Oleh Nanoq da Kansas
Sejak Negara Republik Indonesia ini didirikan (merdeka), para pendiri bangsa dengan dukungan penuh seluruh rakyat telah sepakat mencantumkan kalimat “Bhinneka Tunggal Ika” pada lambang negara Garuda Pancasila. Kalimat itu sendiri diambil dari falsafah Nusantara yang sejak jaman Kerajaan Majapahit juga sudah dipakai sebagai motto pemersatu wilayah di kawasan Nusantara. Ini artinya, bahwa sudah sejak dulu sekali, jauh sebelum jaman menjadi modern seperti sekarang, jauh sebelum bangsa ini menjadi terdidik dengan tingkat intelektualitas tinggi seperti sekarang, kesadaran akan hidup bersama di dalam keberagaman sudah tumbuh dan menjadi jiwa serta semangat anak-anak banga di negeri ini.
Tetapi memasuki abad 21, di mana anak-anak Bangsa Indonesia telah menjadi bangsa yang terdidik, bangsa yang banyak sekali punya orang pintar alias kaum inteletual yang ilmunya bahkan diperoleh dari sekolah-sekolah tinggi di luar negeri, sebuah kata, yaitu “pluralisme” yang artinya sama dengan keberagaman, tiba-tiba saja menjadi istilah yang begitu gencar disebut. Setiap orang seakan kurang yakin dengan keintelekannya bila tidak menyebut kata pluralisme setiap kali bicara, berdiskusi, berpidato dan lain sebagainya.
Kenapa istilah pluralisme itu mendadak jadi trendi? Padahal jauh sebelum kata itu diucapkan oleh para intelektual modern kita, bangsa ini sudah sangat terbiasa dengan keberagaman yang “bhinneka” itu. Bangsa ini sudah berabad-abad kita hidup dalam kebersamaan dengan perbedaan yang ada di negeri ini. Berbeda warna kulit, berbeda bahasa, berbeda adat istiadat, berbeda agama, dan berbeda dalam banyak hal lagi.
Kalau harus mengingat-ingat, istilah pluralisme itu ternyata menjadi ngetren gara-gara belakangan inl kita sering sekali berkonflik. Anak-anak bangsa dengan membawa nama agama, nama partai, nama suku, nama desa, nama banjar bahkan nama keluarga, semakin sering saja berkelahi. Bentrok semakin sering terjadi, bahkan sampai memakan korban jiwa ratusan atau ribuan. Mulai saat itulah istilah pluralisme menjadi latah diucapkan. Dan sayangnya, istilah pluralisme itu lama-lama malah dijadikan “barang dagangan” oleh oknum-oknum tertentu untuk mencari uang. Dengan alasan untuk memediasi bentrok antar massa, proposal tentang pluralisme dijual ke luar negeri. Lalu suatu lembaga luar negeri memberi bantuan dana untuk kegiatan mediasi penyadaran bagi anak-anak bangsa ini untuk rukun, untuk berdamai, untuk saling menghargai dan menghormati. Ribuan kali sudah pertemuan yang bernama seminar, diskusi, pelatihan, pemberdayaan tentang kerukunan digelar dari tingkat rakyat jelata hingga oleh para elit dengan dana begitu banyak. Tetapi konflik toh masih sering terjadi tak terduga-duga. Hanya gara-gara masalah sangat sepele, sekarang anak-anak bangsa bisa bentrok, berkelahi, berperang antar kelompok dan seterusnya. Dan sementara itu, bangsa-bangsa lain di luar sana, bangsa-bangsa yang telah memberi kita dana untuk memahami pluralisme terpingkal-pingkal menertawai kita.
Bangsa yang Lupa
Suka atau tidak suka, kiranya ada sesuatu yang salah pada bangsa kita. Bahwa kenapa ketika bangsa ini sudah menjadi bangsa yang maju, justru makin sering bermasalah dengan sesama anak bangsa. Kenapa dulu ketika sekolah masih jarang, masjid masih jarang, pura masih jarang, gereja masih jarang, partai politik masih jarang, bangsa ini bisa akur-akur saja, benar-benar merasa senasib sepenanggungan dan penuh toleransi? Kenapa sekarang ketika kita makin sering beribadat, makin sering mendapat pencerahan rohani, makin pintar berpolitik, makin kaya, kita justru terpuruk ke dalam prilaku primitif, barbar, dan tidak bisa bertoleransi?
Sebuah jawaban sederhana dan juga mungkin primitif adalah, bahwa kita sekarang sudah menjadi bangsa yang lupa. Bukan lupa apa, tetapi lupa diri. Kita telah melupakan siapa diri kita sesungguhnya. Kita lupa, bahwa kita semua ini adalah sama-sama mahluk Tuhan yang bernama manusia dan menjadi bangsa bernama Indonesia.
Yang ada di benak kita saat ini hanyalah, bahwa aku orang Hindu, aku orang Islam, aku orang Kristen, aku orang Bali, aku orang Jawa, aku orang Ambon, aku orang Aceh, aku orang Madura, aku orang Betawi, aku orang kaya, aku orang Golkar, aku orang PDI-P, aku orang Demokrat, aku orang PNI, aku orang PAN, aku orang PKB, aku orang PKS, aku pengusaha, aku polisi, aku pejabat, aku Brahmana, aku Anak Agung, aku Pasek, aku Pande, aku Arya, aku Gusti, dan seterusnya.
Yang ada di benak kita saat ini adalah, bahwa aku orang baik-baik – dia orang jahat, aku orang terhormat – dia pelacur, aku orang beriman – dia kafir, aku lebih banyak – dia sedikit, aku berkuasa – dia hanya jelata, aku berjasa – dia kere, aku tuan rumah – dia pendatang, dlllllll.
Kita lupa kebhinnekaan bangsa ini. Kita lupa para leluhur, para pendahulu kita begitu bijaknya sehingga mampu membuat bangsa ini menjadi besar. Kita lupa, kebesaran bangsa ini justru karena dulu dibangun dan diperjuangkan oleh Jawa, Batak, Bali, Aceh, Bugis, Ambon, Madura, Dayak, dan sebagainya. Kita lupa, bahkan saat merebut kemerdekaan dulu, seluruh anak-anak bangsa ini sama-sama berperan. Dari para kiai, ulama, pendeta, politikus, seniman, guru, tentara, polisi, petani, hingga dukun, tukang santet, maling dan pelacur punya peran masing-masing untuk membuat bangsa ini merdeka. Semua ikut berjuang dengan peran dan keahlian masing-masing, dan tentu saja dengan porsi masing-masing.
Kesadaran Bersama
Jika sekarang ditulis atau dibicarakan, mungkin kita bisa menghabiskan ribuan lembar kertas dan ratusan hari hanya untuk mengingat-ingat berbagai masa lalu yang telah membuat kita menjadi Indonesia. Tetapi apalah gunanya bila kita hanya mengingat-ingatnya dengan penuh rasa romantis, tetapi setelah di luar sana nanti kita kembali menjadi orang, golongan atau kaum yang lain lagi.
Yang harus kita lakukan adalah, dengan kesadaran baru yang ada pada tingkat kecerdasan, keintelektualan, serta kemajuan kita sekarang ini, bahwa bangsa ini dibangun dengan pilar bernama Bhinneka Tunggal Ika. Tidak usah yang lain lagi. Tidak usah mengutip-ngutip istilah agama karena istilah dalam agama itu akan memberi kesan hanya agama itu yang paling baik. Ini akan membuat orang lain tersinggung. Apalagi negara dan bangsa ini sudah jelas-jelas bukan berlandaskan suatu agama. Negara ini berlandaskan ketuhanan yang artinya memberi kebebasan kepada semua agama untuk sama-sama hidup di sini. Yang harus kita kampanyekan terus-menerus adalah bahwa semua agama, semua golongan, semua profesi, semua partai, adalah pilar-pilar yang membuat bangunan bangsa ini kuat. Bahwa satu pilar saja rusak, satu pilar saja diabaikan, maka bangunan bangsa ini akan berkurang kekuatannya.
Maka bila kita bicara soal nilai-nilai luhur bangsa, tiada lain kita hanya punya Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika itu. Karena hanya dua keyakinan itulah yang telah mengantarkan kita sampai hari ini menjadi sebuah bangsa yang terus semakin besar di antara bangsa-bangsa lain di atas bumi ini. Tidak perlu lagi kita sok-sokan menciptakan nilai-nilai luhur yang baru, yang entah dikutif dari mana sehingga menjadi entah bernama ajeg ini ajeg itu, syariat ini syariat itu, filosofi ini folosofi itu. Karena yang sudah teruji selama berpuluh-puluh tahun bisa membuat Negara dan Bangsa Indonesia tetap ada hingga hari ini toh itu yang bernama Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika.
Kalau lantas sekarang kita mau menciptakan nilai-nilai luhur bangsa yang baru, kita harus mengujinya dulu. Cara mengujinya, adalah kita harus memanggil bangsa lain dulu untuk kembali menjajah kita selama berabad-abad, lalu kita berjuang lagi dengan nilai-nilai luhur baru itu. Sanggup tidak? Saya tidak yakin kita akan sanggup. Karena jangankan dijajah bangsa lain lain, dijajah harga beras mahal saja sekarang ini kita sudah tak berdaya. Dijajah mertua saja kita sudah loyo. Maka sekali lagi, mulai saat ini kita tak boleh lupa lagi bahwa kita adalah bangsa bernama Indonesia, punya Indonesia, milik Indonesia, dengan prinsip bersama Bhinneka Tunggal Ika, berbeda-beda tetapi satu! Titik!
Nanoq da Kansas, penyair, kolumnis, penggiat teater dan petani
Tinggal di Jembrana – Bali.
Sejak Negara Republik Indonesia ini didirikan (merdeka), para pendiri bangsa dengan dukungan penuh seluruh rakyat telah sepakat mencantumkan kalimat “Bhinneka Tunggal Ika” pada lambang negara Garuda Pancasila. Kalimat itu sendiri diambil dari falsafah Nusantara yang sejak jaman Kerajaan Majapahit juga sudah dipakai sebagai motto pemersatu wilayah di kawasan Nusantara. Ini artinya, bahwa sudah sejak dulu sekali, jauh sebelum jaman menjadi modern seperti sekarang, jauh sebelum bangsa ini menjadi terdidik dengan tingkat intelektualitas tinggi seperti sekarang, kesadaran akan hidup bersama di dalam keberagaman sudah tumbuh dan menjadi jiwa serta semangat anak-anak banga di negeri ini.
Tetapi memasuki abad 21, di mana anak-anak Bangsa Indonesia telah menjadi bangsa yang terdidik, bangsa yang banyak sekali punya orang pintar alias kaum inteletual yang ilmunya bahkan diperoleh dari sekolah-sekolah tinggi di luar negeri, sebuah kata, yaitu “pluralisme” yang artinya sama dengan keberagaman, tiba-tiba saja menjadi istilah yang begitu gencar disebut. Setiap orang seakan kurang yakin dengan keintelekannya bila tidak menyebut kata pluralisme setiap kali bicara, berdiskusi, berpidato dan lain sebagainya.
Kenapa istilah pluralisme itu mendadak jadi trendi? Padahal jauh sebelum kata itu diucapkan oleh para intelektual modern kita, bangsa ini sudah sangat terbiasa dengan keberagaman yang “bhinneka” itu. Bangsa ini sudah berabad-abad kita hidup dalam kebersamaan dengan perbedaan yang ada di negeri ini. Berbeda warna kulit, berbeda bahasa, berbeda adat istiadat, berbeda agama, dan berbeda dalam banyak hal lagi.
Kalau harus mengingat-ingat, istilah pluralisme itu ternyata menjadi ngetren gara-gara belakangan inl kita sering sekali berkonflik. Anak-anak bangsa dengan membawa nama agama, nama partai, nama suku, nama desa, nama banjar bahkan nama keluarga, semakin sering saja berkelahi. Bentrok semakin sering terjadi, bahkan sampai memakan korban jiwa ratusan atau ribuan. Mulai saat itulah istilah pluralisme menjadi latah diucapkan. Dan sayangnya, istilah pluralisme itu lama-lama malah dijadikan “barang dagangan” oleh oknum-oknum tertentu untuk mencari uang. Dengan alasan untuk memediasi bentrok antar massa, proposal tentang pluralisme dijual ke luar negeri. Lalu suatu lembaga luar negeri memberi bantuan dana untuk kegiatan mediasi penyadaran bagi anak-anak bangsa ini untuk rukun, untuk berdamai, untuk saling menghargai dan menghormati. Ribuan kali sudah pertemuan yang bernama seminar, diskusi, pelatihan, pemberdayaan tentang kerukunan digelar dari tingkat rakyat jelata hingga oleh para elit dengan dana begitu banyak. Tetapi konflik toh masih sering terjadi tak terduga-duga. Hanya gara-gara masalah sangat sepele, sekarang anak-anak bangsa bisa bentrok, berkelahi, berperang antar kelompok dan seterusnya. Dan sementara itu, bangsa-bangsa lain di luar sana, bangsa-bangsa yang telah memberi kita dana untuk memahami pluralisme terpingkal-pingkal menertawai kita.
Bangsa yang Lupa
Suka atau tidak suka, kiranya ada sesuatu yang salah pada bangsa kita. Bahwa kenapa ketika bangsa ini sudah menjadi bangsa yang maju, justru makin sering bermasalah dengan sesama anak bangsa. Kenapa dulu ketika sekolah masih jarang, masjid masih jarang, pura masih jarang, gereja masih jarang, partai politik masih jarang, bangsa ini bisa akur-akur saja, benar-benar merasa senasib sepenanggungan dan penuh toleransi? Kenapa sekarang ketika kita makin sering beribadat, makin sering mendapat pencerahan rohani, makin pintar berpolitik, makin kaya, kita justru terpuruk ke dalam prilaku primitif, barbar, dan tidak bisa bertoleransi?
Sebuah jawaban sederhana dan juga mungkin primitif adalah, bahwa kita sekarang sudah menjadi bangsa yang lupa. Bukan lupa apa, tetapi lupa diri. Kita telah melupakan siapa diri kita sesungguhnya. Kita lupa, bahwa kita semua ini adalah sama-sama mahluk Tuhan yang bernama manusia dan menjadi bangsa bernama Indonesia.
Yang ada di benak kita saat ini hanyalah, bahwa aku orang Hindu, aku orang Islam, aku orang Kristen, aku orang Bali, aku orang Jawa, aku orang Ambon, aku orang Aceh, aku orang Madura, aku orang Betawi, aku orang kaya, aku orang Golkar, aku orang PDI-P, aku orang Demokrat, aku orang PNI, aku orang PAN, aku orang PKB, aku orang PKS, aku pengusaha, aku polisi, aku pejabat, aku Brahmana, aku Anak Agung, aku Pasek, aku Pande, aku Arya, aku Gusti, dan seterusnya.
Yang ada di benak kita saat ini adalah, bahwa aku orang baik-baik – dia orang jahat, aku orang terhormat – dia pelacur, aku orang beriman – dia kafir, aku lebih banyak – dia sedikit, aku berkuasa – dia hanya jelata, aku berjasa – dia kere, aku tuan rumah – dia pendatang, dlllllll.
Kita lupa kebhinnekaan bangsa ini. Kita lupa para leluhur, para pendahulu kita begitu bijaknya sehingga mampu membuat bangsa ini menjadi besar. Kita lupa, kebesaran bangsa ini justru karena dulu dibangun dan diperjuangkan oleh Jawa, Batak, Bali, Aceh, Bugis, Ambon, Madura, Dayak, dan sebagainya. Kita lupa, bahkan saat merebut kemerdekaan dulu, seluruh anak-anak bangsa ini sama-sama berperan. Dari para kiai, ulama, pendeta, politikus, seniman, guru, tentara, polisi, petani, hingga dukun, tukang santet, maling dan pelacur punya peran masing-masing untuk membuat bangsa ini merdeka. Semua ikut berjuang dengan peran dan keahlian masing-masing, dan tentu saja dengan porsi masing-masing.
Kesadaran Bersama
Jika sekarang ditulis atau dibicarakan, mungkin kita bisa menghabiskan ribuan lembar kertas dan ratusan hari hanya untuk mengingat-ingat berbagai masa lalu yang telah membuat kita menjadi Indonesia. Tetapi apalah gunanya bila kita hanya mengingat-ingatnya dengan penuh rasa romantis, tetapi setelah di luar sana nanti kita kembali menjadi orang, golongan atau kaum yang lain lagi.
Yang harus kita lakukan adalah, dengan kesadaran baru yang ada pada tingkat kecerdasan, keintelektualan, serta kemajuan kita sekarang ini, bahwa bangsa ini dibangun dengan pilar bernama Bhinneka Tunggal Ika. Tidak usah yang lain lagi. Tidak usah mengutip-ngutip istilah agama karena istilah dalam agama itu akan memberi kesan hanya agama itu yang paling baik. Ini akan membuat orang lain tersinggung. Apalagi negara dan bangsa ini sudah jelas-jelas bukan berlandaskan suatu agama. Negara ini berlandaskan ketuhanan yang artinya memberi kebebasan kepada semua agama untuk sama-sama hidup di sini. Yang harus kita kampanyekan terus-menerus adalah bahwa semua agama, semua golongan, semua profesi, semua partai, adalah pilar-pilar yang membuat bangunan bangsa ini kuat. Bahwa satu pilar saja rusak, satu pilar saja diabaikan, maka bangunan bangsa ini akan berkurang kekuatannya.
Maka bila kita bicara soal nilai-nilai luhur bangsa, tiada lain kita hanya punya Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika itu. Karena hanya dua keyakinan itulah yang telah mengantarkan kita sampai hari ini menjadi sebuah bangsa yang terus semakin besar di antara bangsa-bangsa lain di atas bumi ini. Tidak perlu lagi kita sok-sokan menciptakan nilai-nilai luhur yang baru, yang entah dikutif dari mana sehingga menjadi entah bernama ajeg ini ajeg itu, syariat ini syariat itu, filosofi ini folosofi itu. Karena yang sudah teruji selama berpuluh-puluh tahun bisa membuat Negara dan Bangsa Indonesia tetap ada hingga hari ini toh itu yang bernama Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika.
Kalau lantas sekarang kita mau menciptakan nilai-nilai luhur bangsa yang baru, kita harus mengujinya dulu. Cara mengujinya, adalah kita harus memanggil bangsa lain dulu untuk kembali menjajah kita selama berabad-abad, lalu kita berjuang lagi dengan nilai-nilai luhur baru itu. Sanggup tidak? Saya tidak yakin kita akan sanggup. Karena jangankan dijajah bangsa lain lain, dijajah harga beras mahal saja sekarang ini kita sudah tak berdaya. Dijajah mertua saja kita sudah loyo. Maka sekali lagi, mulai saat ini kita tak boleh lupa lagi bahwa kita adalah bangsa bernama Indonesia, punya Indonesia, milik Indonesia, dengan prinsip bersama Bhinneka Tunggal Ika, berbeda-beda tetapi satu! Titik!
Nanoq da Kansas, penyair, kolumnis, penggiat teater dan petani
Tinggal di Jembrana – Bali.
http://sirihmerah-nur.blogspot.com/2009/03/bhinneka-tunggal-ika-nilai-luhur-budaya_05.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar