Selasa, 15 Februari 2011

Pluralisme Vs Fundamentalisme


Oleh Teuku Kemal Fasya
 
Peresmian Gong Perdamaian oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Kupang, Nusa Tenggara Timur, pada 8 Februari, seperti menepuk angin.
Pada hari yang sama, Temanggung terbakar kerusuhan SARA. Sekelompok ”umat” ingin mengeksekusi sendiri terdakwa penistaan agama, Antonius R Bawean, setelah kecewa pada putusan jaksa yang menuntut lima tahun penjara. Dalam sekejap kerusuhan meluas. Massa membakar dua gereja dan merusak sekolah.
Dua hari sebelumnya malah lebih tragis. Jamaah Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang, Banten, dibantai. Disebut pembantaian karena memang bukan aksi konflik yang seimbang. Seperti tertulis dalam kronologi Kontras, sekitar 25 anggota Jamaah Ahmadiyah dikepung oleh sekitar 1.500 orang dengan senjata mematikan. Tiga orang tewas, lima luka parah. Terbayang seperti apa komunitas Ahmadiyah terkepung ketakutan karena ”konsensus kebencian” yang menyebar. Padahal, mereka sama sekali tak kenal orang yang menyerangnya. Mereka diburu hanya karena identitas keyakinan: Ahmadiyah.
Bagi yang menonton film Inglorious Basterds (2009) karya Quentin Tarantino, tentu ingat guratan ketakutan keluarga Yahudi ketika sepasukan Jerman memburu dan menginterogasi Perrier Lapedite yang menyembunyikan mereka. Melalui mekanisme persuasi yang ganjil, Perrier pun menyerah oleh permainan interogasi horor Kolonel Hans Landa. Digambarkan pembantaian itu dengan muka puas dan sukacita tentara Nazi.
Fundamentalis tidak mati
Dalam The Battle for God (2000), Karen Amstrong, teolog asal Inggris, menuliskan bahwa sejak akhir abad ke-20 muncul kesadaran kesalehan militan pada kelompok mayoritas yang kini disebut fundamentalisme. Istilah ini pertama sekali digunakan kelompok Protestan Amerika Serikat pada awal abad ke-20 yang khawatir melihat perkembangan teknologi dan pengetahuan sebagai ancaman iman.
Kesadaran fundamentalisme menganggap masa kini telah terkotori sehingga cara membersihkannya adalah menghidupkan kembali ajaran fundamental agama, termasuk dengan mengabaikan keniscayaan bahwa umat beragama saat ini telah hidup dengan nilai baru yang plural dan heterogen. Mereka menolak penafsiran baru dalam agama dan anti-intelektualisme, melecehkan konsep-konsep baru seperti pluralisme, toleransi antarumat beragama, dan demokrasi.
Kaum fundamentalis berpikir masa lalu, masa yang dekat dengan lahirnya agama adalah masa yang telah teridealisasi dengan sendirinya dan harus dipertahankan. Kelompok fundamentalisme menolak istilah pembaruan agama.
Dari perspektif ini kita melihat bahwa kelompok fundamentalisme tidaklah mati oleh tindakan antiteror pemerintah. Bahkan terkesan pemerintah telah salah analisis, hanya mengidentifikasi dan melakukan tindakan militer pada kelompok teror bom seperti dilekatkan pada Jamaah Islamiyah dan Al Qaeda. Padahal, ada bentuk fundamentalisme lain yang tidak disikapi dengan tegas dan lebih membahayakan harmoni sosial dan kebangsaan.
Kasus penistaan agama oleh siapa pun tidak dapat dibenarkan bahkan dengan dalih kebebasan beragama. Tindakan seperti itu harus diisolasi dan diselesaikan dengan cara yang paling adil, termasuk pengadilan. Namun, sikap barbarian main hakim sendiri seolah-olah teregister menjadi tentara Allah, menghukum sang pencela dengan cara membunuh dan membakar rumah ibadah umat lain jauh lebih tercela dan tidak religius.
Kasus pembantaian Ahmadiyah di Pandeglang dan perusakan gereja di Temanggung adalah fundamentalisme ekstrem yang tak bisa ditolerir. Negara bahkan perlu melakukan semacam daya kejut, seperti tindakan militer dan menghukum para perusuh-pembantai dengan hukuman maksimal agar tindakan ini tidak dijadikan adat kebiasaan. Tanpa shock therapy, tentu akan ada hasrat untuk mengulangnya lagi di lain kesempatan.
Tahun lalu negara ini diberi gelar sebagai champion of democracy, negara yang paling cepat melakukan adaptasi pada nilai-nilai demokrasi dan HAM. Pemerintah SBY harus merasa malu jika kejadian ini sampai kembali terulang. Selain merusak nama baik negara ini di mata dunia sebagai negara demokrasi baru, juga malu jika masih ada anak bangsa yang dikorbankan oleh sikap tanpa toleransi dan memaksakan kehendak dengan dalih menegakkan agama.
Tidak perlu aksi simbolis seperti Gong Perdamaian itu, tetapi aksi konkret seperti tindakan hukum secara cepat dan tegas kepada siapa pun yang bersalah. Saatnya mendeklarasikan sebagai penentang nomor satu segala bentuk fundamentalisme yang bisa mengancam demokrasi dan keharmonisan seluruh warga dan tumpah darah Indonesia. Jika tidak mau hidup berdampingan dan menyadari pluralisme bangsa ini, jangan hidup di sini!
Teuku Kemal Fasya Dosen Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe

http://okefarid.wordpress.com/2011/02/14/pluralisme-vs-fundamentalisme/ 

1 komentar:

  1. nice post...
    waspadai para "petinggi" yang mendesain konflik untuk meruntuhkan NKRI

    BalasHapus