bumi Indonesia." Di atas kesatuan historis dan bumi antara ujung Sumatera sampai Irian atau sekarang Papua itulah Soekarno menganjurkan untuk mendirikan satu Nationale Staat. Dalam konsep Yamin adalah "………segala penduduk tanah Indonesia dengan sendirinya menjadi bangsa Republik Indonesia." Jadi sangat jelas bahwa kebangsaan kita jauh dari unsur etnisitas dan ras.

Dengan demikian, mengenai kata dalam UUD kita bahwa Presiden ialah orang Indonesia asli, yang dirisaukan oleh Prof Leo, pengertiannya bukanlah etnisitas. Orang Indonesia asli adalah semua warga bangsa yang berada di dalam satu ikatan kesatuan historis dan kesatuan tempat tinggal antara ujung Sumatera sampai Papua, atau yang disebut bumi Indonesia; yang secara etinistas di dalamnya ada Jawa, Melayu, Batak, Ambon, Papua, dan lain sebagainya, termasuk Tionghoa, Arab dan lain sebagainya. Lihatlah keangggotaan BPUPKI, di sana juga ada etnis Arab dan Tionghoa. Dari 68 anggota, 4 diantaranya adalah etnis Tionghoa, yakni Liem Khoen Hian, Oei Tjong Hauw, Oey Tiang Tjoei, dan Tan Eng Hoa. Maka tidak salah pandangan almarhum Gus Dur bahwa bangsa Indonesia terdiri dari tiga ras, yakni ras Melayu, ras Tionghoa dan ras Austro-Melanesia. Dengan demikian etnis Tionghoa secara otomatis merupakan bagian integral dalam konsep pribumi, tidak seperti dikonotasikan selama ini sebagai non-pri.

Menurut saya, secara prinsipil pandangan Gus Dur tersebut kurang benar. Harusnya lebih luas dari itu, sebab bagaimana dengan etnis Arab misalnya? Penting dicatat bahwa, penggunaan istilah ras dalam konstruksi sosial, terutama kaitannya dengan konsep bangsa, dapat menimbulkan kesulitan konseptual dan mengandung bahayanya sendiri. Konsep ras pada dasarnya adalah merupakan pengertian biologis (Gill and Gilbert, 1988). Karena itu, bila mengaitkannya dengan konsep bangsa, dalam hal ini bangsa Indonesia, pijakannya harus disandarkan pada konsep kesatuan historis dan tempat tinggal seperti dikemukakan di atas. Dengan demikian, bukan hanya Tionghoa, etnis Arab pun secara otomatis mejadi bagian integral dari konsep orang Indonesia asli dan pribumi.

Akar Etnitisitas dan Rasisme

Selanjutnya, mengapa dalam praktek berbangsa kita tumbuh stigma etnisitas atau pri-nonpri? Sentimen etnisitas, khususnya terhadap etnis Tionghoa, sejatinya lahir dari altar politik kekuasaan yang kemudian menelusup pada kesadaran etnisitas (sebagian) warga bangsa. Karena sifatnya demikian, sentiment tersebut acapkali meledak menjadi konflik sosial. Itulah yang kita saksikan selama ini. Kita dapat melihat fakta ini dalam sejarah perjalanan bangsa kita. Sentiment etnisitas dan konflik-konflik sosial yang melibatkan etnis Tionghoa baru terjadi sejak abad ke-19. Salah satu contoh adalah meledaknya kerusuhan sosial antara pribumi versus Tionghoa di Kudus pada 1918. Sentimem itu semakin kuat setelah Pemerintah Kolonial Belanda, melalui kebijakan hukum tahun 1920 (Artikel 163 ISjIndiesche Staatsregeling) menerapkan politik segregasi, yang membagi penduduk Hindia Belanda (Indonesia) menjadi tiga golongan: Eropa, Vreemde Oosterlingen (Timur Asing), danlnlanders (Pribumi).

Dalam politik segregasi tersebut etnis Tionghoa bersama Arab dan India dikategorikan sebagai Vreemdelingen (orang asing). Padahal orang Tionghoa sudah turun temurun menjadi penghuni bumi Nusantara. Demikian pula orang Arab dan India. Sumber-sumber Cina menyebutkan bahwa bangsa Cina mengenal Jawa sudah sejak awal abad pertama masehi. Orang pertama Tionghoa yang mendarat di tanah Jawi adalah Fa Hian atau She Fa Hian (Denys Lombard, 1996). Menurut catatan Van Hien, ahli Javanologi Belanda, pendeta Buddha tersebut mendarat di Jawa pada 400 tahun sesudah masehi.

Yang penting kita garis bawahi, dalam kebijakan tersebut Pemerintah Kolonial Belanda memperkenalkan konsep dan kategori baru terhadap orang Tionghoa, Arab dan India sebagai "orang asing", kedudukannya nomor dua setelah golongan Eropa, di atas golongan vreemdelingen atau pribumi. Segregasi dan konsep ini, dikalangan masyarakat pribumi kemudian tumbuh pandangan negatif yang bersifat rasia!. Padahal sebelumnya, seperti dicatat Lombard, tidak demikian. Asimilasi kebudayaan Cina dengan kebudayaan-kebudayaan lain di Nusantara selama beratus-ratus tahun sebelumnya berlangsung mulus dan alami. Asimilasi itu berlangsung sedemikian intensif, dan akulturasinya hingga institusi-institusi keagamaan. Sebagai contoh, bedug yang berasal dari Cina, selain di gunakan di kelenteng-kelenteng orang Tionghoa, oleh orang Islam Jawa juga digunakan untuk menandai waktu sholat di masjid-masjid atau musolla. Konon yang memperkenalkanya adalah Laksamana Cheng Ho.

Usaha Asimilasi

Celakanya sentimen tersebut terus tumbuh hingga masa kemerdekaan, bahkan hingga kini. Sebagian pengamat menuding politik kekuasaan sebagai faktor determinannya. Kesimpulan itu benar untuk masa kolonial, tetapi tidak sepenuhnya untuk masa pemerintahan Republik Indonesia. Benar bahwa UU nomor 6 tahun 1946 dan UU nomor 62 tahun 1958 (perubahan) tentang Kewarganegaraan RI, tetap membedakan WNI asli dan WNI keturunan asing. Demikian pula UU nomor 8 tahun 1974 mengenai hal yang sarna, yang berlaku pada masa Orde Baru. Namun tidak berarti bahwa tidak adanya perubahan dari Artikel 163 IS (Indiesche Staatsregeling) yang dituding sebagian pengamat sebagai sumber acuannya.

Dalam UU masa Pemerintahan Republik Indonesia tersebut, sekalipun tetap membedakan antara WNI asli dengan WNI keturunan asing. namun ditegaskan anak cucu dari Tionghoa peranakan sebagai WNI asli. Sedangkan WNI keturunan asing adalah "orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga Negara" (Rancangan UUD Pasal 27 dalam Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI). Yamin menambahkan, mereka yang disebut terakhir diberi hak repudiate (memilih) dan boleh pula memilih cara naturalisasi (Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI). Ini berbeda dengan konsep peng-inlander-an (pribumisasi) bagi keturunan asing dalam Artikel 163 IS, dimana seorang Tionghoa bisa dikategorikan menjadi golongan pribumi jika mereka melakukan oplosing atau peleburan, seperti misalnya masuk Islam atau mengintegrasikan dalam budaya dan adat istiadat pribumi asli. Soekarno sendiri tidak henti-hentinya menegaskan bahwa Tionghoa peranakan adalah suku bangsa Indonesia. Seperti dalam pidatonya di Kongres Baperki 1963, dikatakan bahwa: "bangsa Indonesia terdiri dari pelbagai suku, yaitu suku Jawa, suku Batak, suku Minang ... dan suku peranakan Tionghoa".

Usaha asimilasi yang dilakukan oleh pemerintahan Soekarno maupun Soeharto memang masih mengandung banyak kekurangan. Bahkan sering dirusak sendiri oleh segolongan kelompok tertentu dalam politik kekuasaan untuk mendukung suatu kepentingan politik atau ekonomi tertentu. lnilah yang kita lihat dalam sejarah pemerintahan kita berkaitan dengan peraturan-peraturan pembatasan ruang lingkup usaha perdagangan golongan Tionghoa dibidang transportasi, ekspor¬impor, penggilingan padi dan lain-lain yang terjadi pada dekade 1950-an. Atau PP-10 tahun 1959 yang melarang orang Tionghoa berdagang dan tinggal di daerah pedesaan dan pedalaman.

Pada masa Orde Baru usaha asimilasi itu bahkan teras a dipaksakan. Misalnya kebijakan tentang tempat-tempat yang disediakan untuk anak-anak WNA Cina di sekolah-sekolah nasional sebanyak 40% dan setiap kelas jumlah murid WNI harus lebih banyak daripada murid-murid WNA Cina (Instruksi Presidium Kabinet No. 37/U/IN/6/1967). Kebijakan ini pada sisi yang lain bisa pula dipandang sebagai diskriminasi. Demikian pula mengenai kebijakan tentang ganti nama dengan nama Indonesia (Surat Edaran Presidium Kabinet RI No. SE-06/PresKab/6/1967; dan Keppres No.127 /U /KEP /12/1996), dan Surat Edaran Dirjen Pembinaan Pers dan Grafika No. 02/SE/Ditjen/PP6/K/1988 tentang larangan penerbitan dan pencetakan tulisan/iklan beraksen dan berbahasa Cina, dapat dipandang sebagai culture genocide.

Nasib demikian tidak hanya dialami oleh gologan Tionghoa saja. Dalam bentuk yang lain, masyarakat Bali, Sumatera dan beberapa yang lain, juga merasakan hal yang sarna. Misalnya pada penerapan undang-undang pemerintahan desa, institusi Banjar dan Nagari atau lainnya, diganti dengan Desa, sebuah bentuk aglomerasi pemukiman di area perdesaan Jawa. Kebijakan-kebijakan ini adalah berakar dari politik penyeragaman, yang sesungguhnya meliputi banyak sekali hal, termasuk dalam kehidupan partai politik, seperti kebijakan fusi dan asas tunggal partai. Betapapun saya menghargai argumen yang melatarbelakangi kebijakan-kebijakan tersebut, namun politik penyeragaman itu mengingkari keramagaman yang merupakan fakta sosial dan politik bangsa Indonesia.

Tahun 2006 adalah tonggak perubahan radikal. UU No.12 Tahun 2006 tentang Kewargenegaraan Republik Indonesia mengubah konsep bangs a Indonesia secara revolusioner, dikembalikan sesuai dengan paradigma aslinya, yang dirumuskan dan disepakati oleh para pendiri bangsa ini. Konsep bangsa Indonesia asli dalam undang-undang tersebut dirumuskan sebagai semua orang Indonesia yang menjadi warga negara Indonesia sejak kelahirannya. Paradigmanya tidak lagi ditentukan atas dasar etnis dan ras, melainkan atas dasar status yuridis. Dengan demikian perbedaan antara WNI asli dan WNI keturunan asing tidak ada lagi.

Racial Prejudice

Lahirnya undang-undang tersebut patut kita syukuri, meski persoalannya belum selesai. Politik segregasi pemerintahan kolonial Belanda, yang menjadi asal-usul dan akar rasialime Indonesia, ternyata menyisakan persoalan yang akut. Seperti kita saksikan di masyarakat, sejauh ini stereotype tentang orang Tionghoa masih sangat kuat, yang mengganggu hubungan sosial diantara mereka menjadi tidak harmonis. Stereotipe itu terbentuk berdasarkan suatu pendapat yang sudah ada sebelumnya, yang melekat kuat karena telah terbentuk bertahun-tahun sejak penerapan politik segregasi. Sesungguhnya banyak faktor sosial yang ikut mempengaruhinya, tetapi stereotipe itu lebih banyak berhubungan dengan masalah ekonomi. Masyarakat Tionghoa dalam pandangan umum dinilai lebih kaya. Pandangan demikian secara kolektif menumbuhkan sikap fanatisme dan kecurigaan serta mendorong berkembangnya sentiment sosial yang bersifat laten. Maka berkembanglah racial prejudice. Karena itu permasalah keeil berlingkup individu seringkali meluas ke tingkat kelompok menjadi bersifat primordial. Keadaan ini menjadi lahan subur bagi pihak-pihak yang hendak mendorong pertentangan demi kepentingan politik tertentu sehingga muneul permusuhan dan konflik bersifat SARA.

Lalu, apa yang harus kita lakukan sekarang? Selain harus mengawal UU No.12 Tahun 2006 tersebut beserta seluruh peraturan-peraturan turunannya, hemat saya, kita perlu segera melakukan pembauran besar-besaran. Terutama di bidang pendidikan dan ekonomi. Tujuannya untuk mendorong tumbuhnya interaksi kultural secara massif sehingga asimilasi akan berlangsung mulus dan alami. Hemat saya strategi ini akan berdampak luar biasa, bukan sekedar dibidang sosial saja seperti terwujudnya asimilasi yang meluas, alami dan kokoh. Dibidang ekonomi akan mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi nasional yang dahsyat karena kelompok-kelompok kekuatan ekonomi kita menyatu menjadi kekuatan besar. Dibidang politik, seketika itu pula kita akan terhindar dari aneaman ledakan kerusuhan sosial yang mengancam persatuan bangsa, seperti selama ini sering terjadi. Menurut saya ini adalah tugas konstitusional yang wajib kita laksanakan untuk mewujudkan cita-eita kemerdekaan dan kebangsaan. Mari kita berkomitmen untuk mempelopori.

* Wakil ketua umum PBNU
 
http://www.nu.or.id/page.php 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar