Oleh Ahmad Hadidul Fahmi (Koordinator Lakpesdam NU Mesir)
Baru-baru ini kita melihat semangat keislaman yang menggelora dari generasi muda. Sayangnya, semangat memunculkan Islam sebagai alternatif terbaik itu tidak diimbangi dengan pemahaman yang ‘mumpuni’ dalam ilmu agama. Merasa bangga ketika memperjuangkan ‘simbol’, akan tetapi buta terhadap ‘esensi’. Karakter yang melekat dari inklinasi semacam ini adalah, mudah sekali menuduh kafir kelompok lain yang tidak se-ide dengan pemikiran mereka.
Itulah Hizbut Tahrir. Partai yang masuk ke Indonesia sekitar tahun 1980 ini, cukup mendapat respon yang baik dari pemuda-pemuda kampus yang tidak mempunyai background yang mumpuni tentang pengetahuan Islam. Penulis menduga kuat, suksesnya dakwah mereka cukup paralel dengan slogan-slogan islamis yang dielu-elukan oleh simpatisan ‘Partai Pembebasan’ ini.
Pada tulisan ini, penulis hendak membedah inti pemikiran Hizbut Tahrir dari sumber-sumber primer mereka, kemudian penulis akan coba komparasikan dengan pendapat ulama-ulama serta pemikir kontemporer terkait masalah yang dibidik. Permasalahan yang coba penulis tampilkan adalah asumsi keharusan mendirikan Negara Islam sebagai wahana pemersatu umat Islam se-dunia. Permasalahan pertama ini tersusun dari premis-premis; pertama, kedaulatan rakyat adalah sistem kufur yang diciptakan oleh Barat. Karenanya, demokrasi dianggap sistem kufur sebab bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Kedua, praktek politik pada masa Nabi merupakan representasi ideal—sekaligus diasumsikan diambil dari nash qath’iy–bagi kelangsungan politik untuk era sekarang. Khilafah Islamiyyah—bagi mereka–juga alternatif terbaik untuk mengentaskan umat Islam dari hegemoni Barat.
Sejarah Kemunculan dan Falsafah Pemikiran Hizbut Tahrir
Hizbut Tahrir lahir di Palestina tahun 1953, dengan pendirinya Taqiyuddin al-Nabhani, seorang Hakim di Haifa. Berdirinya Partai Kebebasan ini erat kaitannya dengan invasi Israel ke Palestina dan runtuhnya kekhalifahan Turki Utsmani yang tumbang tahun 1924. Awalnya al-Nabhani merupakan pengagum Sayyid Quthb, dan sempat memberikan beberapa kuliah di markas besar Ikhwanul Muslimin di Yerusalem. Lahir di desa Ijzim, Palestina, 1914 M. Nama lengkapnya adalah Taqiy Al-Din bin Ibrahim bin Musthafa bin Isma’il bin Yusuf Nashir Ad Din An Nabhani. Hidupnya berpindah-pindah, dari Jordania, Syiria,dan akhirnya wafat Lebanon. Ia sempat mengenyam pendidikan di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir pada tahun 1928 M. Al-Nabhani terbilang cukup produktif, beberapa buah karyanya adalah; Nidzam al-Islam, al-Takattul al-Hizbi, Mafahim Hizb al-Tahrir, al-Nidzam al-Iqtishadi fi al-Islam, al-Nidzam al-Ijtima’i fi al-Islam, Nidzam al-Hukmi fi al-Islam, al-Dawlah al-Islamiyyah, Mafahim Siyasiyah li Hizb al-Tahrir, dan lain sebagainya. Buku yang dianggit sebelum mendirikan Partai Pembebasan bertajuk Risalat al-Arab.
Sistem kepemimpinan Hizbut Tahrir disebut ‘Imarah’ yang dipegang oleh Amir al-Hizb. Batas kepemimpinan Amir al-Hizb tidak terbatas, atau seumur hidup. Taqiyuddin al-Nabhani sendiri memegang tampuk Amir al-Hizb sampai tahun 1977 (sekaligus tahun wafat beliau). Selepas Al-Nabhani, tampuk Amir digantikan oleh Abdul Qadim Zallum (1977). Sebagaimana al-Nabhani, Abdul Qadim Zallum pernah mengenyam pendidikan di al-Azhar. Perjumpaannya dengan Taqiyuddin al-Nabhani terjadi pada tahun 1952, atau satu tahun sebelum Partai ini berdiri. Di antara karya Zallum adalah; al-Amwal fi Dawlat al-Khilafah, Nidzam al-Hukm fi al-Islam, al-Ta’rif bi Hizb al-Tahrir, al-Dimuqrathiyyah Nidzam Kufr, dan sebagainya.
Wafatnya Abdul Qadim Zallum (2003) ditandai dengan perpecahan di tubuh Partai. Masa vakum ini memunculkan kelompok sempalan Hizbut Tahrir yang menamakan diri mereka kelompok reformis (al-Tayyar al-Ishlahi). Kelompok reformis pada hakikatnya merupakan oposisi dari Amir ketiga, Atha’ Abu Rasytah—yang masih memegang posisi Amir sampai sekarang, Juru Bicara Hizbut Tahrir Yordania sekaligus pengganti Abdul Qadim Zallum. Sebab, ketika Abu Rasytah didaulat menjadi Amir, dari kelompok reformis ini telah mengajukan Amir sendiri, Abu Bakar al-Khuwalidah.
Dalam perjalanan pergerakan Hizbut Tahrir, mereka membagi dalam tiga fase penting; pertama, fase doktrinasi pemikiran-pemikiran Hizbut Tahrir secara personal, agar masyarakat menerima eksistensi mereka. Pada fase yang diawali semenjak 1953 ini, Taqiyuddin al-Nabhani sangat berperan besar. Sebab secara langsung ‘turun lapangan’ memperkenalkan pada masyarakat doktrin-doktrin Hizbut Tahrir. Pada saat respon masyarakat dinilai positif, mereka melanjutkan pada fase kedua; interaksi dengan masyarakat agar mereka ikut merasakan dakwah Islam dan mempunyai kesadaran yang sama tentang realitas Islam. Pada fase ini, Hizbut Tahrir mulai memerangi pemikiran-pemikiran yang tidak sejalan Islam secara massif. Memprogandakan cacatnya kepemimpinan yang tidak sejalan dengan Islam. Setelah masyarakat mulai kehilangan kepercayaan dengan pemimpin mereka, Hizbut Tahrir mulai beralih ke fase ketiga; penerimaan kekuasaan melalui penegakkan Negara Islam guna mengaplikasikan Islam secara komprehensif.
Dalam buku bertajuk Hizb al-Tahrir, keluaran Hizbut Tahrir, definisi Partai Pembebasan ini adalah partai politik yang berideologi Islam, dan lahan dakwahnya dalam ranah politik, serta memimpin umat Islam untuk kembali pada pemerintahan Islam sehingga mampu berhukum dengan sebagaimana yang sudah diturunkan oleh Allah.
Falsafah yang mendasari berdirinya ‘partai pembebasan ini’—sebagaimana terangkum dalam buku terbitan Hizbut Tahrir sendiri yang bertajuk Mafahim Hizb al-Tahrir—berpijak dari kemunduran massif peradaban Islam semenjak abad 12 H yang berbanding lurus dengan lemahnya semangat umat Islam untuk memperdalam Islam itu sendiri. Lemahnya generasi umat Islam untuk memperdalam Islam—bagi mereka—inheren dengan upaya memisahkan Arab dan Islam. Sedang gagalnya proyek kebangkitan—yang bertopang dari Islam—setidaknya kembali pada tiga alasan; pertama, tidak memahami secara komprehensif pemikiran Islam; kedua, hanya memperdalam hukum yang bersifat teoritis, akan tetapi mengabaikan aspek praksis; ketiga, asumsi keterpisahan pemikiran Islam dan aplikasinya.
Keterpisahan mempelajari hukum Islam yang terpisah dari cara implementasinya secara total termanifestasikan tatkala umat Islam berbondong-bondong mempelajari tatacara shalat, puasa, nikah, talak, akan tetapi mengabaikan hukum Jihad, ghanimah, hukum-hukum dalam pemerintahan, dan sebagainya. Sehingga pada abad 19 M, ada pemahaman yang keliru terkait paradigma aplikasi Islam dalam masyarakat; Islam ditafsirkan agar kontekstual dengan masyarakat, bukan masyarakat yang menyesuaikan dengan Islam. Dengan demikian, merupakan keharusan untuk mengaplikasikan Islam sebagaimana adanya pada masyarakat tanpa terpengaruh waktu, tempat atau masa.
Oleh karena itu, diperlukan adanya gerakan Islam yang mengembalikan Islam pada wacana teori sekaligus memungkinkan mengaplikasikannya secara total, dan memulai hal tersebut dari skala yang paling kecil; dunia Arab. Inilah awal mula muncul ide untuk mendirikan Negara Islam. Dimulai dari skup yang terkecil untuk bermu’amalat secara Islami, kemudian melebarkan sayapnya ke penjuru negeri.
Selain itu, kewajiban umat Islam adalah menerapkan hukum Islam secara paripurna di semua sendi kehidupan, melalui Undang-Undang atau peraturan yang bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadis. Aplikasi secara sempurna tersebut tidak mungkin terwujud terkecuali dengan wujudnya negara yang bisa mengakomodir semua itu. Itulah Negara Islam, dimana Khalifah atau pemimpinnya menerapkan syariat Islam secara sempurna.
Hizbut Tahrir dalam merealisasikan agendanya melalui penguasaan parlemen sehingga mampu mendirikan Negara Islam. Adapun piranti untuk sampai pada parlemen adalah; pertama, memusatkan perhatian pada upaya doktrinasi terhadap masyarakat tentang Islam (al-ihtimam bi al-‘amal al-tsaqafi/tastqif). Pada aspek ini, seperti pernyataan al-Nabhani sendiri dalamal-Takattul al-Hizby, Hizbut Tahrir jelas mengikrarkan pengabaian terhadap aspek etika dalam Islam, dan mengedepankan pemikiran dan pengetahuan tentang peradaban Islam. Kedua, memusatkan perhatian aktivitasnya dalam ranah politik (al-ihtimam bi al-‘amal al-siyasi). Dalam ranah politik, mereka berusaha sekuat mungkin untuk meruntuhkan aturan-aturan yang dibuat bukan dari asas islami. Dalam buku yang bertajuk Manhaj Hizb al-Tahrir, mayoritas Negara yang dihuni oleh umat Islam sekarang layak disebut Dar al-Kufr, karena mengadopsi hukum-hukum yang berasal bukan dari asas Islami dan tidak dibawah kontrol masyarakat Islam.
Ketika Negara Islam sudah terealisasi, Hizbut Tahrir mengagendakan menyusun Undang-Undang yang diawali dengan telaah problematika masyarakat, kemudian membuat kaidah umum—sebagai referensi Hakim/Qadli ketika memberikan putusan hukum–yang bisa dijadikan neraca mengentaskan varian problem yang berkembang. Mereka mensyaratkan, aturan tersebut merupakan perpanjangan dari fikih Islam. Interpetasi Undang-Undang yang dilakukan oleh Hakim harus melalui penguasaan teks Islam (al-Nushush al-Syar’iyyah), ushul fikih, atau fikih.
Mereka beranggapan, Islam sebagai agama mempunyai aturan. Aturan ini adalah hukum-hukum syariat yang diambil dari dalil-dalilnya yang terperinci. Aturan-aturan tersebut terklasifikasi pada hukum-hukum yang mempunyai orientasi mengentaskan problem masyarakat (fikrah), dan hukum-hukum yang mencakup tatacara aplikasi hukum, menjaga akidah dan menyebarkan dakwah (thariqah). Islam tersusun dari dua unsur ini, dan tak akan mungkin berislam secara sempurna tanpa upaya menjalankan keduanya. Mereka mencontohkan bahwa shalat adalah fikrah. dan Negara Islam merupakan thariqah, yang bertugas tidak hanya menganjutkan umat Islam untuk melaksanakannya secara teratur saja, akan tetapi juga mengupayakan hukuman bagi yang meninggalkan shalat. (bersambung)
Baru-baru ini kita melihat semangat keislaman yang menggelora dari generasi muda. Sayangnya, semangat memunculkan Islam sebagai alternatif terbaik itu tidak diimbangi dengan pemahaman yang ‘mumpuni’ dalam ilmu agama. Merasa bangga ketika memperjuangkan ‘simbol’, akan tetapi buta terhadap ‘esensi’. Karakter yang melekat dari inklinasi semacam ini adalah, mudah sekali menuduh kafir kelompok lain yang tidak se-ide dengan pemikiran mereka.
Itulah Hizbut Tahrir. Partai yang masuk ke Indonesia sekitar tahun 1980 ini, cukup mendapat respon yang baik dari pemuda-pemuda kampus yang tidak mempunyai background yang mumpuni tentang pengetahuan Islam. Penulis menduga kuat, suksesnya dakwah mereka cukup paralel dengan slogan-slogan islamis yang dielu-elukan oleh simpatisan ‘Partai Pembebasan’ ini.
Pada tulisan ini, penulis hendak membedah inti pemikiran Hizbut Tahrir dari sumber-sumber primer mereka, kemudian penulis akan coba komparasikan dengan pendapat ulama-ulama serta pemikir kontemporer terkait masalah yang dibidik. Permasalahan yang coba penulis tampilkan adalah asumsi keharusan mendirikan Negara Islam sebagai wahana pemersatu umat Islam se-dunia. Permasalahan pertama ini tersusun dari premis-premis; pertama, kedaulatan rakyat adalah sistem kufur yang diciptakan oleh Barat. Karenanya, demokrasi dianggap sistem kufur sebab bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Kedua, praktek politik pada masa Nabi merupakan representasi ideal—sekaligus diasumsikan diambil dari nash qath’iy–bagi kelangsungan politik untuk era sekarang. Khilafah Islamiyyah—bagi mereka–juga alternatif terbaik untuk mengentaskan umat Islam dari hegemoni Barat.
Sejarah Kemunculan dan Falsafah Pemikiran Hizbut Tahrir
Hizbut Tahrir lahir di Palestina tahun 1953, dengan pendirinya Taqiyuddin al-Nabhani, seorang Hakim di Haifa. Berdirinya Partai Kebebasan ini erat kaitannya dengan invasi Israel ke Palestina dan runtuhnya kekhalifahan Turki Utsmani yang tumbang tahun 1924. Awalnya al-Nabhani merupakan pengagum Sayyid Quthb, dan sempat memberikan beberapa kuliah di markas besar Ikhwanul Muslimin di Yerusalem. Lahir di desa Ijzim, Palestina, 1914 M. Nama lengkapnya adalah Taqiy Al-Din bin Ibrahim bin Musthafa bin Isma’il bin Yusuf Nashir Ad Din An Nabhani. Hidupnya berpindah-pindah, dari Jordania, Syiria,dan akhirnya wafat Lebanon. Ia sempat mengenyam pendidikan di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir pada tahun 1928 M. Al-Nabhani terbilang cukup produktif, beberapa buah karyanya adalah; Nidzam al-Islam, al-Takattul al-Hizbi, Mafahim Hizb al-Tahrir, al-Nidzam al-Iqtishadi fi al-Islam, al-Nidzam al-Ijtima’i fi al-Islam, Nidzam al-Hukmi fi al-Islam, al-Dawlah al-Islamiyyah, Mafahim Siyasiyah li Hizb al-Tahrir, dan lain sebagainya. Buku yang dianggit sebelum mendirikan Partai Pembebasan bertajuk Risalat al-Arab.
Sistem kepemimpinan Hizbut Tahrir disebut ‘Imarah’ yang dipegang oleh Amir al-Hizb. Batas kepemimpinan Amir al-Hizb tidak terbatas, atau seumur hidup. Taqiyuddin al-Nabhani sendiri memegang tampuk Amir al-Hizb sampai tahun 1977 (sekaligus tahun wafat beliau). Selepas Al-Nabhani, tampuk Amir digantikan oleh Abdul Qadim Zallum (1977). Sebagaimana al-Nabhani, Abdul Qadim Zallum pernah mengenyam pendidikan di al-Azhar. Perjumpaannya dengan Taqiyuddin al-Nabhani terjadi pada tahun 1952, atau satu tahun sebelum Partai ini berdiri. Di antara karya Zallum adalah; al-Amwal fi Dawlat al-Khilafah, Nidzam al-Hukm fi al-Islam, al-Ta’rif bi Hizb al-Tahrir, al-Dimuqrathiyyah Nidzam Kufr, dan sebagainya.
Wafatnya Abdul Qadim Zallum (2003) ditandai dengan perpecahan di tubuh Partai. Masa vakum ini memunculkan kelompok sempalan Hizbut Tahrir yang menamakan diri mereka kelompok reformis (al-Tayyar al-Ishlahi). Kelompok reformis pada hakikatnya merupakan oposisi dari Amir ketiga, Atha’ Abu Rasytah—yang masih memegang posisi Amir sampai sekarang, Juru Bicara Hizbut Tahrir Yordania sekaligus pengganti Abdul Qadim Zallum. Sebab, ketika Abu Rasytah didaulat menjadi Amir, dari kelompok reformis ini telah mengajukan Amir sendiri, Abu Bakar al-Khuwalidah.
Dalam perjalanan pergerakan Hizbut Tahrir, mereka membagi dalam tiga fase penting; pertama, fase doktrinasi pemikiran-pemikiran Hizbut Tahrir secara personal, agar masyarakat menerima eksistensi mereka. Pada fase yang diawali semenjak 1953 ini, Taqiyuddin al-Nabhani sangat berperan besar. Sebab secara langsung ‘turun lapangan’ memperkenalkan pada masyarakat doktrin-doktrin Hizbut Tahrir. Pada saat respon masyarakat dinilai positif, mereka melanjutkan pada fase kedua; interaksi dengan masyarakat agar mereka ikut merasakan dakwah Islam dan mempunyai kesadaran yang sama tentang realitas Islam. Pada fase ini, Hizbut Tahrir mulai memerangi pemikiran-pemikiran yang tidak sejalan Islam secara massif. Memprogandakan cacatnya kepemimpinan yang tidak sejalan dengan Islam. Setelah masyarakat mulai kehilangan kepercayaan dengan pemimpin mereka, Hizbut Tahrir mulai beralih ke fase ketiga; penerimaan kekuasaan melalui penegakkan Negara Islam guna mengaplikasikan Islam secara komprehensif.
Dalam buku bertajuk Hizb al-Tahrir, keluaran Hizbut Tahrir, definisi Partai Pembebasan ini adalah partai politik yang berideologi Islam, dan lahan dakwahnya dalam ranah politik, serta memimpin umat Islam untuk kembali pada pemerintahan Islam sehingga mampu berhukum dengan sebagaimana yang sudah diturunkan oleh Allah.
Falsafah yang mendasari berdirinya ‘partai pembebasan ini’—sebagaimana terangkum dalam buku terbitan Hizbut Tahrir sendiri yang bertajuk Mafahim Hizb al-Tahrir—berpijak dari kemunduran massif peradaban Islam semenjak abad 12 H yang berbanding lurus dengan lemahnya semangat umat Islam untuk memperdalam Islam itu sendiri. Lemahnya generasi umat Islam untuk memperdalam Islam—bagi mereka—inheren dengan upaya memisahkan Arab dan Islam. Sedang gagalnya proyek kebangkitan—yang bertopang dari Islam—setidaknya kembali pada tiga alasan; pertama, tidak memahami secara komprehensif pemikiran Islam; kedua, hanya memperdalam hukum yang bersifat teoritis, akan tetapi mengabaikan aspek praksis; ketiga, asumsi keterpisahan pemikiran Islam dan aplikasinya.
Keterpisahan mempelajari hukum Islam yang terpisah dari cara implementasinya secara total termanifestasikan tatkala umat Islam berbondong-bondong mempelajari tatacara shalat, puasa, nikah, talak, akan tetapi mengabaikan hukum Jihad, ghanimah, hukum-hukum dalam pemerintahan, dan sebagainya. Sehingga pada abad 19 M, ada pemahaman yang keliru terkait paradigma aplikasi Islam dalam masyarakat; Islam ditafsirkan agar kontekstual dengan masyarakat, bukan masyarakat yang menyesuaikan dengan Islam. Dengan demikian, merupakan keharusan untuk mengaplikasikan Islam sebagaimana adanya pada masyarakat tanpa terpengaruh waktu, tempat atau masa.
Oleh karena itu, diperlukan adanya gerakan Islam yang mengembalikan Islam pada wacana teori sekaligus memungkinkan mengaplikasikannya secara total, dan memulai hal tersebut dari skala yang paling kecil; dunia Arab. Inilah awal mula muncul ide untuk mendirikan Negara Islam. Dimulai dari skup yang terkecil untuk bermu’amalat secara Islami, kemudian melebarkan sayapnya ke penjuru negeri.
Selain itu, kewajiban umat Islam adalah menerapkan hukum Islam secara paripurna di semua sendi kehidupan, melalui Undang-Undang atau peraturan yang bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadis. Aplikasi secara sempurna tersebut tidak mungkin terwujud terkecuali dengan wujudnya negara yang bisa mengakomodir semua itu. Itulah Negara Islam, dimana Khalifah atau pemimpinnya menerapkan syariat Islam secara sempurna.
Hizbut Tahrir dalam merealisasikan agendanya melalui penguasaan parlemen sehingga mampu mendirikan Negara Islam. Adapun piranti untuk sampai pada parlemen adalah; pertama, memusatkan perhatian pada upaya doktrinasi terhadap masyarakat tentang Islam (al-ihtimam bi al-‘amal al-tsaqafi/tastqif). Pada aspek ini, seperti pernyataan al-Nabhani sendiri dalamal-Takattul al-Hizby, Hizbut Tahrir jelas mengikrarkan pengabaian terhadap aspek etika dalam Islam, dan mengedepankan pemikiran dan pengetahuan tentang peradaban Islam. Kedua, memusatkan perhatian aktivitasnya dalam ranah politik (al-ihtimam bi al-‘amal al-siyasi). Dalam ranah politik, mereka berusaha sekuat mungkin untuk meruntuhkan aturan-aturan yang dibuat bukan dari asas islami. Dalam buku yang bertajuk Manhaj Hizb al-Tahrir, mayoritas Negara yang dihuni oleh umat Islam sekarang layak disebut Dar al-Kufr, karena mengadopsi hukum-hukum yang berasal bukan dari asas Islami dan tidak dibawah kontrol masyarakat Islam.
Ketika Negara Islam sudah terealisasi, Hizbut Tahrir mengagendakan menyusun Undang-Undang yang diawali dengan telaah problematika masyarakat, kemudian membuat kaidah umum—sebagai referensi Hakim/Qadli ketika memberikan putusan hukum–yang bisa dijadikan neraca mengentaskan varian problem yang berkembang. Mereka mensyaratkan, aturan tersebut merupakan perpanjangan dari fikih Islam. Interpetasi Undang-Undang yang dilakukan oleh Hakim harus melalui penguasaan teks Islam (al-Nushush al-Syar’iyyah), ushul fikih, atau fikih.
Mereka beranggapan, Islam sebagai agama mempunyai aturan. Aturan ini adalah hukum-hukum syariat yang diambil dari dalil-dalilnya yang terperinci. Aturan-aturan tersebut terklasifikasi pada hukum-hukum yang mempunyai orientasi mengentaskan problem masyarakat (fikrah), dan hukum-hukum yang mencakup tatacara aplikasi hukum, menjaga akidah dan menyebarkan dakwah (thariqah). Islam tersusun dari dua unsur ini, dan tak akan mungkin berislam secara sempurna tanpa upaya menjalankan keduanya. Mereka mencontohkan bahwa shalat adalah fikrah. dan Negara Islam merupakan thariqah, yang bertugas tidak hanya menganjutkan umat Islam untuk melaksanakannya secara teratur saja, akan tetapi juga mengupayakan hukuman bagi yang meninggalkan shalat. (bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar