Globalisasi saat ini sudah merupakan keyakinan (dogma) yang kuat bahwa keberhasilan ekonomi di satu negara akan berimbas di negara lain, begitu pula sebaliknya. Inti arah globalisasi adalah mencapai kesejahteraan dunia tanpa kecuali tanpa ada pembedaan lagi negara kaya, miskin, negara maju dan berkembang.
Untuk tujuan pencapaian itu, negara berkembang termasuk Indonesia berusaha mematuhi dan melaksanakan konsensus tersebut bukan hanya di bidang perdagangan internasional tetapi juga dalam sektor lainnya seperti ketertiban dan keamanan serta penegakan hukum (kamtibgakkum). Namun dalam praktik globalisasi selama tiga puluh tahun, terbukti terjadi ketimpangan kesejahteraan antara negara maju dan berkembang dan dampak yang sangat memprihatinkan di mana kelompok the have semakin bertambah kaya dan the have notsemakin miskin.
Perilaku Hipokrit
Kesenjangan kehidupan sosial dan ekonomi inilah yang juga menjadi keprihatinan Stiglitz (2003), seorang ahli ekonomi internasional, yang menyatakan kesenjangan tersebut sebagai akibat sikap hipokrit negara maju terhadap negara berkembang.Negara maju, dengan berbagai alasan, telah menolak ekspor negara berkembang ke negaranya sehingga negara berkembang mengalami hambatan untuk memperoleh dan meningkatkan devisa ke negaranya.
Perilaku hipokrit negara maju juga telah memasuki bidang kamtibgakkum melalui berbagai prosedur dalam pembentukan perundang-undangan nasional di negara berkembang termasuk di Indonesia.Masih kuat dalam ingatan kita ketika awal reformasi 1998, IMF telah “memaksakan” pemberlakuan UU Kepailitan dalam versi IMF dan mencabut UU Kepailitan warisan pemerintah kolonial Belanda. Maksud sesungguhnya adalah agar investor asing menanamkan modalnya di Indonesia dengan aman dan nyaman tanpa ada kekhawatiran dicurangi oleh pengusaha pribumi. Maksud ini sudah tentu tidak mengemuka akan tetapi dibungkus dengan jargon untuk menciptakan iklim investasi yang sehat dan bebas KKN.
Kenyataannya, sangat sedikit perusahaan asing yang dinyatakan pailit dengan UU tersebut dibandingkan dengan perusahaan nasional swasta. Di bidang kamtibgakkum, pengaruh negara maju juga tidak kalah agresifnya dengan pertimbanganbahwa secara geopolitik,Indonesia merupakan negara yang memiliki posisi strategis dalam turut mencitptakan kamtibgakkum di wilayah Asia-Pasifik. Saat ini sudah ada lebih dari 128 instrumen internasional berkaitan dengan penegakan hukum pidana internasional; baik yang telah diadopsi dan diratifikasi negara anggota PBB termasuk Indonesia.
Instrumen internasional yang bersifat strategis sampai saat ini adalah: Konvensi PBB Anti-Narkotika dan Psikotropika (1988); Konvensi PBB Anti-Pencucian Uang (1990); Konvensi PBB Anti-Terorisme (1997 dan 1998); Konvensi PBB Menentang Tindak Pidana Transnasional Terorganisasi (2000), dan Konvensi PBB Anti-Korupsi (2003). Selain itu, berbagai instrumen internasional dalam bentuk “soft law”telah ditetapkan oleh DK PBB untuk mencegah dan memberantas tindak pidana tersebut di atas, terutama terhadap tindak pidana terorisme.
Dalam menyikapi semua konvensi itu setiap negara berpegang kepada prinsip kedaulatan negara (state’s sovereignty) yaitu prinsip kesetaraan (equality of states), kesatuan teritorial (territorial integrity), dan prinsip intervensi. Bahkan, dalam Piagam Pembentukan PBB (1945) Bab I Pasal 2 angka 4 dan angka 7 telah ditegaskan prinsip non-intervensi tersebut. Dalam konteks kerangka pikir inilah kiranya pemimpin bangsa dan jajaran pejabat birokrasi di Indonesia harus memperlakukan konvensi internasional secara patut, tidak berlebihan.
Mereka harus menempatkannya di dalam kerangka kepentingan bangsa dan negara yang dilandaskan pada UUD 1945 dan sistem hukum nasional. Pertimbangan yang mendalam dan memadai terhadap kenyataan keragaman masyarakat Indonesia, baik dalam asal usul etnis, agama, budaya, dan strata sosial-ekonomi, merupakan langkah bijaksana dan penuh kewaspadaan di dalam menata kembali dampak (positif dan negatif) dogma globalisasi yang dapat memengaruhi langsung atau tidak langsung pembentukan peraturan perundangan-undangan.
Tiga Pilar Globalisasi
Kewaspadaan ini bukan mustahil karena satu-satunya cara untuk menanamkan pengaruh melalui “hard power”bukan masanya lagi, melainkan melalui “soft power” (Joseph Nye Jr). Soft power negara maju diarahkan kepada tiga pilar globalisasi (privatisasi,deregulasi, dan stabilitas ekonomi makro) sehingga sangat pantas diwaspadai setiap produk perundang-undangan yang berhubungan dengan ekonomi dan keuangan di dalam program legislasi nasional. Muara keberhasilan dan kegagalan mencapai kesejahteraan bangsa dan negara tidak ditentukan oleh bangsa/ negara lain sekalipun PBB, melainkan ditentukan oleh kepentingan bangsa dan negara.
Setiap produk perundang-undangan nasional yang berkaitan dengan kesejahteraan rakyat harus dikaji mendalam dari berbagai aspek. Jangan hanya aspek hukum normatif semata-mata yang terobsesi oleh aliran positivisme hukum, melainkan harus dilihat juga dari aspek kemanfaatan terbesar untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan konsep analisis ekonomi terhadap pembentukan hukum (utilitarianisme). Konsep analisis ekonomi dalam pembentukan hukum (undangundang) bertumpu pada tiga prinsip yaitu, maksimalisasi, keseimbangan dan efisiensi (Cooter dan Ullen).
Dalam mempertimbangkan aspek-aspek tersebut jangan dilupakan aspek non-hukum yaitu sikap hipokritisme negara maju terhadap negara berkembang. Dalam konteks inilah diperlukan studi banding ke negara-negara maju pengekspor konsep, “transparansi, integritas, akuntabilitas, dan good governance.” Sikap hipokrit negara maju sudah terbukti dalam pemberantasan tindak pidana suap (bribery) dan tindak pidana pencucian uang. Kasus suap oleh perusahaan Monsanto (2007) dan perusahaan Innospec (2010), badan hukum Amerika Serikat, di Indonesia.
Sistem hukum di kedua negara tersebut telah menerapkan sistem “injunction” dalam kasus suap tersebut sehingga KPK menemui hambatan serius. Sistem injunction telah mewajibkan korporasi tersebut membayar denda administratif tanpa dilakukan penuntutan pidana. Sedangkan sistem tersebut telah “menyimpang” dari penerapan (Pasal 3) sanksi yang efektif (effective), proporsional (proportionate) dan membuat jera pelakunya (dissuasive) yang tercantum dalam OECD Convention on Combating Bribery of Foreign Public Officials in International Business Transaction (1997).
Kewaspadaan nasional dalam penyusunan UU Pencucian Uang (2010) diperlukan karena tidak ada jaminan bahwa delegasi wewenang kepada lembaga penyediaan keuangan khususnya bank, untuk menunda transaksi selama lima hari terhadap transaksi yang dicurigai, tidak akan menimbulkan “capital outflow” dari Indonesia ke negara lain. Kekhawatiran ini dapat dipahami karena kelemahan mendasar dalam penegakan hukum di Indonesia adalah terletak pada koordinasi dan pengawasan serta masalah integritas di setiap lini birokrasi dan aktivitas swasta.
Persaingan bisnis dengan atau tanpa menggunakan media perbankan bukan sesuatu yang mustahil di Indonesia karena “good corporate governance” di Indonesia masih tanda tanya. Terdapat kejanggalan dalam UU Pencucian Uang (2010) karena ada tiga pasal yang mengatur dana berkaitan dengan terorisme, sedangkan “predicate crime” dalam UU tersebut sebanyak dua puluh lima tindak pidana. Pemerintah dan DPR RI perlu memberikan pertanggungjawaban kepada masyarakat atas keberadaan tiga pasal tersebut dan apa relevansinya bagi Indonesia.
Penulis :
Prof. Dr. Romli Atmasasmita, SH, LLM, Pakar Hukum Pidana Internasional, Guru Besar Universitas Padjadjaran
http://www.tokohindonesia.com/publikasi/article/322-opini/2871-kejahatan-transnasional-dalam-peta-politik-global
Tidak ada komentar:
Posting Komentar